Macam-Macam Bid‘ah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ustadz ada sesuatu yang saya mau tanyakan masalah bid‘ah. Apakah ada macam-macam bid‘ah seperti bid‘ah hasanah dan bid‘ah dhalalah? Saya mengharap jawaban dari ustadz. Terima kasih.
Yudhanto Prasetyo (disidangkan pada Jum‘at, 3 Rabiulawal 1441 H / 1 November 2019 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih kami ucapkan kepada saudara atas kepercayaan saudara kepada kami untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang sama dijawab oleh Majelis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 3, Majalah Suara Muhammadiyah No. 10 tahun ke-84/1999 dan No. 1 tahun 2004). Kami akan menerangkan secara ringkas, untuk lebih jelasnya saudara bisa langsung merujuk pada sumber di atas.
Bid‘ah secara bahasa berasal dari akar kata dalam bahasa arab bada‘a artinya mengadakan (membuat) sesuatu yang baru. Adapun dalam istilah syarak pengertian bid‘ah ialah cara baru dalam perkara agama yang diserupakan syariat yang dikerjakan orang dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah serta mengharap pahala tanpa adanya dalil dalam syarak atau contoh dari Rasulullah saw. Memahami istilah di atas bahwa bid‘ah dibatasi dalam hal agama (akidah dan ibadah).
Kata bid‘ah terdapat dalam hadis Nabi saw, antara lain hadis riwayat Muslim (Shahih, hadis nomor 867) dari Jabir ibnu Abdillah,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ»، وَيَقُولُ: «بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ»، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ، وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ …
Dari Jabir bin Abdullah (diriwayatkan) ia berkata, bahwasanya apabila Rasulullah saw menyampaikan khutbah maka kedua matanya memerah, suaranya lantang dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando pada bala tentaranya. Beliau bersabda, hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah). Beliau melanjutkan bersabda “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, seburuk-buruk perkara adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat …
Dalam riwayat an-Nasa’i (hadis nomor 1550) disebutkan dengan lafal,
… وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ …
… dan setiap yang sesat adalah di neraka ...
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang macam-macam bid‘ah. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pijakan dasar. Ada yang mendasarkan kepada aspek yuridis (syarak) dan ada yang mendasarkan kepada aspek bahasa. Menurut asy-Syatibi (dalam kitab al-I‘tisam Juz I hal 34), bid‘ah itu hanya ada dalam bidang agama yang sengaja dibuat menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Allah swt. Sedangkan yang berhuhungan dengan adat adalah suatu cara dalam agama yang diada-adakan orang dengan tujuan bahwa adat itu dipandang menyerupai syariat. Pandangan asy-Syatibi ini didasarkan hadis di atas. Asy-Syatibi juga mendasarkan pandangannya kepada hadis al-Bukhari (nomor 5063) dari Anas bin Malik,
أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ … فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ … فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
Telah mengabarkan kepada kami Humaid bin abi Tawil, bahwasannya ia mendengar Anas bin Malik berkata …, kemudian datanglah Rasulullah saw bersabda kepada mereka, … barangsiapa yang tidak suka sunnahku, maka bukan termasuk golonganku [HR. al-Bukhari nomor 5063].
Dari hadis tersebut, asy-Syatibi menyimpulkan antara lain, orang yang melakukan sesuatu dalam urusan agama tanpa berlandaskan sunnah, maka jelas dirinya telah berbuat bid‘ah.
Sementara itu, pendapat lain, misal asy-Syaf”i, membagi bid‘ah kepada bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Dipandang terpuji jika sesuatu yang baru itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau as-Sunnah dan asar sahabat atau ijmak sahabat. Jika sebaliknya, akan dipandang sebagai bid‘ah sayyiah/tercela. Keterangan ini dirujuk dari kitab al-Bida‘ al-Hauliyah bab Bid‘ah Fii Istilah juz 1 hal 20 karya Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad al-Tuwaijri, kemudian bisa juga dilihat dalam kitab Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim Juz 9 hal 113 dan Fathul Baari Juz 13 hal 253 karya Ibnu Hajar.
Dalam kaitan ini, menurut Muhammadiyah bid‘ah itu hanya ada dalam masalah akidah dan ibadah mahdlah. Namun dalam masalah muamalah, selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan -walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah saw,- maka hal tersebut bukanlah suatu perbuatan bid‘ah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2020