Perlukah Muhammadiyah Mendirikan Bank?

Mars Muhammadiyah tanfidz

Muhammadiyah Dok SM

PERLUKAH MUHAMMADIYAH MENDIRIKAN BANK? (Sebuah Catatan Reflektif)

Oleh: Deni al Asyari

Sejak diresmikannya merger 3 bank syariah plat merah, menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), bermunculan berbagai opini di lingkungan Muhammadiyah agar Muhammadiyah menarik dananya dari bank besutan BUMN tersebut. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, muncul gagasan agar Muhammadiyah mendirikan bank syariah sendiri atau Bank Muhammadiyah.

Berbagai opini yang muncul tersebut, berawal dari press confrence atau release yang disampaikan oleh Buya Anwar Abbas, salah seorang tokoh & Pimpinan Pusat Muhammadiyah, terkait rencana Muhammadiyah akan menarik dananya di 3 bank syariah plat merah tersebut.

Alasannya, karena melalui merger 3 bank syariah tersebut, Muhammadiyah khawatir jika BSI (Bank Syariah Indonesia) tidak memprioritaskan pengembangan UMKM sebagai sektor riil usaha masyarakat. Justru dengan bank kelas jumbo, BSI fokus pada investor-investor kakap dan pengembangan industri-industri besar.

Alasan salahsatu pimpinan Muhammadiyah ini sangat rasional dan masuk akal. Sebab dana yang dikelola Muhammadiyah merupakan dana umat, yang ditempatkan diperbankan syariah plat merah tersebut. Maka, jika dana umat ini, tidak difungsikan untuk pemberdayaan umat melalui UMKM, maka Muhammadiyah sangat keliru penempatan dananya.

Namun tentu saja terkait penarikan dana ini perlu atau tidaknya, menjadi kebijakan dan kewenangan PP Muhammadiyah dan amal usaha Muhammadiyah. Karena PP Muhammadiyahlah yang mengerti omset dan asetnya yang dikelola. Oleh karenanya sebagaimana arahan resmi PP Muhammadiyah, sebaiknya warga Muhammadiyah, menunggu petunjuk dan langkah teknis terkait persoalan tersebut.

Namun terlepas dari hal itu, justru yang cukup menjadi perhatian bagi publik dari wacana atas rencana penarikan dana ini adalah, munculnya dorongan agar Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan bank syariah sendiri.

Wacana ini jelaslah bukan persoalan sederhana. Walau belakangan banyak sekali pertanyaan dan pernyataan netizen seputar hal ini. Bahkan di tengah perbincangan ini tiba-tiba muncul hasil survey (bukan resmi & tanpa sepengetahuan PP Muhammadiyah), yang menyebutkan 90% warga Muhammadiyah setuju agar Muhammadiyah mendirikan bank syariah sendiri.

Maka berkaitan dengan wacana mendirikan bank ini, jika boleh saya beropini, tentunya bukanlah persoalan gampang dan sesederhana survey tersebut. Kenapa demikian?, sebab untuk sebuah Ide atau gagasan mendirikan unit bisnis atau apapun itu jenisnya, tentu semua orang bisa beropini, namun prakteknya, tidak semudah ide dan gagasan yang disampaikan.

Apalagi berkaca pada sejarah sebelumnya, Muhammadiyah pernah memiliki pengalaman “pahit” memiliki bank sendiri, yang dikenal dengan bank persyarikatan Indonesia (BPI). Bank ini merupakan hasil akuisisi bank Swansarindo. Kemudian melalui kebijakan PP Muhammadiyah, dengan menunjuk salahsatu unit bisnisnya diambil alih kepemilikan sahamnya, sehingga sejak 2001, resmilah Bank Swansarindo menjadi bank Muhammadiyah dengan nama BPI (Bank Persyarikatan Indonesia).

Namun tidak berjalan lama, tepatnya tahun 2004, BPI tiba-tiba masuk dalam pengawasan khusus (special surveillance) bank Indonesia (BI). Sehingga BPI diwajibkan untuk melakukan penambahan modal, jika tidak bisa? Maka BI akan melakukan pembekuan operasional Bank BPI. Singkat cerita, akhirnya taqdir berkata lain, Bank ini berpindahtangan kepemilikan dan pengelolannya kepada pihak atau perbankan lain, dengan nama yang berbeda.

Lantas apa yang bisa ditangkap dari cerita ini, bahwa ide dan gagasan untuk mendirikan sebuah perbankan tentu sangat mudah, buktinya, gagasan dan ide ini bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelumnya sudah berdiri BPI, dimana keberadaan BPI ini, merupakan keputusan warga Muhammadiyah melalui muktamar Muhammadiyah.

Namun, ketika ide dan gagasan itu terwujud, dalam proses pengelolaannya, terjadi berbagai kendala dan masalah yang tidak diperkirakan sebelumnya. Sehingga baru berjalan seumur jagung, bank kebanggaan persyarikatan ini, sudah beralih tangan. Tentu saja, dampak dan kerugian ini, ditanggung oleh persyarikatan.

Oleh karenanya, hari ini kita bisa saja mengeluarkan berbagai argumen dan pendapat terkait persoalan ini. Akan tetapi, gagasan dan pendapat itu perlu terlebih dahulu diuji dengan praktik-praktik bisnis di lapangan. Dan ini membutuhkan waktu dan kesiapan panjang dan matang.

Sebab dalam sektor bisnis, sependek pengetahuan saya, belum ada — untuk mengatakan tidak banyak — pilot project atau percontohan bisnis yang berskala nasional yang dikelola oleh persyarikatan. Berbeda tentunya dengan kerja-kerja socialpreneur seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan. Muhammadiyah bisa dikatakan sukses dan berhasil dalam mengelola gerakan amal ini. Namun tidak demikian dengan sektor bisnis.

Walaupun melalui Muktamar Makassar, Muhammadiyah mendorong gerakan Ekonomi sebagai pilar ketiga persyarikatan. Tetapi semua ini butuh ijtihad dan jihad berjamaah. Paling tidak gagasan menjadikan ekonomi pilar ketiga tersebut, dapat kita mulai dengan memperkuat jejaring amal usaha ekonomi Muhammadiyah di tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah, sembari memanfaatkan lembaga keuangan Muhammadiyah di tingkat lokal ( BTM dan sejenisnya).

Jika kultur dan jejaring ini sudah terbentuk, insyaAllah kita akan mudah mengelola bisnis berskala besar. Sebab, persoalan mengelola bisnis, bukan semata mata persoalan ada atau tidaknya para ahli ekonomi atau profesor ilmu bisnis. Namun juga memerlukan totalitas energi, pikiran, dan sumberdaya. Sehingga bisa membentuk kultur bisnis yang mengakar di semua lini lingkungan Muhammadiyah.

Oleh sebab itu, lagi-lagi saya harus beropini, bahwa ide ini tidak mudah, walau bukan berarti tidak bisa. Namun butuh waktu dan kesiapan yang lebih matang dan sempurna. Agar gagasan mendirikan bank Muhammadiyah bukan sekedar euforia sesaat, namun bisa berusia panjang.

Dan sebagai akhir catatan, yang paling utama dari semua wacana yang berkembang tersebut, marilah semua keputusan dan arahan yang terbaik, kita serahkan kepada organisasi dan pimpinan pusat secara resmi. Agar semua langkah dan apapun rencana yang akan dilakukan, menjadi bagian dari rencana dan gerakan secara berjamaah dan terorganisir. InsyaAllah

Kita Tidak Pesimis, Namun Berpikir Strategis

Kauman, Ahad, 27/12/2020

Exit mobile version