Muhammadiyah sebagai Gerakan Filantropi: Perspektif Historis dan Sosiologis
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
MUHAMMADIYAH menamakan dirinya lebih sebagai gerakan (movement, harakah), dari pada organisasi (organization) atau apalagi yayasan (foundation). Kata gerakan disebut secara eksplisit dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dan juga dalam lagu Sang Surya yang konon bisa membuat bulu kuduk warga Muhammadiyah berdiri tatkala dilagukan bersama: “Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku”.
Belakangan saja Negara Republik Indonesia, yang nota bene lahir (1945) tiga puluh tiga tahun kemudian setelah kelahiran Muhammadiyah (1912), menyebutnya organisasi masa (disingkat ormas). Dan kemudian pemerintahan orde baru dan reformasi, mungkin karena saking bingungnya, malah berubah lagi dengan menyebutnya organisasi kemasyarakatan (tidak jelas apa singkatannya). Sementara orang Barat, sebagaimana diwakili para orientalis dan Indosianist, mungkin juga saking bingungnya menyebutnya non governmental organization (NGO).
Dalam kenyataan pun demikian pula adanya: secara historis sejak awal berdirinya, terlebih lagi dalam beberapa dasawarsa masa-masa formasinya, Muhammadiyah memang lebih menampilkan dirinya sebagai gerakan amal (a philanthropical movement), bahkan gerakan filantropi par excellence. KH Ahmad Dahlan, sang pendiri, dan murid-muridnya adalah pribadi-pribadi yang tidak begitu tertarik dengan polemik-polemik keagamaan atau teologis, melainkan berkecenderungan sangat kuat pada kerja-kerja kemanusiaan, kedermawanan kepada sesama, sangat cinta sesama, dan gandrung pada pekerjaan-pekerjaan amal (filantropis, philanthropist). Mereka dikenal sebagai orang-orang yang pemurah, dermawan, dan suka menolong pada sesama. Agama Islam itu lebih mementingkan amal dari pada spekulasi-spekulasi teologis.
Teologi Al-Ma’un dan PKO
Pengejawantahan dari jiwa pemurah, dermawan, dan suka menolong sesama itu salah satunya tampak sekali dalam pembentukan PKO atau Penolong Kesengsaraan Oemoem (Assistence for Relief of Public Suffering) pada 1920-an. Kata oemoem (public) dalam frase Penolong Kesengsaraan Oemoem ini penting untuk digarisbawahi oleh karena penekanannya pada kerja-kerja kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama dan suku atau bangsa. Ahmad Dahlan dalam pidato pengarahan pada pendirian PKO (1920-an) yang dipimpin oleh salah seorang kawan dan sekaligus muridnya, yaitu Hadji Mohammad Soedjak, malah sempat menegaskan: “Hadjatnja PKO itoe akan menolong kesengsaraan dengan memakai asas agama Islam dengan segala orang, tida dengan membelah bangsa dan agamanja”. Artinya, dari Muhammadiyah yang berasas agama Islam untuk kemanusiaan universal.
KH Ahmad Dahlan memang memakai asas agama Islam, yaitu isi dan substansi dari Al-Quran Surah 107: Al-Ma’un, yang nota bene artinya sendiri sangat lah telak: “Pemberian Pertolongan (helping)!”. Surah ini terdiri dari tujuh ayat yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut: (1) Adakah kau lihat orang yang mendustakan agama?; (2) Dialah orang yang mengusir anak yatim (dengan kasar); (3) Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin; (4) Maka celaka lah orang-orang yang shalat; (5) Yang alpa dalam shalat mereka; (6) Yang hanya ingin dilihat orang; dan (7) Menolak memberi pertolongan atau bantuan kepada orang yang memerlukan pertolongan. Inilah teologi al-Ma’un, dan inilah pula ideologi al-Ma’un!
Abdullah Yusuf Ali dalam magnum opus-nya The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (1983) memberikan catatan atau penekanan terhadap surah al-Ma’un itu sebagai berikut. Pertama, catatan nomor 6281: Hanya manusia yang mengingkari iman dan tanggung jawab akhirat yang memperlakukan kaum yang lemah dengan sikap menghina dan hidup serakah dan sombong. Kedua, catatan 6282: Amal kebaikan atau cinta kasih dengan memberi makan orang miskin atas tanggungan pribadinya adalah bentuk amal yang paling mulia, yang berada di luar jangkauan orang yang berhati batu, karena tidak mendorong atau bahkan melarang atau memandang rendah orang yang beramal atau berbuat baik kepada orang lain.
