Memelihara Shalat (1) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238-239
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلهِ قٰنِتِيْنَ ٢٣٨ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًاۖ فَإِذَآ أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ٢٣٩
Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthā. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa sebab turun ayat ini adalah ketika Nabi saw shalat zhuhur saat hari sangat panas. Shalat seperti ini (waktu cuaca sangat panas dan dilakukan di ruang terbuka) sangat berat dirasakan oleh sahabat-sahabat Nabi, maka turunlah Q.S. al-Baqarah ayat 238 yang menyuruh mereka melakukan shalat walaupun terasa sangat berat. (H.R. al-Bukhari dalam Tarikh-nya dan Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibn Jarir dari Zaid bin Tsabit) (K.H. Q Shaleh dan H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 82.)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi saw shalat zhuhur di waktu cuaca sangat panas. Di belakang Nabi, tidak lebih dari satu atau dua shaf saja yang mengikutinya. Adapun yang lainnya sedang tidur siang, dan ada pula yang sedang sibuk berdagang. Maka Allah menurunkan Q.S. al-Baqarah ayat 238 di atas. (H.R. Ahmad, al-Nasa’i dan Ibn Jarīr, dari Zaid bin Tsabit) (Ibid.)
Sementara itu, Zaid bin Arqam berkata: “Pada masa Rasulullah kami suka berbicara dalam shalat dengan teman yang ada di samping kami. Keadaan itu berlangsung terus sampai turun ayat wa qumu lillahi qanitin, yang memerintahkan kami untuk diam dan melarang kami bercakap-cakap” (H.R. A`immatus Sittah dan lain-lain) (Ibid.)
Ayat perintah memelihara shalat ini, terletak di tengah-tengah penjelasan tentang beberapa aturan kehidupan berkeluarga. Beberapa ayat sebelumnya berbicara mengenai hukum perkawinan, perceraian dan penyusuan. Sedangkan dua ayat sesudahnya menjelaskan tentang hak perempuan yang ditinggal mati suami dan hak perempuan yang dicerai suami. Ayat tentang perintah shalat yang ditempatkan di tengah-tengah ini telah menjadi perbincangan para ulama, sambil masing-masing mencoba mencari jawabannya.
Muhammad Ali al-Shabuni misalnya, berpendapat bahwa penempatan ayat ini mempunyai hikmah yang sangat besar. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memerintahkan supaya memaafkan, bersikap toleran, dan tidak boleh melupakan segala kebaikan dan kenikmatan hidup yang telah dialami suami isteri di waktu masih bersama, ketika terjadinya perceraian. Kemudian pada ayat ini Allah memerintahkan untuk memelihara shalat. Hal yang demikian itu adalah karena shalat merupakan cara yang terbaik untuk melupakan duka cita dan kesusahan dunia, termasuk perceraian.
Karena itu, Nabi saw kalau sedang berduka dan dalam kesusahan maka beliau akan bangkit melakukan shalat. Perceraian bisa saja menimbulkan kebencian dan permusuhan. Hal itu akan dapat diatasi dengan shalat, karena shalat akan mengajak orang yang mendirikannya untuk berbuat ihsan, bersikap toleran, mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ini adalah cara yang terbaik untuk mendidik jiwa manusia (Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1423 H/2002 M), Jilid I, hlm. 126.)
Sementara itu ada pula yang mengatakan bahwa rahasia dari perintah shalat yang diletakkan di antara penjelasan tentang aturan kehidupan rumah tangga ini adalah untuk menyatakan bahwa dalam kehidupan berumah tangga bisa saja tidak semuanya berjalan sesuai dengan harapan kedua atau salah satu pasangan suami isteri. Karena itu kesalahpahaman, pertengkaran dan lain sebagainya mungkin saja bisa terjadi. Dengan mendirikan shalat secara baik, teratur dan khusyuk, maka hati orang akan cenderung kepada kebaikan dan jiwanya akan tenang. Dengan cara itu berbagai persoalan rumah tangga yang dihadapi akan mudah dicarikan jalan keluarnya.
Rasyid Ridha menjelaskan bahwa sudah menjadi kebiasaan al-Quran untuk menutup suatu ayat atau beberapa ayat mengenai hukum dengan perintah mengingat Allah, bertakwa dan mengingatkan bahwa Allah mengetahui semua perihal hamba-Nya, serta menjanjikan balasan untuk setiap amal yang dilakukan. Menurut beliau, ini adalah salah satu cara untuk meniupkan ruh agama pada setiap amal dan menanamkan nilai-nilai keikhlasan. Dengan itu, diharapkan manusia akan melaksanakan segala ketentuan hukum itu dengan sebaik-baiknya. Hal ini sangat penting, karena berbagai kesibukan dalam menghadapi kehidupan, banyaknya tantangan, terbuai oleh bermacam-macam kenikmatan, keinginan nafsu yang menguasai akal sehat, kadang-kadang membuat manusia berpaling dari jalan petunjuk hingga mereka terperosok.
Untuk menghindari hal seperti itu atau untuk meluruskan kembali, maka manusia membutuhkan cara untuk mendidik nafsu hewaniahnya yang rendah agar bisa mempertahankan atau mengembalikan pada kedudukan fitrah insaniah yang merupakan kesempurnaan hakikat kemanusiaan.
Caranya adalah dengan melakukan shalat, menghadap Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi, yang dapat melepaskan manusia dari kesibukan dan pengaruh buruk dunia. Dengan mendekatkan diri sebanyak mungkin kepada Allah, maka hal itu akan dapat menguatkan hati, membersihkan jiwa, menghindarkan dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan itu pula seorang hamba akan cenderung berlaku adil dan senantiasa berbuat ihsan, sehingga ia berusaha melaksanakan aturan, dan melengkapi dengan perbuatan baik apapun yang dicintai Allah.
Dengan demikian, shalat yang didirikan dengan benar dan selalu dipelihara dengan baik, akan mencegah orang yang mendirikannya dari perbuatan keji dan munkar (Q.S. al-Ankabut [29]: 45) dan akan melepaskan manusia dari sifat keluh kesah dan kikir (Q.S. Al-Ma’arij [70]: 19-23) (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’anil Hakim (al-Manar), (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1414 H/1993M), Jilid II, hlm. 435-436.)
Adapun yang dimaksud dengan hafizhu ‘ala al-shalawati (حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ) adalah “dirikanlah semua shalat secara terus-menerus (rutin), sempurnakan rukun dan syaratnya, kerjakan dengan sepenuh hati dengan memelihara kekhusyukan, sebab shalat itu merupakan sarana untuk bermunajat kepada Allah, berdoa kepada-Nya, memuji dan menyanjung-Nya”. Di samping itu, karena shalat juga merupakan tiang agama, yang dampak positif mengerjakannya sangat besar terhadap pembersihan dan pensucian jiwa sehingga terbangun sifat ikhlas yang melahirkan ihsan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis:
اُعْبُدُ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu (H.R. al-Bukhari dan Muslim dari Umar ibn al-Khaththab ra.). Bersambung
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018