Perlu Perlindungan Hukum dan Keadilan Sosial di RPP UU Cipta Kerja
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Perijinan usaha, pengelolaan keuangan dan koperasi usaha kecil menjadi salah satu cluster menarik dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan publik sangat menaruh perhatian besar terhadap keperpihakan pemerintah dalam implementasi UU Cipta Kerja yang selama ini dikenal dengan UU sapu jagat tersebut. Berangkat pemikiran tersebut, Sekertaris Umum Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mukhaer Pakkana, dalam pandangannya usai acara series webiner meeting yang diselenggarakan oleh Tim Serap Aspirasi (TSA) Rabu (6/01/2021), mengatakan, di RPP Cipta Kerja, perlunya memberikan perlindungan aspek hukum kepada semua elemen masyarakat termasuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dengan adanya perlindungan hukum, maka keberadaan UU Cipta Kerja bukan hanya memiliki keperpihakan terhadap konglomerat saja akan tetapi juga memiliki keperpihakan terhadap ekonomi wong cilik. “Dengan demikian rasa keadilan sosial ada dalam nafas dan semangat UU Cipta Kerja ,”ujarnya dalam keterangan rilease yang dibagikan keberbagai media hari ini.
Untuk mengimplementasikan perlindungan hukum bagi pelaku UMKM, lanjut Mukhaer, diperlukan advokasi yang konkrit diantaranya pendampingan pelaku usaha, perijinan yang mudah, perkuatan permodalan, teknologi IT dan infrastruktur akses pasar bagi produk UKM. Kebijakan regulasi publik inilah yang selama ini ditunggu – tunggu oleh publik.
Apalagi, jika di hight light RPP Cipta Kerja tidak bisa dipisahkan dari UU Cipta Kerja atau Omnibuslaw yang selama ini disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 yang mengalami pro dan kontra di masyarakat. Ditambah lagi dalam rekam publik selama ini sangat terkesan sekali—apabila UU Cipta Kerja tesebut sangat pro kepada pelaku usaha besar atau konglomerat. Melihat fenomena itu MEK-PPM berharap agar UU Cipta Kerja tak keluar dari zona amanah konstitusi. Disinlah perlunya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang nantinya menjadi peraturan pemerintah (PP) yang berfungsi dalam implementasi UU Cipta Kerja.
Selain perlindungan hukum, Mukhaer juga menyinggung tentang perijinan dan pendirian badan hukum usaha, dimana dalam RPP Cipta Kerja tak menyeragamkan semua kegiatan usaha berbasis badan hukum usaha perseroaan terbatas (PT) atau lainya yang harus mengikuti pola dan tatakelola manajemen modern. Penting sekali dalam RPP memasukkan ekspresi kearifan lokal dan semangat kebhinekaan kebangsaan dalam membuat badan usaha, seperti yang terjadi di lembaga amal usaha ormas Islam Muhammadiyah, badan usaha nagari dan badan usaha desa. “Dengan demikian keberadaan dari PP Cipta Kerja tetap menjaga nilai – nilai Keindonesiaan,”terangnya.
Jadi terkait dengan cluster RPP Cipta Kerja perijinan usaha pengelolaan keuangan dan koperasi usaha kecil ini, MEK-PPM menekankan, perlunya keperpihakan dan pemanfaatan dari UU Cipta Kerja tersebut kepada masyarakat yang lemah. Jika diperlukan ada pemberian insentif kepada pelaku usaha yang telah berhasil dan mampu memberikan kontribusi besar dalam pengembangan usaha. Dengan demikian keberadaan dari UU Cipta Kerja memiliki keadilan sosial kepada semua pihak.
“Kami juga berharap dalam implementasi UU Cipta Kerja perlunya meninggalkan ego sektoral antara pusat, wilayah dan daerah jangan sampai atas nama kekusaan otonomi daerah yang terjadi berbeda persepsi dalam menjalankan UU Cipta Kerja,”tandas Mukhaer.(riz)