KH Ahmad Azhar Basyir pertama kali saya kenal waktu saya kuliah di FiAD yang penjelmaan dari Akademi Tabligh Yogyakarta. Pak Azhar menjadi Dekan atau pimpinan FUAD. Karena suatu urusan saya menemui beliau dengan mengenalkan diri sebagai mahasiswa asal Kotagede. Beliau tanya tentang pak Abdul Kahar Muzakir yang saya jawab kenal karena hampir tiap Idul Fitri saya diajak Ayah silaturahmi ke rumah Mbah Dulkahar ini.
Pak Azhar ramah walau wajah Kaumannya membuat saya agak ngeri ketika pertama kali ketemu. Tetapi saya jadi nyaman ketika berbincang barang sebentar dengan beliau. Apalagi saya alumni sebuah sekolah agama yang didirikan Kiai Amir, Pak Azhar mengenalnya, sebagai Kiai anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pertemuan berikutnya dengan pak Azhar adalah ketika saya diajak Paman saya, Lik Dahlan Hamim mendatangi peringatan Maulud Nabi Muhammad di sebuah Sekolah Perawat yang kampusnya di sebelah barat pasar Ngasem, di kompleks bangunan kuno. Paman saya mengajar ngaji di sekolah perawat ini.
Penceramah Maulud Nabi Muhammad Saw ini, KH Ahmad Azhar Basyir.
Saya, menyimak ceramahnya sampai selesai, karena ceramahnya menarik. Tidak klise seperti penceramah lain yang memulai uraian Maulud dengan Tahun Gajah dan peristiwa yang mengguncang dunia Barat (Romawi) dan Timur (Persia) yang pendengar sudah hafal kisahnya.
Pak Azhar berbeda. Yang dikisahkan adalah sisi kemanusiaan Nabi Muhammad Saw. Dikisahkan bagaimana Nabi sangat ramah dan penyayang anak anak. Anak para sahabat dan cucunya sendiri. Menurut bahasa sekarang, Nabi adalah sahabat sejati anak-anak.Nabi menjadi sumber kebaikan bagi anak anak. Anak anak merasa nyaman berada di dekat Nabi. Wah, ini menarik bagi saya.
Lebih lanjut, Pak Azhar kemudian mengisahkan, kepada benda benda saja Nabi bersikap baik. Misalnya ketika tongkat Nabi sudah terlalu lama dibawa Nabi dan kayunya mulai lapuk. Nabi bermaksud mengganti dengan tongkat baru yang lebih kuat.
Dalam sebuah kitab, demikian Pak Azhar mengutip, Nabi berpamitan kepada tongkat lama dan mengucapkan terimakasih karena lama dibantu tongkat itu. Tongkat itu lalu diletakkan di tempat yang baik. Jadi kalau punya barang yang sebelumnya sangat membantu tetapi karena sudah rapuh dan lama dipakai ketika akan diganti barang baru, barang lama tidak dilempar begitu saja.
Sehabis acara ceramah usai, saya dan paman saya menemui beliau dan berbincang agak lama. Saya bilang tertarik dengan uraian tentang sisi kemanusiaan Nabi yang jarang diungkap. Pak Azhar bilang itu ada kitabnya, kalau ingin baca silakan ke rumahnya. “Bahkan saya punya kitab yang bagi anak muda sangat menarik. Kitab yang menjelaskan tentang ayat-ayat Al Quran secara rasional. Ke rumah saja kalau ingin mempelajari.” Saya mengjakan, tetapi karena saya sibuk sekali menjadi wartawan harian, tidak sempat ke rumahnya.
Tetapi justru karena saya wartawan saya jadi sering bertemu dengan beliau. Pak Azhar menjadi langganan narasumber untuk saya wawancarai untuk soal keagamaan dan persyarikatan.
Saya ingat niat saya waktu memutuskan bekerja sebagai wartawan. Saya sangat terpengaruh oleh pendapat Bung Hatta waktu saya berombongan calon wartawan (dalam pendidikan wartawan) mendapat tugas meliput kegiatan di Gedung Kebangkitan Nasional, yang waktu itu dihadiri Bung Hatta. Saya dan teman-teman nekad menerobos di antara hadirin dan minta waktu untuk wawancara dengan Bung Hatta. Salah satu yang kami tanyakan adalah apa pesan Bung Hatta sebagai proklamator kemerdekaan kepada anak muda. Pesannya sederhana, cari ilmu, cari ilmu dan cari ilmu. Juga pelajari teknologi dan ekonomi. Itu kunci untuk menyejahterakan rakyat.
