Hukum Wanita Bernyanyi Di Hadapan Laki-Laki Non Mahram
Pertanyaan:
Mohon penjelasan tentang pendapat Yusuf al-Qardhawi yang oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dijadikan sebagai sandaran mengenai hukum seorang wanita bernyanyi di hadapan laki-laki non mahram, seperti yang terdapat dalam tautan di bawah.
http://www.kompasiana.com/kusnandar/mempertanyakan-keulamaan-al-qordhowi_5528696ff17e61d24a8b45a5
(Disidangkan pada Jum‘at, 26 Safar 1441 H / 25 Oktober 2019 M)
Jawaban:
Terima kasih kami sampaikan atas pertanyaan yang saudara ajukan. Untuk menjawab pertanyaan saudara, perlu kami jelaskan sebagai berikut,
Pertama, fatwa Tarjih tentang hukum seorang wanita bernyanyi di hadapan laki-laki non mahram yang saudara maksud pernah dimuat pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 21 Tahun 2012. Dalam fatwa tersebut Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah memang menyebut pendapat Yusuf al-Qaradhawi terkait hukum nyanyian atau musik, khususnya dalam buku Fiqh al-Ghina’ wal-Musiqa. Namun, pendapat tersebut hanya bersifat sebagai penguat atau pelengkap saja, bukan menjadi landasan utama dalam penyusunan fatwa tersebut. Adapun landasan utamanya tetap berdasar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah, yang antara lain adalah,
- Firman Allah QS. an-Nahl (16): 5-6:
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا ۗ لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ. وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ [النحل، 16: 5-6].
“Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.”
- Firman Allah QS. as-Sajdah (32): 7:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ ۖ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ [السجدة، 32: 7].
“Dialah yang membuat segala sesuatu (dengan) sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
- Firman Allah QS. al-Baqarah (2): 29 :
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلأَرضِ جَمِيعًا … [البقرة، 2: 29].
“Dialah Allah yang telah menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian …”
- Hadis Nabi Muhammad saw riwayat Muslim,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ. الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاس [رواه مسلم].
“Dari Abdullah bin Mas’ud (diriwayatkan bahwa) Nabi saw bersabda, tidak akan masuk surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan meski (porsinya) kecil. Berkata seorang lelaki, (kalau) ada seseorang yang menyukai pakaian dan sandalnya bagus. Nabi saw bersabda, sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia (lain)” [HR. Muslim Nomor 147].
- Hadis Nabi Muhammad saw riwayat al-Bukhari,
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَان قَالَ: قَالَتِ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَّوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَليّ فَجَلسَ عَلَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بالدُفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدِ، فَقَالَ: دَعَي هَذِهِ وَقَوْلِي بِالَّذِيِ كُنْتِ تَقُولِين [رواه البخارى].
“Khalid bin Dzakwan (dirwayatkan) menceritakan kepada kami, ia berkata: Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ berkata: Nabi saw datang (menghadiri pesta nikah) lalu duduk (di tempat yang sama ketika) aku (dulu) menikah (sehingga) aku dan Nabi saling berhadapan. (Lalu) beberapa wanita membawakan nyanyian disertai iringan tambor untuk mengenang keluarganya yang mati syahid di Badar. Salah seorang wanita (penyanyi) tersebut mengatakan bahwa (di depan mereka) ada Rasul yang mengetahui apa yang terjadi hari esok. Rasul bersabda: Jauhi meramal dan teruslah bernyanyi” [H.R. al-Bukhari Nomor 5147].
- Hadis Nabi Muhammad saw riwayat Aisyah,
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى تُدَفِّفَانِ، وَتَضْرِبَانِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ، وَتِلْكَ الأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى [رواه البخاري].
Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa Abu Bakar r.a. menemui ‘Aisyah pada saat di Mina. Di samping ‘Aisyah ada dua orang perempuan menyanyi dan memukul alat musik dan saat itu Rasulullah saw sedang menutup wajahnya dengan baju. Abu Bakar lalu mencegah kedua perempuan itu, maka Rasulullah membuka wajahnya lalu berkata: biarkan mereka wahai Abu Bakar, karena sekarang adalah hari raya, yaitu hari-hari ketika kita menginap di Mina” [H.R. al-Bukhari Nomor 987].
Melalui dalil-dalil di atas, Islam menganjurkan umatnya untuk menghargai keindahan, sehingga diperlukan sarana pengungkapan atau penyaluran ekspresi tersebut. Oleh karena itu kita mengenal seni sastra hingga seni musik yang menjadi sarana ekspresi keindahan bunyi, suara, sebagaimana manusia diberikan anugerah indera pendengaran. Nyanyian dalam Islam termasuk dalam kategori keindahan seni suara dan termasuk masalah duniawi sehingga berlaku kaidah fiqhiyah “Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah (diperbolehkan) hingga terdapat dalil yang melarangnya”. Kaidah ini disimpulkan dari ayat 29 surah al-Baqarah di atas. Para ahli hukum Islam memasukkan kebutuhan terhadap seni secara umum, khususnya lagu, ke dalam kategori mashlahah tahsiniyah, yaitu kebutuhan (hidup) yang apabila tidak terpenuhi, tidak akan mengakibatkan seseorang terancam hidupnya, mengalami kesengsaraan dan kesulitan.
