Antara Fulus dan Uang Elektronik
Oleh: Miqdam Awwali Hashri
Imam Al Maqrizi (w. 845H/1441M), seorang ulama sekaligus sejarawan dan ekonom Islam klasik abad ke-15 M pernah mengkritik penggunaan uang selain emas (dinar) dan perak (dirham). Saat itu di Mesir di bawah Dinasti Mamluk mengembangkan penggunaan fulus, yaitu jenis uang yang terbuat dari tembaga atau kuningan, sehingga menyebabkan jumlah fulus yang beredar lebih banyak daripada dinar dan dirham. Menurut Al Maqrizi, mengganti penggunaan dinar dan dirham dengan fulus merupakan salah satu penyebab dari inflasi dan krisis Mesir yang pernah terjadi pada tahun 1403 – 1405 M.
Analisis Al Maqrizi terhadap Inflasi Mesir (1403 – 1405 M)
Imam Al Maqrizi menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu dalam menganalisis penyebab inflasi pada saat itu. Menurut Imam Al Maqrizi, terdapat dua jenis penyebab inflasi, yaitu: pertama Inflasi Alamiah (Natural Inflation) yang disebabkan terganggunya pasar dari sisi supply. Hal ini terjadi akibat bencana alam sehingga berkurangnya produksi pertanian atau adanya wabah penyakit sehingga produktivitas menurun. Kedua, Inflasi Akibat Kesalahan Tata Kelola (False Inflation) yang disebabkan oleh tiga hal, yaitu (i) Korupsi dan suap, (ii) Administrasi pemerintahan yang buruk, dan (iii) Pajak yang berlebihan dan mencari keuntungan dengan mencetak fulus secara berlebihan. Hal ini disebabkan biaya mencetak fulus lebih rendah sehingga fulus lebih banyak digunakan oleh masyarakat.
Pemerintah mencetak fulus secara besar-besaran hingga mengimpor tembaga dari Eropa. Akibatnya fulus menjadi dominan, sedangkan dirham (perak) dikuasai oleh pemerintah. Di sisi lain, dirham yang terbuat dari perak mulai langka dari peredaran. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama dirham sudah tidak dicetak lagi oleh pemerintah. Kedua, dirham yang dimiliki oleh rakyat kemudian dilebur untuk dijadikan perhiasan.
Awalnya fulus dianggap bukan sebagai suatu alat tukar. Menurut Imam Al Maqrizi, sejatinya Fulus merupakan salah satu upaya penguasa untuk meningkatkan kekuasaannya dengan mengadopsi tembaga dan mencetak dalam bentuk potongan-potongan kecil. Selain fulus, ada benda lain yang digunakan sebagai alat tukar, seperti roti kering dan sejenis kerang. Benda-benda tersebut digunakan untuk jual beli yang nilainya tidak signifikan, dan bukanlah mata uang yang layak untuk disimpan.
Imam Al Maqrizi memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar menggunakan sistem moneter alami yaitu dinar dan dirham menjadi mata uang pokok. Sedangkan fulus masih tetap dapat diterbitkan namun hanya secara terbatas digunakan untuk membeli barang-barang yang bernilai kecil.
Wujud Uang di Era Digital
Secara prinsip, uang haruslah berwujud karena fungsinya sebagai penukar sumberdaya yang diperjualbelikan sehingga sumberdaya dapat ditukar dengan sumberdaya yang nilainya setara. Sebagaimana menurut pendapat Imam Al Maqrizi, mata uang sebagai sistem moneter alami merupakan suatu benda yang berdasarkan dua jenis sumberdaya alam, yaitu emas dan perak. Uang jenis emas dan perak memiliki nilai intrinsik. Sekalipun uang tersebut dipecah menjadi beberapa bagian, dalam setiap bagiannya masih mengandung nilai.
Dikemudian hari, uang yang berbahan barang tambang ini berubah wujud menjadi uang berbahan kertas. Barang tambang merupakan sumberdaya alam tak terbarukan, sedangkan kertas yang terbuat dari serat kayu merupakan sumberdaya alam terbarukan. Maka memproduksi uang berbahan kertas dianggap lebih rendah biaya produksinya.
Kemajuan teknologi mendorong perubahan wujud uang, yang sebelumnya uang berbahan kertas kemudian berganti menjadi deretan angka digital atau disebut juga dengan uang elektronik. Uang dalam bentuk digital ini juga dianggap lebih murah biaya produksinya dibandingkan dengan uang kertas. Meskipun demikian, uang berbahan kertas dan logam secara formal merupakan uang yang sah dan diatur di dalam Undang-undang.
Pada dasarnya, uang elektronik bukanlah uang yang sesungguhnya. Dikatakan bukan uang sesungguhnya karena di dalam Undang-undang No 7 Tahun 2011 tentang Uang pada Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa “Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam”.
Hal ini diperinci melalui PBI No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 ayat 1 disebutkan “Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan ayat 2 “Setiap pihak wajib menggunakan Rupiah dalam bertransaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam PBI tersebut, juga dijelaskan penggunaan Rupiah dalam dua bentuk yaitu pertama, transaksi tunai dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam sebagai alat pembayaran. Kedua, transaksi nontunai dengan menggunakan alat dan mekanisme pembayaran secara nontunai. Dengan demikian penggunaan uang elektronik bisa dikategorikan dalam bentuk transaksi nontunai.
