Hidup Untuk Menulis,…Yang Penting Menulis Saja
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Tugas kamu adalah menulis dan sebarkanlah dengan media yang ada. Dibaca orang atau tidak itu utusan ke-16. Lupakan urusan ketenaran dan popularitas. Yang penting menulis saja.
Pada tahun 1995, saat masih menjadi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terbersit janji dalam hati. Karena saking pinginnya bisa menulis dan dimuat di media massa cetak, anak muda yang juga Ketua IMM Cabang Sleman itu berjanji, “Saya tidak akan lulus dan wisuda sebelum tulisanku dimuat di tiga media massa cetak.” Solid, janji itu dipegang.
Selamat Peraih Apresiasi Suara Muhammadiyah 2020
Namun, keesokan harinya di ujung telpon sana, terdengar suara tuntutan dari ayah dan ibunya agar ia segera menyelesaikan skripsinya agar bisa lulus dan wisuda lebih cepat. Yang awalnya tenang kuliah sambil belajar menulis, membangun karakter budaya literasi dan organisasi, sejak itu hatinya mulai berkecamuk antara janji diri dan tuntutan orang tuanya. Beruntung, anak muda itu tetap tenang. Mungkin biasa menghadapi masalah saat menjadi aktivis organiasi otonom Muhammadiyah.
Berlahan tapi pasti, ia mulai menulis sambil melihat majalah-majalah dan koran di perpustakaan kampus tentang “mana yang kira-kira bisa dilabuhkan tulisannya.” Ia melirik majalah Risalah, sebuah majalah yang diterbitkan dari Bandung oleh Pengurus Besar Persatuan Islam. Dicoba-kirimkannya tulisannya yang membahas tentang ruh melalui jasa Pos Indonesia.
Kado Akhir Tahun yang Indah dari Suara Muhammadiyah
Sejak saat itu, di bulan berikutnya, setiap ke perpustakaan ia selalu mengintip majalah Risalah terbitan terbaru. Nah, baru tiga bulan berikutnya –tepatnya di bulan November 1995, tulisan itu muncul. Hatinya berdebar bahagia melihat tulisan dan namanya tertulis di sana. Dua minggu kemudian kebahagiaan itu semakin lengkap dengan datangnya wesel sebesar 15 ribu. Besaran nominal uang yang bisa dipakai untuk mentraktir makan 15 teman kuliah di kantin kampus saat itu.
Menulis Itu Menggembirakan
Baru satu artikel dimuat. Sukses itu candu. Satu artikel itu cukup memberi asupan semangat yang luar biasa besar. Anak muda asal pesisir utara Lamongan itu mulai menulis lagi dan mencoba mengirimkannya lagi. Namun, untuk mengulangi kesuksesannya tidak semudah yang dibayangkan. Ia mencoba mengirim ke media cetak lain, namun ditolak lagi dan ditolak lagi.
Bersyukur anak muda itu tidak putus asa. Saat IMM akan mengadakan Muktamar, ia mencoba menuangkan pikirannya yang dijejali dengan persoalan IMM dalam sebuah artikel opini. Ia kirimkan ke Yogya Post dan dimuat. Teman-temannya mulai membicarakan tulisan itu. Bahkan, di bulan berikutnya tulisannya tentang gerakan mahasiswa muncul lagi. Menariknya, anak muda itu tidak terlalu berharap pada honor tulisan. Kepuasan dimuat melebihi segalanya. Rasa bangga menyelimuti pikiran seorang anak muda dengan karyanya.
Dalam benaknya ia berpikir bahwa ia sudah layak lulus sebagai seorang sarjana S1. Kendati sudah hampir menyelesaikan skripsinya, ia tetap “kemaruk” baca buku apa saja yang ada di hadapannya. Jabatannya saat itu bertambah. Bukan hanya sebagai Ketua PC IMM Cabang, melainkan juga sebagai Koordinator Departemen di DPD IMM DIY. Bahkan, sebelum lulus S1, “jabatannya” ditambahi sebagai anggota Departemen di DPP IMM. Sebelum akhirnya lulus, ia semakin rajin menulis di beberapa media massa. Pada tahun 1996, tulisannya mulai dimuat Media Indonesia, Bernas, Suara Muhammadiyah dan Kedaulatan Rakyat.
Pada saat kuliah di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998), ia semakin rajin menulis mulai dari artikel opini, resensi hingga kolom. Tetapi, karena sudah berkeluarga dan belum memiliki pekerjaan, pemikiran pragmatisnya keluar. Ia menulis tidak hanya menyalurkan ide dan pemikirannya, tetapi juga untuk mendapatkan honor. Tulisan sebagai sumber makan dan penghidupan. Mungkin karena masih dalam proses belajar menuntut ilmu, Allah masih menolong hamba-Nya. Tulisannya itu mulai merambah Republika, Suara Merdeka, Wawasan, majalah Forum Keadilan, Suara Karya, Harian Terbit, Kompas, Gatra, Jawa Pos, Surabaya Post, Surya dan sebagainya.