Kedua, mengenai keharaman nyanyian, biasanya dihubungkan dengan dalil-dalil yang ditafsirkan pada satu makna saja. Sebagai contoh yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah firman Allah berikut,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشتَرِي لَهْوَ ٱلحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللهِ بِغَيرِ عِلمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰئِكَ لَهُم عَذَابٌ مُّهِينٌ [لقمان، 31: 6].
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Q.S. Lukman (31): 6].
Padahal mengenai kata lahw al-hadis selain diartikan sebagai nyanyian ditafsirkan pula dengan penafsiran lain sebagaimana penjelasan Majelis Tarjih mengenai Q.S. Lukman (31): 6 di atas, sebagai berikut, jika kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (lahw al-hadis) di atas hanya ditafsirkan sebagai nyanyian, penafsiran ini tidaklah sepenuhnya tepat karena yang dimaksud dengan perkataan yang tidak berguna itu sebenarnya adalah segala perkataan yang mengajak orang kepada kesesatan dan kemaksiatan, baik terdapat dalam nyanyian maupun dalam wacana lainnya (lihat buku Tanya Jawab Agama jilid 5 hal. 217).
Dalam Tafsir al-Kasyaf ‘an Haqaiqi Ghawamidi at-Tanzil karya az-Zamakhsyari jilid 3 hal 490 disebutkan bahwa makna lahwu al-hadis tidak selalu bermakna musik, namun bisa bermakna setiap kebatilan yang dapat memalingkan dari kebenaran seperti obrolan, cerita-cerita, dan pembicaraan-pembicaraan yang tidak berfaedah dan yang semisalnya.
Dalam beberapa hadis disebutkan pernyataan yang menyatakan haramnya nyanyian, antara lain sebagai berikut,
- Hadis riwayat al-Bukhari nomor 5590
حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِي الفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ، وَيَضَعُ العَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ [رواه البخاري].
“Abu Malik al-Asy’ari (diriwayatkan) menceritakan kepadaku, demi Allah dia tidak berdusta padaku, ia mendengar Nabi saw bersabda, sungguh benar-benar akan ada dari umatku, sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat musik. Beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, kembalilah kepada kami esok hari, kemudian Allah mendatangkan siksa kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat” [H.R. al-Bukhari].
Dalam kitab Fath al-Bariy disebutkan, kebanyakan perawi menyatakan bahwa ini adalah hadis yang mu’allaq, meskipun hadis di atas dihukumi sahih berdasarkan kriteria dari al-Bukhari.
- Dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabir li ath-Thabrani nomor 581,
حَدَّثَنِي سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ وَقَذْفٌ وَمَسْخٌ ، قِيلَ: وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ، وَاسْتُحِلَّتِ الْخَمْرُ [رواه الطبرني].
“Sahl bin Sa’ad (diriwayatkan) menceritakan kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda, akan ada di akhir zaman orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya menjadi buruk. Beliau ditanya, kapankah itu terjadi wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ketika alat musik dan para penyanyi wanita telah merajalela, serta khamr dianggap halal” [H.R. ath-Thabrani]
Ketiga, mengenai suara wanita termasuk aurat atau bukan. Sepengetahuan kami, tidak pernah ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita adalah aurat. Bahkan realitas sejarah kehidupan para sahabat menunjukkan, bagaimana para sahabat (baik lelaki maupun perempuan) berinteraksi dengan para istri Nabi saw, bertanya mengenai suatu permasalahan, saling memberikan fatwa dan meriwayatkan Hadis. Tentu interaksi mereka dilandasi dengan adab dan akhlak yang baik.
Berdasarkan itulah, maka fatwa Tarjih yang saudara maksudkan menyimpulkan, bahwa suara perempuan bukanlah aurat, sehingga tidak ada halangan untuk didengar oleh orang yang bukan mahram, dan hukum musik, nyanyian, lagu adalah diperbolehkan (mubah) dengan syarat isinya tidak bertentangan dengan ketentuan agama, di antaranya tidak mengandung kata-kata yang menyesatkan dan menjurus pada kemaksiatan, serta biduan yang menyanyikan berpenampilan Islami, yakni menutup aurat dan tidak mengarah pada gerakan-gerakan erotis.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Muhammadiyah, dalam hal ini Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, tidak menjadikan pendapat Yusuf al-Qaradawi sebagai hujjah atau landasan hukum, namun hanya memosisikannya sebagai pandangan ulama yang ada persamaan dengan hasil ijtihad Muhammadiyah.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 8 Tahun 2020