Jadi setelah lulus dari Balai Pendidikan Wartawan Jakarta, saya pulang kampung, memutuskan bekerja sebagai wartawan harian Masa Kini bukan sekadar cari uang, tetapi juga sekaligus cari ilmu sebagimana amanat atau pesan Bung Hatta.
Ini yang membuat saya sebagai wartawan sanget senang kalau mendapat tugas mewancarai dosen ahli di kampus dan bahagia kalau mendapat tugas mendatangi seminar ilmiah di kampus terkemuka Yogya. Sebab dengan mewancarai para ilmuwan dan menjadi peserta seminar ilmiah ada jaminan saya mendapat ilmu yang melimpah.
Demikian juga ketika saya mendapat tugas mewawancarai pAk Ahmad Azhar Basyir. Semangat saya bukan sekadar mendapat bahan berita, tetapi saya lebih menghayati tugas wawancara ini dengan semangat berguru. Termasuk berguru kepada pak Azhar yang dosen di Fakultas Filsafat UGM. Saya kemudian menjadi familiar dengan fakultas ini karena seringnya saya wawancara di sini. Selain dengan Pak Azhar, saya juga punya narasumber langganan di Fakultas Filsafat UGM, yaitu Pak Damarjati Supajar.
Karena seringnya saya muncul di fakultas ini ada yang menyangka saya kuliah disini. Kebetulan ada mahasiswa fakultas ini yang wajah dan postur tubuhnya mirip dengan saya dan dia tokoh teater, mas Heru Kesawa Murti. Ketika saya mau wawancara di kantor dosen fakultas filsafat, ketemu mahasiswa yang menyapa saya dan bertanya kenapa saya agak lama tidak muncul di kampus. Karena saya tahu ini salah paham, saya disangka Mad Heru maka jawab saya, ” Saya sedang sibuk shooting Mbangun Desa.”
Kembali kepada Pak Azhar yang ketika saya wawancarai dalam menguraikan pendapatnya jernih mengandung banyak informasi dan pandangan yang luas. Untuk masalah agama yang dijadikan bahan kajian filsafat dan ilmu di kampus beliau sangat berhati-hati. Kalau pun sering pendapat pribadinya berdasarkan tinjauan filosofis dan ilmu agama sering berkemajuan atau terlalu maju, Pak Azhar sering mengingatkan mana yang boleh dimuat di koran dan mana yang hanya untuk saya ketahui secara pribadi.
” Yang Itu tadi jangan ditulis lho, nanti orang’ jadi geger,” katanya.
Karena tidak boleh dikutip dan ditulis maka saya sekarang menjadi lupa apa masalah sensitif ini. Mungkin sudah masuk ke dalam alam bahwa sadar saya dan lebur menjadi bagian dari mesin berfikir saya.
Sebagai orang yang di masa mudanya mencari ilmu di pesantren, pak Azhar punya banyak pengalaman spiritual. Dalam kesempatan berpidato di kantor PP jalan KHA Dahlan, pak Azhar sempat memberi contoh pengalaman spiritual ini, tetapi langsung ditegur oleh Pak AR dengan lembut,
“Maaf Ustadz Azhar, pengalaman seperti itu mbok jangan disampaikan ke depan Bapak bapak dan ibu ibu Muhammadiyah. Tidak cocok.” .
Pak Azhar sadar, dan mengikuti teguran Pak AR. Pak Azhar minta maaf kepada hadirin dan pak AR lalu. melanjutkan pidato dengan materi hal hal yang bersifat rasional yang sangat cocok dengan alam pikiran orang Muhamadiyah.
Dengan bekal ilmu filsafat, dan ilmu fikih pak Azhar dengan mudah menguraikan hal penting dalam beragama.
Jadi, yang saya pelajari dari Pak Azhar adalah kerendahan hati beliau. Keluasan pandangan dan kesediaan untuk terbuka diwawancarai oleh wartawan yang kadang pertanyaannya nakal. Beliau bisa mengatasi kenakalan wartawan itu dengan jurus filsafatnya. (Mustofa W Hasyim)