Ketiga, catatan nomor 6283: Ibadah yang sebenarnya tidak hanya terdapat dalam bentuk shalat dengan tidak disertai hati dan pikiran yang benar-benar berusaha hendak mencari ridha Allah, serta memahami dan melaksanakan kehendak-Nya yang suci. Keempat, nomor 6284, Bila mereka sudah berdiri hendak mengerjakan shalat, mereka berdiri malas-malas; hanya supaya dilihat orang dan mengingat Allah hanya sedikit. Kelima, nomor 6285: Kaum munafik itu berpamer besar-besaran dengan berbuat baik, ibadah dan beramal yang kosong. Tetapi mereka benar-benar akan gagal jika kita uji mereka dengan perbuatan yang kecil saja untuk memberi bantuan atau sedekah, bersikap sopan santun dan berhati baik dalam kehidupan sehari-hari, memberi bantuan kepada orang-orang yang memerlukannya, yang hanya memakan biaya sedikit tapi berarti banyak.
Surah Al-Ma’un itulah yang mendorong Ahmad Dahlan dan murid-muridnya ber-manhaj amal (men of action, faith in action) sehingga menjadi orang-orang yang pemurah, dermawan, dan suka menolong pada sesama. Dengan semangat yang dikobarkan oleh teologi Al-Ma’un, pandangan Islam berkemajuan (modernisme), dan puritanisme yang menggebu dengan melakukan reformasi pengelolaan zakat (almsgiving), sedekah (donation) dan Waqf (religious endowment), Muhammadiyah tampil sebagai kekuatan filantropi modern.
Dari AM ke AUM
Zakat, sedekah dan waqaf menjadi motor sekaligus tulang punggung Muhammadiyah sebagai gerakan filantropis dengan mendirikan sekolah, panti asuhan yatim, dan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Rumah Sakit sebagai pengejawantahan semangat “semangat PKO” (Semanat Penolong Kesengsaraan Oemoem), misalnya, berhasil didirikan pada tanggal 15 Februari 1923. Penolong Kesengsaraan Oemoem adalah aktivitas dan pekerjaan Muhammadiyah yang paling otentik dan original lebih dari yang manapun juga. Kegiatan-kegiatan amal ini berupa pendirian sekolah, panti asuhan yatim, klinik atau rumah sakit, dan lain-lainnya yang dibeayai atau digerakkan dari Zakat, Sedekah dan waqaf. Inilah “Amal Muhammadiyah” yang disingkat AM!
Belakangan seiring dengan perubahan lingkungan strategis dalam berbagai bidang kehidupan, apa yang disebut Amal Muhammadiyah (AM) berkembang menjadi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). AUM dalam bidang pendidikan mengambil bentuk pendirian TK ABA, sekolah-sekolah, universitas, danlain-lainnya; dalam bidang kesehatan (klinik, rumah sakit dan rumah bersalin), penerbitan (majalah, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain), biro perjalanan haji dan umroh, dan bisnis keuangan (koperasi, Baitut Tamwil, bank perkreditan, bank), dan lain-lainnya. Semua kegiatan atau bentuk AUM apapun, apalagi yang mengandung unsur profit (baca: Sisa Hasil Usaha atau SHU) yang barangkali menjadi kecenderungan baru dalam perkembangan Muhammadiyah dalam beberapa dasawarsa terakhir, pada sejatinya merupakan perluasan atau tambahan (extention) dan improvisasi yang datang belakangan. Walhasil, itu tidak lah otentik Muhammadiyah. Dus, tidak original! Jika pendirian sekolah-sekolah unggulan dan rumah-rumah sakit favorit saja tidak otentik Muhammadiyah, apatah lagi kegiatan bisnis yang orientasinya memang profit. Demikin juga mungkin “amal usaha” di bidang politik yang memang untuk kekuasaan! Pasalnya, pada sejatinya Muhammadiyah yang otentik adalah gerakan etik dan filantropik. Bukan gerakan AUM yang disengaja (intended and recognized) untuk memperoleh profit atau sisa hasil usaha (SHU).
Tentu dengan mengatakan tidak otentik bukan berarti itu semua dilarang atau tidak diperbolehkan. Boleh saja Muhammadiyah terjun dalam bentuk pengembangan AUM, atau sekalian saja bisnis (usaha) sekalipun, yang dimaksudkan untuk mengejar profit (sisa hasil usaha: SHU) mengingat perkembangan dan dinamika kehidupan yang nyatanya telah berkembang sedemikian rupa sehingga perjuangan mewujudkan visi dan misi Muhammadiyah memerlukan sumber daya ekonomi yang kuat dan besar. Tetapi sekali lagi kegiatan-kegiatan yang berdimensi ekonomi atau profit tersebut haruslah dipandang sebagai faktor komplementer belaka. Pasalnya itu tidak otentik Muhammadiyah! Hanya sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga sosial, dan amal-amal yang bersemangat penolong kesengsaraan oemoem lah yang benar-benar otentik Muhammadiyah.
