Pelajaran dari Kisah Thalut dan Jalut; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 246-252
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْۢ بَنِيْٓ إِسْرَآءِيْلَ مِنْۢ بَعْدِ مُوسٰٓى إِذْ قَالُوْا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيْلِ اللهِۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوْاۖ قَالُوْا وَمَا لَنَآ أَلَّا نُقَاتِلَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَاۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْۚ وَاللهُ عَلِيْمٌ بِالظّٰلِمِيْنَ ٢٤٦ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًاۚ قَالُوْآ أَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِۚ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفٰىهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهٗ بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَالْجِسْمِۖ وَاللهُ يُؤْتِيْ مُلْكَهٗ مَنْ يَشَآءُۚ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٤٧ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ أٰيَةَ مُلْكِهٖٓ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ أٰلُ مُوسٰى وَأٰلُ هٰرُوْنَ تَحْمِلُهُ الْمَلٰٓئِكَةُۚ إِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَأٰيَةً لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ٢٤٨
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zalim (246)
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (247)
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman (248)
Ayat 246 ini merupakan kelanjutan dari penjelasan Allah mengenai kewajiban berjihad di jalan Allah, baik jihad yang terkecil yakni salamatus sudur (tidak menjadikan siapa pun orang di hadapan kita sebagai beban, dan begitu sebaliknya kehadiran kita bukan merupakan beban bagi orang lain), ataupun jihad yang terbesar yakni al-qital (berperang di jalan Allah dengan harta dan jiwa). Ayat-ayat tersebut memang bercerita dalam konteks kehidupan Bani Israil sepeninggal Musa, namun secara maknawi merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesuai dengan perkembangan zaman termasuk untuk konteks kehidupan kini. Jihad pada masa Bani Israil tersebut merupakan perang (al-qital). Dalam ayat ini perang telah diwajibkan kepada Bani Israil. Namun, kewajiban berperang ini justru mereka tolak meskipun telah dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat dalam bidang ilmu pengetahuan dan fisik.
Kalimat ib’ats lana malikan nuqatil fī sabilillah (ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللّهِ) yang artinya “angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah” menjadi indikasi bahwa dalam berjihad di jalan Allah mereka meminta syarat harus ada pemimpin yang mereka kehendaki. Ketika pada ayat sebelumnya ditegaskan bahwa berjihad di jalan Allah harus dilandasi dengan keikhlasan, ayat ini menunjukkan keengganan Bani Israil untuk berjihad secara ikhlas. Hal ini memberi pelajaran kepada kita bahwa berjihad di jalan Allah merupakan kewajiban agama sehingga tanpa syarat apa pun tetap harus dilaksanakan karena merupakan tradisi dari para nabi untuk menegakkan kebenaran. Hal ini senada dengan firman Allah dalam Q.S. al-Hajj (22): 78,
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلٰوةَ وَآتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللّهِ هُوَ مَوْلٰىكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, yaitu agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Kemudian keikhlasan dalam menjalankan jihad dan perjuangan di jalan Allah tidak hanya pada niat semata. Keikhlasan juga harus diwujudkan dalam perbuatan dalam perjuangan. Keikhlasan merupakan sebuah kondisi kejiwaan yang mendorong terwujudnya perbuatan yang sesuai dengan aturan Allah dan hanya mengharap balasan dari Allah semata. Oleh karena itu, pada penghujung ayat 246 Allah berfirman dengan sebuah penegasan falamma kutiba ‘alaihimul qital tawallau illa qalilan minhum (فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ) yang artinya “maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka”.
Allah memberi gambaran bahwa Bani Israil yang sebelumnya meminta untuk sebuah kewajiban berjihad, setelah benar-benar diwajibkan, sebagian besar dari mereka berkilah dan enggan untuk melaksanakannya, kecuali hanya sedikit di antara mereka yang mau berjuang di jalan Allah. Sikap ini merupakan gambaran ketidakikhlasan Bani Israil dalam menghadapi kewajiban berjihad. Sikap ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah dalam surah al-Hajj ayat 78 di atas yang memberikan penjelasan bahwa berjihad merupakan sebuah tradisi kenabian yang telah sejak lama diwajibkan.