Saat makan sudah di tangan dan merasa cukup, bahkan lebih, menulis pun mulai ditinggalkan secara tidak tersadarkan. Membeli buku berpuluh-puluh kalau sedang ke luar kota tetap dilakukan, meski kadang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, bungkus plastiknya tidak dibuka. Membaca buku juga tetap, tetapi mulai merubah kepada bacaan yang ringan-ringan. Sesuai dengan kebutuhan dan pekerjaan yang digelutinya.
Sebagai politisi yang ngantor, ia menulis pandangan umum dan pendapat akhir fraksi. Sebuah tulisan yang didasarkan pada hasil turun pengamatan di lapangan. Bukan lagi tulisan yang didasarkan pada referensi yang cukup rumit dan ilmiah. Hingga akhirnya ia berhenti menulis sama sekali selama empat hingga lima tahun. Waktu yang cukup untuk membunuh keterampilan dan kreativitas manusia.
Beruntung pada tahun kelima itu seorang teman yang bekerja sebagai redaktur di majalah Suara Muhamamdiyah, Mas Isngadi, menawarkan kembali untuk menulis kolom yang ringan-ringan saja. Jangan terlalu banyak teori yang ndakik-ndakik. Diberi kisah inspiratif juga sangat boleh. Sebuah tulisan yang sekiranya bisa dinikmati sambil rebahan melepas penat.
Berawal dari sinilah, lelaki yang sudah mulai menginjak usia “setengah hari” itu mulai melahap buku-buku ringan karya Komaruddin Hidayat, Jalaluddin Rakhmat, Cak Nurcolis Madjid, dan buku-buku kisah para sahabat Rasul, tabiin, para sufi, ulama masa lampau dan kisah-kisah inspiratif orang-orang biasa. Rupanya, kisah yang seperti ini sangat disukai oleh banyak orang, termasuk jamaah pengajian, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Buku-buku berat yang pernah dibacanya tidak lantas hilang, tetapi serasa menjelma melata di akar rumput pengajian.
Menulis Sebagai Kebiasan
Bagi dia, ketika usianya sudah tidak muda lagi, menulis itu sudah menjadi bagian dari aliran darahnya. Setelah disiram sedikit semangat, kebiasaan itu muncul kembali. Bersyukur ia diberi kemampuan menulis. Menulisnya juga sudah tidak tergantung pada mood. Kapan saja dan di mana saja bisa menulis tentang apa saja yang ada di dalam pikiran, perasaan dan hatinya.
Anehnya, belakangan, menulisnya sudah tidak bisa didorong oleh tujuan mencari honor dan ketenaran seperti masa mudanya dulu. Jika dua dorongan duniawi ini muncul, maka tulisannya yang belakangan lebih bernuansa motivasi Islam itu mandeg. Tidak akan muncul dan macet. Mungkin ini bagian dari peringatan Allah, dikala semua kebutuhan hidupnya sudah dicukupkan oleh Allah. Ya, yang penting menulis saja.
Dia pernah berpikir, apakah masih ada orang yang mau membaca tulisannya? Bukankah sekarang ini orang lebih senang nonton Youtube dan Tik Tok? Duduk santai, dengarkan, selesai. Daripada baca tulisan dengan mengerutkan dahi dan harus mencerna dengan berpikir, se-ringan apapun tulisan itu?
Dia biarkan godaan itu. “Yang penting saya menulis karena Allah. Berdoa saja semoga Allah berkenan menerimanya sebagai jariyah ilmu dan bisa menginpsirasi orang lain untuk melakukan kebaikan. Pasrahkan saja kepada Allah. siapa tahu bisa jadi bekal perjalanan menuju negeri Akhirat. Yakini saja bahwa dengan tulisan itu dengan ridha dan rahmat-Nya Allah akan memasukkannya ke surga tanpa harus mampir dulu ke neraka. Urusan orang lain itu membaca atau tidak itu pasrahkan saja kepada Allah. Tugas kamu adalah menulis dan sebarkanlah dengan media yang ada. Apalagi urusan ketenaran dan popularitas, persetan itu! Ya, yang penting menulis saja.” Begitu keyakinannya yang cuek dengan penghargaan manusia.
Kalau media massa dan online-nya tidak menerima dan menyatakan tidak layak muat? “Ya, sudah biarkan saja. Mau dibuang, ditolak, tidak layak muat, dianggap ndak bagus dan sebagainya, yang sudah biarkan saja. Tampilkan saja di status media social. Bisa Facebook, Instagram, Twitter, WA, buat blog sendiri dan sebagainya. Yang penting, luruskan dulu niatmu untuk mendapat ridha dan rahmat Allah. Jika kemudian ada keuntungan dunia, itu pasrahkan dan biar Allah yang mengatur.” Sekali lagi, biar Allah saja yang mengatur. Terlalu kecil urusan rezeki dan dunia ini bagi Allah, dan terlalu ndakik bagi seorang manusia. Wallahu a’lamu.