Dalam konteks dan perspektif ini maka sebetulnya pewaris dan pelanjut Muhammadiyah yang otentik adalah gerakan-gerakan yang benar-benar seutuhnya dan sepenuhnya melaksanakan “semangat penolong kesengsaraan oemoem” in optima forma. Pertanyaannya dimana saja sekarang ini tempat-tempat kegiatan Muhammadiyah yang benar-benar untuk untuk menolong kesengsaraan oemoem? Rumah-sakit rumah sakit Muhammadiyah yang dulu merupakan tempat dan instrumen Muhammadiyah untuk menolong kesengsaraan oemoem kini apakah masih tetap demikian ataukah telah berubah menjadi seperti rumah-rumah sakit lain pada umumnya? Bukankah singkatan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) juga sudah berubah secara resmi menjadi Pembina Kesejahteraan Umat (PKU)? Artinya, bukan hanya kata oemoem yang inklusif telah berubah menjadi umat yang berkonotasi internal untuk tidak mengatakan eksklusif, melainkan juga semangat menolong kesengsaraan oemoem telah bergeser menjadi penyedia jasa kesehatan dengan membayar, untuk tidak mengatakan industri pelayanan kesehatan?
Tentu di RS/PKU Muhammadiyah ada subsidi silang antara pasien yang mampu dan yang tidak mampu. Artinya pasien yang berduit tebal membayar mahal di mana sebagian dananya digunakan untuk mensubsidi pasien-pasien fakir miskin yang tidak mampu membayar yang jumlahnya nyatanya sangat besar. Tetapi bukankah dana itu adalah tetap saja dananya orang yang sakit? Bagaimana mungkin orang yang sedang sakit diminta by system untuk ikut menanggung beaya orang lain yang sedang sakit juga, meski orang lain yang sakit itu adalah orang-orang miskin? Mestinya, ini idealnya, jika RS/PKU Muhammadiyah itu masih mewarisi semangat PKO maka beaya bagi pasien-pasien miskin yang sengsara itu ditanggung oleh dana yang dihimpun dari zakat, infak, sedekah, atau waqaf oleh Muhammadiyah. Demikian juga halnya dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah: siswa-siswa yang datang dari keluarga yang tidak mampu ditanggung oleh Muhammadiyah melalui dana-dana ZISKA.
Pertanyaan filantropisnya sekarang adalah dari mana Muhammadiyah memperoleh dana untuk menolong orang-orang yang sengsara itu? Jawabnya adalah dana-dana yang dihimpun oleh Muhammadiyah dari orang-orang Muhammadiyah yang berjiwa filantropis, yakni orang-orang Muhammadiyah yang pemurah, dermawan, dan suka menolong sesama melalui zakat, infak, sedekah yang dihimpun oleh Lazismu. Walhasil, Lazismu pada hakekatnya adalah reinkarnasi dari Penolong Kesengsaraan Oemoem alias PKO. Semangat Muhammadiyah yang diilhami oleh Teologi Al-Ma’un yang sangat filantropis tersebut mesti terus digelorakan dengan gigih, penuh semangat dan antusiasme dalam tubuh Muhammadiyah dari Pusat sampai ke Ranting. Lazismu adalah hulu dan hilir gerakan filantropi yang otentik Muhammadiyah!