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ إِنَّ اللهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهٗ مِنِّيْٓ إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةًۢ بِيَدِهٖۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ إِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْۚ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ أٰمَنُوْا مَعَهٗ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖۚ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللهِ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةًۢ بِإِذْنِ اللهِۗ وَاللهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ ٢٤٩ وَلَمَّا بَرَزُوْا لِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ قَالُوْا رَبَّنَآ أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ٢٥٠ فَهَزَمُوْهُمْ بِإِذْنِ اللهِ وَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَأٰتٰىهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَآءُۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلٰكِنَّ اللهَ ذُوْ فَضْلٍ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ ٢٥١ تِلْكَ أٰيٰتُ اللهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّۚ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَ ٢٥٢
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia termasuk kelompokku. Barangsiapa tidak meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia termasuk kelompokku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah”. Allah beserta orang-orang yang sabar (249)
Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, “Wahai Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan menangkanlah kami terhadap orang-orang kafir” (250)
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) kekuasaan dan hikmah, dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam (251)
Itu adalah ayat-ayat Allah, kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus (252)
Pada rangkaian ayat berikutnya, yakni ayat 249-251, Allah menjelaskan bahwa keikhlasan dalam berjihad merupakan sebuah keharusan yang biasanya disertai dengan ujian-ujian. Pada ayat-ayat tersebut Allah mengisahkan bahwa ujian yang datang kepada Bani Israil pada saat mereka berperang adalah sungai yang airnya sangat menyegarkan. Ujian itu berupa anjuran untuk tidak meminum air sungai yang menyegarkan itu kecuali hanya seceduk tangan saja. Sebagian besar Bani Israil melanggar ujian itu dengan meminum lebih dari seceduk tangan. Ini adalah bukti dari ketidakikhlasan sebagian besar Bani Israil dalam menyikapi jihad dan perjuangan di jalan Allah.
Sebagaimana dijelaskan di atas, jihad atau berjuang di jalan Allah itu dimaknai secara luas, yakni upaya untuk menegakkan kebenaran dari yang paling rendah yakni salamatus sudur dan yang paling tinggi yakni al-qital. Dengan demikian, jihad bisa dimaknai secara luas termasuk berbagai aktifitas yang berorientasi dalam menegakkan kebenaran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk konteks kekinian “sungai dengan air yang menyegarkan” sebagaimana tercantum dalam ayat di atas adalah “godaan kenyamanan dan fasilitas” yang selalu ada di depan kita. Perjuangan dalam menegakkan kebenaran melalui dakwah untuk era sekarang ini selalu dihadapkan pada “godaan kenyamanan dan fasilitas” tersebut. Allah memperbolehkan kita untuk menikmati kenyamanan dan fasilitas tersebut sebagaimana terungkap dalam frasa illa manightarafa ghrfatan biyadih (إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ) yang artinya “kecuali orang yang hanya meminum seceduk dari tangannya”, sekedar untuk menopang kehidupan dan perjuangan kita, bukan justru larut dalam kenyamanan dan fasilitas tersebut.
Akibat langsung bila terlalu banyak larut dalam kenyamanan dan fasilitas, akan muncul kemalasan dan perasaan takut untuk menghadapi perjuangan. Hal ini terungkap dalam frasa la thaqata lanal yaum bijaluta wa junudihi (لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ) yang artinya “tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Sebaliknya, jika kenyamanan dan fasilitas dinikmati sekedarnya untuk mendukung perjuangan, maka kesemuanya itu tidak akan menghalangi untuk berjuang dan berjihad di jalan Allah, karena sesungguhnya keikhlasan dalam berjuang menegakkan kebenaran dari Allah merupakan keutamaan bagi orang-orang yang beriman yang taat pada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini terungkap dalam firman-Nya kam min fi`tin qalilatin ghalabat fi`atan katsiratan bi idznillahi (كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ) yang artinya “berapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah”. Penggalan kalimat dalam firman Allah ini bermakna bahwa orang-orang yang tahan uji dengan kenyamanan dan fasilitas akan sanggup menghadapi tantangan perjuangan dengan penuh keyakinan bahwa kemenangan itu ada di hadapannya dengan dilandasi sebuah keikhlasan dan kesadaran ketauhidan (bi idznillah/dengan izin Allah).
