Keluarga dan Kekayaan Allah
Oleh Bahrus Surur-Iyunk
“Wahai umat manusia! Saya, Abu Nawas, adalah orang yang sangat suka kepada fitnah. Saya membenci pada kebenaran. Saya adalah orang yang selalu lari dari rahmat Allah. Saya adalah orang yang lebih kaya dibandingkan Allah.” Seruan itu diteriakan Abu Nawas di siang hari bolong di tengah pasar kota Baghdad.
Sontak saja, teriakan Abu Nawas membuat geger orang-orang muslim yang ada di pasar. Serta-merta pemilik gerobak menjatuhkankannya, sehingga Abu Nawas terguling dan langsung dihajar massa.
Beruntung bagi Abu Nawas, ada prajurit khalifah yang kebetulan lewat dan segera menghentikan amuk massa. Setelah diusut oleh prajurit tersebut, justru menambah celaka bagi Abu Nawas.
Abu Nawas digelandang ke istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Amat jelas bagi Abu Nawas akan mendapat hukuman dari raja, minimal dihukum pancung. Demikian pikiran orang-orang yang ikut serta ke istana.
Setelah dihadapkan pada khalifah, Abu Nawas bertekuk lutut dengan muka babak belur. Sang khalifah pun bertanya setelah mendapat laporan dari prajurit yang menangkapnya.
“Betulkah apa yang dilaporkan itu, hai Abu nawas?” Sang Khalifah bertanya.
“Betul, Baginda Khalifah,” jawab Abu Nawas tegas.
“Baik, sekarang jelaskan kepadaku, apa maksud dari pernyataanmu itu? Pertama, kamu mengatakan bahwa kamu sangat suka pada fitnah?”
“Betul Baginda, anak dan istri itu fitnah. Lalu, siapakah orang yang tidak menyukai keduanya? Saya yakin Baginda pun sangat menyukainya”, jawabnya diplomatis.
“Iya juga, lalu yang kedua kamu katakan bahwa kamu membenci Yang Haq (kebenaran)?” Kata sang khalifah sambil menggelengkan kepala.
“Betul Baginda, mati dan neraka itu Haq adanya. Saya membenci keduanya, termasuk juga Baginda kan?” Jawab Abu Nawas setengah bertanya.
(Sambil termenung mengiyakan) “Lalu, kamu katakan selalu lari dari rahmat Allah. Padahal, kita manusia selalu mengharapkan rahmat-Nya, kamu kok justru lari?!”
“Saya lari dari rahmat Allah karena takut basah kuyup, Baginda. Karena hujan itu juga rahmat Allah.”
“hahaha… betul kamu. Lalu, kenapa kamu katakan kamu lebih kaya dari pada Allah? Padahal, Allah Maha Kaya bahkan yang memberikan kekayaan pada manusia!”
“Saya lebih kaya dari pada Allah, karena saya punya anak dan istri, keduanya adalah kekayaan. Sedangkan Allah tidak punya, Baginda.”
“Iya, betul kamu. Lalu, apa tujuan kamu berteriak hal tersebut di keramaian orang?”
“Supaya ditangkap dan dihadapkan kepada Baginda”
“Setelah itu apa?”
“Untuk menerima hadiah dari Baginda”
“Hahaha…. Baik, ini saya berikan kamu sekantong dinar untuk kebutuhan keluargamu.”
Kisah Abu Nawas yang lucu tapi ironis ini mengingatkan semua orang betapa pentingnya sebuah keluarga (ayah, isteri dan anak-anak). Sebab, pertama, dari keluarga seorang muslim bisa menanamkan keimanan dan keteguhan menjalankan ajaran Islam. Dalam QS. At-Tahrim ayat 6 Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Tentu saja, mendidik bukan hanya tugas seorang ayah saja. Seorang istri juga berkewajiban mendidik anak-anaknya. Bahkan, sebagaimana pepatah bijak mengatakan, “Al-ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal aghraq; ibu adalah sekolah pertama dan utama; jika dipersiapkan dengan baik akan mampu melahirkan generasi-generasi yang baik pula.”
Kedua, dengan berkeluarga seseorang akan memperoleh kedamaian, ketenangan dalam menjalani hidup ini. Inilah sesungguhnya janji Allah dalam QS. Ar-Rum: 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ketiga, dengan berkeluarga Allah ingin menjaga harkat dan martabat manusia dari kehinaan dan sifat kebinatangan. Dala QS Al-Isra’:32, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Keempat, berkeluarga adalah wahana terbaik untuk menjaga keturunan agar tetap menjadi penyejuk hati. Dalam QS. Al-Furqan: 74, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Membaca doa ini sekaligus menjadi tanda atau ciri hamba-hamba Allah. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Dosen STIT Pondok Modern Muhamamdiyah Paciran Lamongan Jatim, penulis buku Nikmatnya Bersyukur Merajut Gaya Hidup Penuh Bahagia