YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Presiden Pertama RI, Sukarno merupakan pengembara intelektual baik dalam secara keilmuan maupun keagamaan. Begitu juga Sukarno yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah, mulai mengaji kepada KH Ahmad Dahlan hingga kiprahnya menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah saat pengasingan di Bengkulu.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti menyebut dari hasil pendalaman Sukarno terhadap Islam, komitmennya tidak perlu diragukan lagi. “Sejarah panjang kehidupannya tidak menunjukkan bahwa ia anti terhadap Islam. Pemikirannya tentang Islam pun mengacu kepada KH. Ahmad Dahlan yang notabene pendiri Muhammadiyah,” tutur Prof Abdul Mu’ti dalam Kajian Buku Sukarno dan Islam; Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia, Rabu (20/1/2021).
Dalam fase politik yang tidak mudah, tulisan-tulisan Bung Karno mengenai Islam justru paling banyak ditulis pada masa yang seakan-akan jauh dari Islam. “Melalui tulisan-tulisan tersebut semakin menegaskan satu pandangan kepada kita sekalian bahwa Sukarno adalah seorang Muslim yang komitmen dan memiliki ketaatan dalam menjalankan agamanya,” ungkap Prof Abdul Mu’ti.
Termasuk pada masa yang disebut jauh atau dijauhkan dari Islam, Bung Karno mendapatkan Bintang Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ahmad Badawi. Malah Bung Karno pun pernah diminta untuk tidak menghadiri peringatan setengah abad Muhammadiyah. Akan tetapi Bung Karno tetap menghadirinya dan menyampaikan Pidato fenomenal “Makin Lama Makin Cinta”.
Sukarno dan Integrasi Nasional
Perlu menjadi agenda ke depan bagaimana perosalan agama dan keindonesiaan tidak seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan. “Sukarno adalah contoh bagaimana keislaman, keindonesiaan bisa menyatu dengan sebuah kepribadian pembelajar dan terbuka, bisa cair dan bergaul dengan siapa saja,” tutur Prof Abdul Mu’ti.
Menurutnya, integrasi yang terjalin melalui relasi personal tersebut perlu terus dibangun agar bisa melintasi batas-batas perbedaan yang ada. “Karena secara personal kita memiliki kedekatan antara satu dengan yang lain,” tambanya.
Dialog antara keindonesiaan, kemodernan, dan keislaman bisa dilihat ketika Bung Karno mempopulerkan kopiah hitam yang sering dikenakannya. “Seorang muslim tidak perlu canggung dengan dunia modern dan kemudian tidak perlu kehilangan identitas keislamannya ketika dia masuk ke dunia modern yang begitu terbuka,” pungkas Prof Abdul Mu’ti. (Riz)