Dalam bahasa Inggris, keikhlasan diterjemahkan dengan sincerity. Kata sincerity merupakan turunan dari kata Latin sincerus yang arti asalnya adalah bersih, apa adanya. Ini dapat dimaknai bahwa keikhlasan merupakan sebuah kesadaran manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak hanya berharap pada hasil perbuatannya, namun mengharapkan sebuah capaian ideal, dan tidak terjebak pada harapan akan mendapat imbalan berupa materi semata atas perbuatannya tersebut. Dengan demikian, perilaku yang didasarkan pada keikhlasan adalah perilaku yang diorientasikan pada keutuhan dan kesatuan antara suara hati dengan perasaan dan harapan hanya dari Allah, tanpa berharap imbalan atau keuntungan yang sifatnya sesaat dan material saja (Lionel Trilling, Sincerity and Authenticity. Cambridge Massachusetts: Harvard University Press, 1971, hlm.12.).
Kalimat dalam firman Allah min fi`tin qalilatin ghalabat fi`atan katsiratan bi idznillahi (كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ) yang artinya “berapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah” juga mempunyai makna sosial yakni sebagai sebuah upaya peneguhan identitas. Maksud dari upaya peneguhan identitas adalah bahwa sebuah komunitas atau kelompok sosial dalam masyarakat, baik berupa sebuah organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi dakwah keagamaan, untuk dapat mewujudkan tujuan-tujuannya, harus didukung oleh peran dan status kelembagaan tersebut. Dengan mempunyai peran dan status yang jelas, maka fungsi-fungsi sosial kelembagaan dapat berfungsi secara baik. Fungsi-fungsi sosial itu berjalan dengan baik karena adanya trust (kepercayaan). Kepercayaan itu terwujud karena taat pada amanah dan tegar atas ujian-ujian yang dihadapinya.
Dalam Q.S. al-Taubah (9): 105 Allah menjelaskan bahwa konsep trust ini diungkapkan dalam bentuk “persaksian” oleh pihak-pihak lain,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Berangkat dari ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa trust terbentuk dari unsur internal dan eksternal. Unsur internal berasal dari kemampuan mengendalikan diri dari hal-hal yang secara moral harus dijauhi yang dalam surah al-Baqarah ayat 249 di atas diibaratkan dengan “tidak meminum air kecuali seceduk tangan saja”. Unsur eksternal berasal dari kemampuan menunjukkan kepercayaan dan ketaatan sehingga ada “persaksian” dari pihak-pihak yang berada di luar diri kita sebagaimana disebutkan dalam kutipan Q.S. al-Taubah (9): 105 di atas. Unsur eksternal dari trust ini diwujudkan dalam menebarkan kebaikan dan rahmah yang lebih banyak kepada pihak lain. Dengan trust inilah identitas dapat dibangun secara kokoh sebagai individu dan lembaga yang dapat diandalkan.
Dalam konteks sekarang ini, sebuah perjuangan harus didasarkan pada keikhlasan, yakni orientasi utama adalah perubahan kondisi masyarakat yang dilandasi oleh ketauhidan. Adanya niat untuk mengubah kondisi dari tidak baik menjadi baik, dari jahiliyah menjadi beradab, dari kemiskinan menuju kemakmuran dan kesejahteraan, harus dilakukan karena itu semua perintah dari Allah, sehingga hanya berharap keridaan Allah. Keikhlasan tidak diartikan sebagai sebuah usaha yang dilakukan tanpa menghendaki imbalan apapun, namun keikhlasan justru diartikan sebagai sebuah kesadaran dalam melakukan sesuatu untuk mengharap sesuatu, yakni kedekatan dan rida Allah semata. Oleh karena itu, tidak ada tujuan-tujuan lain selain tujuan-tujuan hanya kepada Allah. Dalam konteks ini, makna ikhlas sangat sesuai dengan konsep shamadiyah (ketergantungan) hanya kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ikhlash ayat 2 yang berbunyi allahushshamad (اللّهُ الصَّمَدُ) yang artinya “Allah tempat bergantung segala sesuatu”.
