Dr HM Ali Taher Parasong, anak yatim dan miskin, meninggalkan kampung dan bermigrasi ke Jakarta sejak kelas tiga SD. Di Jakarta, ia belajar sambil membantu pihak sekolah menyiram taman di halaman sekolah. Ia menyiapkan minuman untuk para guru. Ketika di SMP dan SMA, Ali Taher aktif di OSIS dan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Setelah lulus dari SMA, Ali Taher melanjutkan kuliah di fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ia kemudian berkiprah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan usai itu aktif di Pemuda Muhammadiyah
Puncak kegiatan kepemudaan, ia menjabat sebagai Sekjen Pemuda Muhammadiyahsaat Prof Din Syamsuddin duduk sebagai Ketua Umum.
Sebagai anak kampung yang diliputi berbagai problem sosial rumit, Ali pemuda yang dinamis ini, mentransformasi kemiskinan dan keyatimannya dengan iman dan estimologi profetik. Ia mampu mentransformasikan masa lalu yang pahit getir dan suram, dengan paham optimistik.
Ali menanjak langkah ikhtiar merebut dan menjemput perubahan. Selain itu, dalam kehidupan organisasi serumpun di Muhammadiyah itu, turut membentuk watak dan karakter Ali sebagai aktivis Islam yang berhaluan ideologi Pancasila. Sebuah pemahaman yang dinsyafi oleh Islam.
Tentu dinamika pergerakan kemahasiswaan dan kepemudaan, juga turut mewarnai institusi moralitas pribadi Ali sebagai seorang Muslim Indonesia yang kaffah.
Ali Taher: Politisi Berkarakter
Dalam perjalanannya, tidak heran jika sosok Ali Taher kemudian tumbuh menjadi politisi berkarakter tegas tapi santun, terpelajar, terdidik dan berintegritas layaknya Abul A’la almaududi di Pakistan atau M Natsir di Indonesia.
Sekali lagi, dialah sejatinya politisi Indonesia, berbicara di atas landasan konstruksi iman, ilmu dan akhlaq.
Sebagai politisi senior, ia hadir mewakili suara bangsa. Ia berbicara saat anggota kabinet, parpol tengah banyak yang bungkam di bawah kendali oligarki dan kekuatan modal. Negara ini, seolah dijalankan tanpa ilmu dan moralitas sebagai negarawan.
Bagi mereka yang mengaku muballigh, ustadz, ilmuwan Muslim, ulama yang berada di dalam istana dan lingkungannya, mana suaramu? Di mana iman, ilmu dan akhlaq kalian sebagai pekerja negara? Apakah kalian hanya bisa beretorika, berkoar-koar menjadi alat kekuasaan? Apakah kalian tidak punya rasa malu menghina, menghardik para ulama, tokoh Islam, aktivis Islam dan ormas Islam yang tengah berjuang bagi tegaknya keadilan di tanah air tercinta.
Ali, menolak semua narasi yang dibangun oleh menteri agama. Ali justru memberikan pandangan optimistik, bahwa umat Islam di Indonesia, tidak seperti yang disangkakan oleh menteri agama. Umat Islam di Indonesia, merupakan pengawal negeri ini. Umat Islam Indonesia, tetap memegang paradigma Islam sebagai rahmatan lilalamin, Islam rahmatan lil Indonesia.
Diadapatasi dari Harun Songge
Mukhaer Pakkanna, CIDES