Al-Bari’; Yang Maha Mengadakan
Kata “al-bari’” sebagai salah satu sebutan dalam Asma’ al-Husna hanya disebut satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surat Al-Hasyr ayat 24.
هُوَ ٱللَّهُ ٱلۡخَٰلِقُ ٱلۡبَارِئُ ٱلۡمُصَوِّرُۖ لَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna.
Para ulama tampaknya lebih memandang sifat Al-Bari’ tersebut sebagai integral dari tiga sifat Allah SwT, yang bersifat khusus, Al-Khaliq, Al-Bari’, dan Al-Mushawwir. Dikatakan bahwa ketiga sifat tersebut menunjukan kemahakuasaan Allah SwT yang sangat luar biasa dalam hal proses penciptaan alam semesta ini.
Kata Al-Bari’ arti dasarnya adalah memisahkan sesuatau dari sesuatu, atau menurut ahli bahasa, Ibnu Mandhur, berarti pencipta ciptaan tanpa berdasar contoh. Dari penjelasan secara semantik ini dapat dirumuskan sebuah pengertian bahwa Allah Swt memiliki kekuasaan menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dengan tanpa contoh dan ciptaan tersebut terpisah dari ciptaan yang lain.
Maka frasa “ciptaan tersebut terpisah dari ciptaan yang lain” adalah setiap ciptaan memiliki kekhususan sendiri-sendiri. misalnya dari sudut stuktur (bentuk), ciri (khas), dan sifat. Dengan adanya kekhususan ciptaan yang berbeda-beda ini menunjukan dengan begitu jelasnya atas kemahakuasaan Allah Swt seperti disinggung di atas.
Perlu ditegaskan pula di sini, bahwa ketika Allah Swt berkehendak untuk menciptakan sesuatu, maka Allah tidak perlu melihat atau memperhatikan apa yang diciptakan sebelumnya. Begitu Allah Swt berkehendak menciptakan sesuatau, maka Allah hanya berucap Kun Fa Yakun.
Dengan memperhatikan sifat Al-Bari di atas, maka kita selaku umat yang beriman total terhadap Allah Swt, ada beberapa sikap konret yang harus kita yakini dan lakukan. Pertama, kita perlu menerima secara tulus atas kenyataan hidup dan kenyataan ciptaan yang bervariasi ini, baik dari segi macamnya, dari segi jenisnya, dan dari segi ketegorinya. Variasi ciptaan ini menunjukan objektivitas dalam kehidupan. Dalam bahasa agama, pluralitas, kemajemukan, adalah niscaya. Karena itu, seorang yang beriman dan meyakini Allah Swt bersifat Al-Bari’ tidak pada tempatnya terkaget-kaget karenanya, melainkan mengucapkan takbir: Allahu Akbar.
Kedua, kita perlu tanamkan dalam jiwa dan rohani kita bahwa pada hakikatnya kita ini sama-sama hinanya di hadapan Allah Swt yang karena itu kita perlu saling menghargai atas diri kita selaku makhluk. Misalnya terhadap sesama manusia kita perlu saling menutup kekurangan, membantu, menolong yang lemah dan susah, melindungi dan sebagainya. Kita tahu persis bahwa seluruh kenyataan yang berbeda adalah iradah Allah Swt berdasat sifat Al-Bari’ yang dimiliki-Nya.
Itulah antara lain hikmah atau kemanfaatan yang bersifat nalar dan keimanan yang bisa kita petik. Insya-Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
Mohammad Damami Zain, Dosen Tetap UIN Suka Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2017