Penjelasan mengenai keikhlasan di atas tergambar dari perjuangan Thalut dan Daud ketika berperang melawan Jalut dengan balatentara yang jauh lebih sedikit dari tentara Jalut. Keikhlasan mereka tertuang dalam sebuah kepasrahan kepada Allah dalam doa mereka yang tercantum dalam ayat 250, rabbana afrigh ‘alaina shabran wa tsabbit aqdamana wanshurna ‘alalqaumil kafirin (رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ) yang artinya “Wahai Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan menangkanlah kami terhadap orang-orang kafir”. Kepasrahan dan rasa “bergantung” kepada Allah ini merupakan bentuk keikhlasan dalam perjuangan, sehingga keridaan Allah mengantarkan pada keuntungan dan imbalan berupa kemenangan bagi Thalut, Daud dan balatentaranya. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya pada ayat 251, fahazamuhum bi idznillahi wa qatala dawudu jaluta (فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ) yang artinya “mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut”.
Dengan demikian, perjuangan dan jihad di jalan Allah harus didasarkan pada ketauhidan sebagai landasan keikhlasan dengan hanya mengharap keridaan Allah. Di samping itu, dalam berjuang juga harus didasarkan pada sebuah manajemen yang baik. Salah satu prinsip manajemen yang baik adalah tampilnya pemimpin dan kader-kader yang kuat. Para kader itu harus bersedia berjuang seirama dengan visi dan misi pimpinan yang menjadi top management dalam perjuangan.
Pola perjuangan yang tertata dengan manajemen yang baik merupakan sebuah solusi untuk mengeluarkan umat dan bangsa dari keterpurukan. Kemiskinan, kebodohan dan permusuhan adalah akibat dari keterpurukan umat dan bangsa. Oleh karena itu, perjuangan dengan dasar ketauhidan dan keikhlasan merupakan salah satu “cara Allah” melalui manusia untuk melindungi keganasan manusia lain yang secara sengaja membuat umat dan bangsa menjadi terpuruk dalam semua lini kehidupan. Hal ini dinyatakan oleh Allah pada penghujung ayat 251 ini, walau la daf’ullahinnasa ba’dlahum bi ba’dlin lafasadatil ardlu wa lakinnallaha dzu fadllin ‘alal ‘alamin (و لَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ) yang artinya “seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”.
Perjuangan yang terorganisir dengan baik telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, sehingga beliau telah memberikan contoh-contoh terbaik dalam pengorganisasian perjuangan dan jihad sebagaimana para nabi-nabi terdahulu. Dengan demikian ayat 252 merupakan penekanan bahwa peristiwa perjuangan Thalut melawan Jalut dan kiprah Daud merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan risalah kenabian, termasuk di dalamnya Rasulullah saw. Hal ini tergambarkan dalam ungkapan firman Allah di penghujung ayat 252 yang berbunyi, wa innaka laminal mursalin (وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ) yang artinya “Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus”. Penggalan ayat ini memberi penegasan bahwa fungsi Rasulullah adalah penebar kebaikan dan rahmat dalam hal peneguhan identitas, pengelolaan manajemen, dan penjaga keutuhan kemanusiaan dari kebangkrutan peradaban sebagaimana misi para rasul yang telah mendahului beliau.
Konsep kepemimpinan yang baik dan penjelasan mengenai manajemen yang berkualitas merupakan satu kesatuan ajaran dari para nabi, dalam konteks ini adalah kisah Thalut, Jalut, dan Daud. Awal ayat 247 yang bunyi ayat innallaha qad ba’atsa lakum thaluta malika (إِنَّ اللّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا) yang artinya “sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu” memberi pelajaran bahwa dalam sebuah organisasi atau gerakan sosial harus ada kepemimpinan yang baik. Fungsi pemimpin bukan hanya sebagai pengendali dari jalannya organisasi, tetapi juga menjadi figur dan sosok teladan bagi para kader dan pengikutnya. Menurut Christopher Mobey dan Tim Finch-Lees, pemimpin itu as agent of change; it is therefore highly pertinent to management development (sebagai agen perubahan, dengan demikian sangat terkait dengan perkembangan manajemen) (Christopher Mobey dan Tim Finch-Lees, Management and Leadership Development (London: SAGE Publications Ltd., 2008), hlm. 13.)