Bank Indonesia juga telah mengeluarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. Dalam Pasal 1 ayat 3 dijelaskan bahwa uang elektronik merupakan instrumen pembayaran yang harus memenuhi tiga unsur. Pertama, diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit. Kedua, nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip. Ketiga, nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Sedang yang dimaksud dengan nilai uang elektronik sebagaimana pada ayat 4 adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Dengan demikian dapat dipahami bahwa uang elektronik memiliki fungsi untuk melakukan pembayaran atas suatu transaksi sebagaimana fungsi uang secara umum.
Teknologi digital semakin berkembang hingga memungkinkan pihak swasta membuat suatu aplikasi untuk transaksi pembayaran secara digital. Sebagai contoh, kita bisa jumpai aplikasi smartphone layanan transportasi daring. Perusahaan transportasi daring juga memberikan layanan pembayaran secara digital. Pembayarannya pun bukan lagi dengan cara transfer rekening pelanggan ke rekening tukang ojeg melainkan menggunakan fasilitas pembayaran pada aplikasi tersebut. Meskipun pembayaran secara tunai masih dimungkinkan, namun seringkali diarahkan untuk menggunakan uang elektronik dengan insentif diskon.
Penggunaan uang elektronik tidak tanpa risiko. Dalam aktivitas industri perbankan, dikenal adanya risiko operasional bank. Risiko operasional bank adalah risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan atau tidak memadainya proses internal, manusia, dan sistem atau kejadian eksternal. Transaksi perbankan berbasis teknologi digital merupakan salah satu jenis risiko operasional bank, diantaranya yaitu berpotensi terjadinya kegagalan sistem berupa rusaknya server bank atau sejenisnya. Tentunya, pihak bank maupun otoritas (OJK) telah menyusun sistem mitigasi terkait dengan risiko tersebut.
Kewaspadaan Penggunaan Uang Elektronik
Di era digital seperti sekarang ini, uang bukan lagi dalam bentuk fisik melainkan telah menjelma dalam bentuk digital yang ada pada saldo rekening bank. Transaksi cashless atau nontunai juga terus digalakkan, apalagi dalam situasi pandemi. Produk-produk sarana transaksi keuangan elektronik terus bermunculan, mulai dari jual-beli hingga kredit dan pembiayaan.
Dalam kontekstualisasi pemikiran Imam Al Maqrizi pada era saat ini, ada beberapa hal yang perlu diingat dan menjadi kewaspadaan agar tidak mengarah seperti terjadinya inflasi di Mesir pada masa Imam Al Maqrizi, antara lain: pertama, berubahnya wujud uang yang awalnya berwujud uang logam emas dan perak kemudian berubah menjadi berbahan kuningan/tembaga dan kertas lalu menjadi uang elektronik tak beruwujud. Hal ini menyebabkan peredaran emas dan perak di masyarakat menjadi terbatas bagi kalangan tertentu. Kebanyakan orang menyimpan uangnya dalam bentuk saldo rekening pada bank atau uang elektronik.
Kedua, sebagaimana analisis dari Imam Al Maqrizi, krisis moneter dan inflasi disebabkan oleh penggunaan jenis uang selain emas dan perak yang berlebihan. Pemerintah melalui kebijakan BI/OJK yang telah mendorong penggunaan uang elektronik, agar meningkatkan pengawasannya terhadap aktivitasnya supaya tetap terkendali. Pengawasan tersebut diantaranya adalah perlunya pembatasan nilai transaksi agar tidak berlebihan. Uang elektronik sebaiknya tidak digunakan untuk transaksi yang bernilai besar, sebagaimana fulus yang hanya digunakan untuk transaksi dengan nilai kecil. Hal ini sebagai bentuk mitigasi risiko.
Ketiga, penggunaan uang elektronik memiliki risiko operasional, yaitu terjadinya kegagalan sistem sehingga berdampak pada aktivitas ekonomi masyarakat. Masyarakat perlu memiliki kesadaran ini agar tidak seluruhnya menyimpan uangnya dalam bentuk saldo rekening pada bank atau uang elektronik, melainkan perlu memiliki sarana penyimpanan lain dalam bentuk tunai terutama yang berwujud emas atau perak.
Berdasarkan tiga kewaspadaan tersebut di atas, bukan berarti harus menolak sama sekali penggunaan uang elektronik. Perkembangan teknologi tidak mungkin dihindari sehingga perlu dilakukan adaptasi. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, penggunaan uang elektronik menjadi salah satu solusi. Hal yang terpenting adalah mewaspadai risiko terburuk yang mungkin terjadi agar dapat dibuatkan mitigasinya. Bukan hanya oleh regulator, melainkan juga masyarakat sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Setidaknya kewaspadaan di atas dapat menjadi early warning.
Wallahu a’lam
Miqdam Awwali Hashri, Magister Sekolah Pasca Sarjana Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia