Kumpulan Puisi Mustofa W Hasyim, Berlari Mengejar Bayangan

Puisi Mustofa W Hasyim

Foto Dok SM

Kumpulan Puisi Mustofa W Hasyim

Ada Saatnya Mematikan Handphone

Bukan suara burung yang datang

Bukan gambar tarian batang batang padi

Bukan sunyi yang menjelma rindu

Bukan pula masakan sederhana yang harum bumbu

Bukan percakapan yang lembutnya melebihi sutera

Bukan mimpi menyeberang jembatan pohon

Bukan gelombang jauh yang membawa ikan sehat ke bibir pantai

Bukan berita yang mirip madu yang disaring musim

Bukan pula engkau yang menyapa hari hariku dengan senyuman

tawa riang dengan mata bercahaya

Bukan sejenis perahu purba yang menyelamatkan

Bukan rumput halus yang bisa membuat kita berbaring sambil menatap langit biru

Kalau yang datang lewat handphone bukan itu semua buat apa aku capai dan suntuk membukanya?

Waktu demikian berharga kali ini

Ruang dalam ingatanku sudah tidak mau lagi diracuni. 2020 MWH

 

Subuh Berkata

Waktu telah dimulai

untuk berbagi

Sunyi telah kembali

tidur

Rumput rindu

anak anak berlari

menjauh dari kota

masuk taman kampung.

Dengan sepeda mini

menyeberang dari rumah ke rumah sambil menyapa

dengan salam gembira.

Subuh berkata

lebih baik merdeka

dari pada jadi budak kota.

Bernyanyi dengan irama jiwa

membebaskan dari luka lama atau baru

yang dipetakan

oleh yang dangkal nafasnya.

Subuh berjalan ke cakrawala

ketika kota menimbun

penjara.

Perdikan kampung

merayakan tarian

jurus menaklukkan ruang.

(MWH, 8 Agustus 2020).

 

Gerimis Datang Ketika Kau Pergi

Gerimis merintis hujan
luka di jendela
datang sunyi

Percakapan
sinar mata
hati basah

Kisah daun
di telapak tangan
rindu

Engkau pergi
pagi
menunggu senja

Siul jiwa
mengembara
menguji batas

Nafas tercetak
sajadah tua
bergambar bunga

Burung burung
menggoda
waktu.

2020

 

Perempuan Yang Menyuburkan

Perempuan ini menyuburkan dunia

dengan cinta.

Berhati mata air

jernih abadi.

Berjiwa samudera

tempat dia menyelam

di kedalaman menemukan mutiara

untuk diberikan pada anak cucu.

Matanya bening dan damai

dua ekor semut bertengkar jadi bersalama ketika dia menatapnya.

Serigala menjadi jinak

tidak jadi makan mangsa

memilih pinjam madu

pada beruang untuk makan siang.

Suaranya melebihi sutera

lembut dan dan lunak

setiap kata menyuburkan rumput pohon bunga pohon kayu memanggil kupu dan burung rindu.

Ketika melangkah semua serangga menyambut dengan senyuman

Ketika sampai pasar

dia sapa semua pedagang dengan doa

“Semoga hari ini hari panen kalian.”

Dia selalu memberi dan membeli waktu dengan kebaikan kecil-kecilan

melegakan ruang yang dihadiri olehnya.

Dia melindungi anak cucu dari perang

dengan menelan perang di jiwanya.

Ketika tidur, malaikat menjaga perempuan yang memilih menjadi tanah subur bagi masa depan ini.

Perempuan ini punya satu nama

ibu.

(Mustofa W Hasyim, 1 Agustus 2020)

 

Rambut Hitam Dan Rambut Putih

Malam puncak kemarau puncak dingin malam, kudengar suara terbata melekat di telinga. “Kami pamit, satu persatu kami akan kembali menyatu dengan asal usul kami.”

“Siapa kalian?” Tanyaku was-was.

“Kalau ada kesalahan selama kami melayani sampeyan maafkan. Kami tidak selalu bisa menjaga rasa percaya diri, penampilan, gaya di pergaulan orang ramai, bahkan bikin malu ketika sampeyan bersama istri karena lupa membersihkan kami sebelum malam tiba.’

“Ya, tetapi kalian ini siapa?”

“Maaf beribu maaf, karena sederhana hadir kami demikian tidak terhingga sampai manusia terdekat tidak mengenali kami padahal kami menemani hampir sepanjang hidup.”

Aku mulai berdebar, berdetak kencang jantung, berputar cepat pikiran, menebak yang menodongku dengan kata mengharukan, pamit. Mengapa harus pamit? Suara itu tidak bersuara sebentar diam untuk menegaskan bahwa sunyi memang ada sebagaimana malam juga ada.

“Maaf, mengapa diam? Mengapa tidak menjawab pertanyaanku?”

“Kami tidak sampai hati menjawab pertanyaan itu.’

“Kenapa?'”

“Kami takut melukai hati di malam hari.”

Aku menghela nafas, mencoba membayangkan siapa yang sejak tadi mengajakku berbicara.

“Kalian ini siapa atau apa?”tanyaku menjebak jawaban pasti.

Terdengar suara tertawa, memuji pertanyaanku.

“Kami terpojok dengan pertanyaan itu. Kami tidak bisa menghindar lagi untuk menjawab sejujurnya.”

“Ya, jujur itu menyelesaikan masalah dengan mudah. Karena itu jawablah.”

Tidak ada jawaban untuk beberapa waktu. Bahkan yang menjengkelkan, suara justru bertanya kepadaku.

“Apakah yang mendengar nanti siap menerima jawaban kami?”

“Siap.”

“Sungguh?”

“Sangat sungguh-sungguh.”

“Siap menderita luka?”

“Siap. Setiap luka menyembunyikan kesembuhan sendiri-sendiri.”

Kembali suara itu tertawa, kini terdengar ramah dan renyah.

“Cepat luncurkan jawaban kalian,” kataku mendesak.

“Baiklah. Kami adalah rambut hitam di kepala dan di sekujur tubuhmu. Kami menyatakan pamit karena kami sudah dipanggil pulang ke tempat asal oleh yang menciptakan kami.”

“Tuhan?” Tanyaku dengan genderang denyut jantung membahana.

“Ya. Tuhan sudah menunggu kami. Jangan khawatir, Tuhan akan mengutus petugas mengganti kami.”

“Siapa? Malaikat?”

“Ya. Malaikat yang bertugas menumbuh suburkan rambut putih di kepala dan sekujur tubuhmu.”

Aku terhenyak, teringat Pakde yang pernah melawan rambut putih tumbuh dengan mencabut satu persatu, aku dibayar waktu itu. Pakde justru diserbu rambut putih lebih banyak lagi sehingga tidak mungkin dicabut kecuali kalau kepalanya jadi mirip bola berminyak, mengkilap licin mirip bintang film Telly Savalas. Pakde kalah oleh rambut putih yang menyerbu itu. Jadi sebaiknya aku tidak mengulangi kesalahan Pakde.

“Wahai para rambut hitam, kurelakan kalian pergi untuk tidak kembali padaku. Aku tahu batas waktu. Dan tolong sampaikan salamku pada malaikat yang akan menanam rambut putih. Aku akan menyambut dengan penuh ikhlas kedatangannya.”

Mendengar itu justru rambut hitam menangis suaranya mirip dengung lebah surga yang siap mengembara jauh.

” Mengapa kalian menangis?”

“Tidak ada perpisahan seindah ini.”

Mendengar jawaban itu ganti aku yang menangis kedinginan karena air mata membanjir disambut embun dinihari. Semua terasa sangat lelah dan meletihkan. Aku tertidur sampai adzan Subuh terdengar.

Begitu bangun tanpa cuci muka aku langsung memburu bayanganku di cermin.

Benar, satu dua rambut putih muncul di kepala.

“Maaf, aku terpaksa menganggu.”

“Sampeyan malaikat yang mirip petani menanam rambut putih di kepalaku ya?”

“Ya, saya bertugas memutihkan seluruh rambu di tubuhmu.’

“Terimakasih. Sungguh terimakasih ya Mbah Malaikat.”

“Lho, kenapa berterima kasih kepada diriku?”

“Paling tidak aku mendapat teman baru yang selalu menemani dalam menjalani sisa hidupku.”

Malaikat itu tertawa.

“Kenapa tertawa?”

“Karena manusia ternyata banyak lucunya.” “Malaikat juga.”

Kami pun tertawa terpingkal lama sampai ketika aku bercermin kulihat rambut putih hampir memenuhi kepala dan ada tujuh helai hadir bersama sisa kumis hitamku. Aku bersyukur menjadi saksi atas perubahan ini. Dalam hati aku menyayangkan Pakde dulu yang ingin melawan rambut putih tumbuh di tubuhnya. (Mustofa W Hasyim, 29 Juli 2020).

 

Berlari Mengejar Bayangan

Berlari mengejar bayangan terbang meninggalkan jejak tidak terbaca oleh waktu semakin jauh semakin sunyi menemani ketika sayup – sayup sampai terdengar tangis jiwa yang didustai oleh janji untuk menanam benih kata tapi yang dilempar ke muka bumi justru lagu hampa. Siapa lagi yang harus dipercaya hari ini?

Ketika langit tidak mau senja justru pagi dihadang oleh busuknya pagar yang memanjangi cakrawala, perlukah debu dipuja kembali seperti di masa dulu ketika gunung-gunung meletus bertahun-tahun membuat berita panjang melewati batas halaman koran dan program siaran sampai jatah untuk bercanda dirampas oleh luka nestapa?

Memang gebyar itu memesona anak-anak kecil yang hanya bisa membayangkan mainan dan gula-gula, apakah warga yang berlari mengejar bayangan semu ini sudah menjadi anak-anak bersenjata tepuk tangan?

Barisan-barisan bingung hanya menambah gaduh alam raya, mereka tidak bisa lagi bernyanyi apalagi senandung jiwa.

Bermain, bermainlah secara jenaka yang hanya akan memanggil tangis berkepanjangan di persada ini sampai- sampai malaikat terharu dan bertanya kepada Tuhan kenapa semua ini terjadi?

Jawaban yang datang, kabut semakin kabut sehingga bayangan di langit kabur dan para pengejar kehilangan jejaknya. Kalau hanya sumber sunyi yang menunggu kenapa tidak dari tadi memukul genderang jiwa agar ada yang bisa dihibur dengan harapan?

Pada saat yang sama para penjelajah isi bumi terus menerus menemukan tambang bahagia di kedalaman dada yang semula tidak pernah terbayangkan.

Batu itu nyata sebagaimana intan permata juga nyata, hanya yang menggali yang akan jumpa.

“Kita tidak memerlukan tepuk tangan, tidak juga bayang kemilau yang menipu jejak sendiri,” kata penggali tambang bahagia dengan suara lirih. Setelah batu dan intan permata, mereka menemukan mata air murni yang masih dijaga malaikat sejak Adam diturunkan ke bumi.

“Inilah, hanya inilah bekal kami selanjutnya,”  penggali tambang itu berkata dalam sebuah ayunan yang bermakna.

(MWH,2020).

 

Seorang Guru Mengajari Menulis Puisi

Bu Guru cantik, dengan senyum manis yang bisa melumpuhkan anak lelaki badung di kelas, mengajari menulis pantun. Pantun jenaka membuat kelas segembira surga. Gurindam, hidup menjadi hidmad. Syair riwayat, kelas seperti bahtera melayari laut luas dan semua murid merasa sebagai nahkoda yang menang perang.

Bu Guru cantik itu mengajari menulis sanza dan soneta yang membuat hidup terasa berirama. Menulis puisi bebas, dengan mata jernih dia mengajak murid mengembara menyeberang cakrawala baru yang amat indah dan luas.

Tak terasa perpisahan itu, yang terasa adalah jejak kelembutan jiwa yang menyebabkan muridnya mencintai sastra. Dengan mencintai sastra para murid merasa bisa membalas jasanya.

Yogyakarta 2020.

Exit mobile version