Dengan demikian, pemimpin itu diukur dengan tinggi atau rendahnya kualitas, bukan dengan aspek materi atau keturunan semata. Hal ini terungkap dalam lanjutan firman Allah ayat 247 tersebut, qalu anna yakunu lahul mulku ‘alaina wa nahnu ahaqqu bil mulki minhu wa lam yu`ta sa’atun minal mali (قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ) yang artinya, “Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’”. Ayat ini merupakan gambaran keengganan Bani Israil atas pemimpin yang bukan dari keturunannya dan tidak berharta, meskipun pemimpin tersebut berkualitas dalam hal ilmu dan kekuatan. Meskipun demikian, kualitas itu tetap mengacu pada koridor-koridor dari Allah, dan hal ini disebutkan oleh Allah dalam lanjutan ayat innallahashthafa ‘alaikum wa zadahu basthatan fil ‘ilmi wal jism (إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ) yang artinya, “sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”, dan ini salah satu pilar keteladanan itu.
Pola keteladanan tidak mungkin hanya diperoleh dari kemampuan individual sang pemimpin, namun harus dipandu oleh spiritualitas dan moralitas, dan inilah esensi wahyu. Abu Nasr al-Farabi dalam buku Ara`u ahl al-Madinah al-Fadhilah menjelaskan bahwa sebuah organisasi, termasuk dalam hal ini negara, akan menjadi kuat dan kokoh bila dipimpin oleh orang yang dipandu oleh visi dan misi kenabian, karena para nabi adalah orang-orang yang mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi (al-‘aql al-mustafad) dari golongan manusia (Abu Nashr al-Farabi, Ara`u ahl al-Madinah al-Fadhilah, penyunting al-Quds li al-Dirasat wa al-Buhuts (Cairo: al-Maktabah al-Azhariyah li-Turats, 2002), hlm. 197). Pemimpin yang seperti ini akan mampu membawa kondisi yang disebut oleh al-Farabi sebagai al-ma’murah. Secara harfiyah kata al-ma’murah berarti al-dar al-maskunah, yakni sebuah kondisi masyarakat yang menetap, tidak nomaden (berpindah-pindah) dengan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh anggota masyarakatnya, baik secara politik, ekonomi, dan sosial.
Terkait dengan penjelasan di atas, ayat 248 tersebut menggambarkan salah satu tugas kepemimpinan adalah memberikan kemakmuran, kenyamanan, dan ketentraman bagi yang dipimpin. Ayat tersebut berbunyi, wa qalu lahum nabiyyuhum inna ayata mulkihi an ya`tiyakumuttabutu fihi sakinatun mirrabbikum (وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَن يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ) yang artinya, “Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu”. Dalam sejarahnya, tabut (tabut al-‘ahd [تَابُوْتُ اْلعَهْد], aron hab`rit [אָרוֹן הָבְרִית]) seperti dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama 1 Samuel 3: 3, dan seperti uraian dalam ayat di atas merupakan sebuah wadah berbentuk peti yang berisi kepingan batu (alwah) yang berisi sepuluh perintah Allah kepada Musa. Tradisi Bani Israil sangat menghormati tabut tersebut karena dinamika hidup mereka terpusat pada ajaran Musa, dan itu sumber ketenangan dan ketenteraman mereka.
Untuk konteks sekarang, terkait dengan ayat tersebut, seorang pemimpin harus mampu membawa “tabut” yang di dalamnya terdapat “sakinah”. Kata sakinah dalam ayat tersebut dimaknai sebagai ketenangan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan. Al-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa kata sakinah merupakan suatu perlambang hati yang tenang karena adanya pengetahuan atau pemahaman yang diterimanya (Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradat Alfazh al-Qur`an, (Beirut: al-Dar al-Ayamiyah, 1422 H/2011 M), hlm. 162). Tabut dalam ayat tersebut, yang merupakan warisan Musa dan Harun, bisa dimaknai sebagai wahyu Allah yang jika dipegangi secara baik akan mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi hanya satu, termasuk yang diturunkan kepada Musa, Harun, Isa, dan Rasulullah (Q.S. al-Syura [42]: 13). Mewujudkan suasana tenteram dan tenang merupakan tugas para pemimpin yang selalu dalam koridor wahyu Allah. Ketenteraman atau sakهnah dapat diperoleh dengan cara menjalankan ajaran-ajaran Allah yang diwahyukan kepada para nabi. Pola ini sesuai dengan pemikiran al-Farabi sebagaimana dikemukakan di atas.
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. HM. Dailamy, SP
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1-4 Tahun 2019