LPB Atau MDMC
Sangat meyakinkan, semangat filantropi tidak pernah surut dari keluarga Muhammadiyah. Kini setelah PKO menjadi PKU, dan sebagian (besar) sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjadi sekolah-sekolah unggulan dan favorit yang mahal, Muhammadiyah masih tetap memiliki (sedikit atau banyak) RS/PKU dan sekolah-sekolah gratis yang masih bisa diposisikan sebagai lembaga penolong kesengsaraan oemoem. Di samping Panti Asuhan Yatim (PAY) yang tetap setia menjaga semangat filantropi Muhammadiyah, kini Muhammadiyah, setelah Tsunami 2004, melembagakan gerakan penolong kesengsaraan oemoem melalui Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Muhammadiyah atau Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
MDMC pada sejatinya adalah merupakan reinkarnasi, manifestasi atau pengejawantahan dari semangat PKO yang dahulu memang menjadi inti (core) gerakan Muhammadiyah dalam menolong sesama tanpa pamrih. MDMC bergiat sebagai relawan penanggulangan bencana yang dipandang sebagai tugas suci (mission sacre) yang didedikasikan bukan semata pada sesama manusia yang sedang mengalami kesengsaraan, tetapi juga terhadap Pencipta alam. Tugas kerelawanan adalah bagian integral dari ibadah kepada Allah, sehingga harus dilaksankan dengan sungguh-sungguh dan hanya mengharap ridho Allah
Setelah rumah-rumah sakit Muhammadiyah kini telah menjadi amal usaha Muhammadiyah yang tidak bisa lagi berjalan kecuali dengan berorientasi bisnis dan profit, maka MDMC lah yang paling mungkin menjadi pelanjut semangat PKO yang berjiwa filantropis itu berdasarkan teologi dan ideologi Al-Ma’un itu. Artinya, MDMC lah yang menjadi kekuatan operasional ajaran KH Ahmad Dahlan tersebut di atas, bahwa kepedulian PKO adalah menolong kesengsaraan umum dengan bertolak dari asas Islam untuk semua orang tanpa membedakan suku dan agama (baca lagi: “Hadjatnja PKO itoe akan menolong kesengsaraan dengan memakai asas agama Islam dengan segala orang, tidak dengan membelah bangsa dan agamanja”).
MDMC mungkin saja bekerja sama dengan berbagai pihak, misalnya dengan DeFAT (Department of Foreign Affair and Trade), pemerintahan Australia, dalam rangka Hospital Preparadness and Community Readiness for Emergency and Disaster (HPCRED) yang mentransformasikan seluruh Rumah Sakit PKO Muhammadiyah menjadi Rumah Sakit Siaga Bencana seperti yang dilakukan selama sepuluh tahun terakhir ini, tetapi tetap saja MDMC harus bebas dan mandiri. Kemandirian ini bukan hanya secara finansial, melainkan juga secara visi dan misi sehingga kemurniannya terus tetap terjaga. Dalam kerangka inilah Muhammadiyah mengembangkan Lazismu sebagai kekuatan filantropi moderen dan melanjutkan reformasi pengelolaan zakat (almsgiving), sedekah (donation) and Waqf (religious endowment). Sebab, Lazismu harus menjadi motor sekaligus tulang punggung Muhammadiyah sebagai gerakan filantropis.
MDMC dengan HPCRED telah mengembalikan RS/PKU Muhammadiyah ke dalam track-nya yang benar dan otentik: gerakan penolong kesengsaraan oemoem yang filantropis. RS/PKU dan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dalam beberapa dasawarsa terakhir berwajah bisnis yang berorientasi profit kini telah mulai kembali berwajah filantropis: menjadi RS/PKU siaga bencana. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) juga melatih diri menjadi sekolah-sekolah siaga bencana. Satuan-satuan tugas (Satgas) penanggulangan bencana kini berdiri di RS/PKU, sekolah-sekolah dan PTM, dan daerah-daerah atau Cabang. Bahkan Korp Komando Keamanan Muhammadiyah (KOKAM) di bawah Pemuda Muhammadiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, dan Kepanduan Hizbul Wathan (HW), juga ditraining oleh MDMC sehingga menjadi kekuatan-kekuatan siaga bencana. Di negara yang masuk dalam kawasan ring of fire ini satgas-satgas siaga bencana yang berbasis RS/PKU, sekolah, perguruan tinggi, Kokam, HW, dan berbasis komunitas cabang dan daerah Muhammadiyah, akan menjadi kekuatan kemanusiaan yang luar biasa penting dan strategis.
Menjadikan LAZISMU sebagai motor gerakan
Kini tidak lah terlalu arbitrer (baca: sewenang-wenang atau mana suka) untuk mengatakan bahwa reinkarnasi roh PKO berada di PAY, MDMC dan LAZISMU. Maka bersama-sama dengan Majelis Pengembangan Masyarakat (MPM) yang juga sangat otentik Muhammadiyah, MDMC dan Lazismu menjadi Trisula Baru gerakan filantropi Muhammadiyah. Amelia Fauzia dalam Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (2013) menyebut Muhammadiyah dengan kata-kata “It was not solely a modern voluntary organization employing zakat, sedekah, and waqf, but it was succesfull as a philanthropic organization”.
Mungkin, dalam kerja-kerja kemanusiaan ini Muhammadiyah tidak sendirian alias eksklusif. Ada banyak organisasi Islam lain yang juga melakukan kerja-kerja semacam ini, tetapi, lagi-lagi meminjam kata-kata Amelia Fauzia dalam tesisnya, ”More than many other Islamic voluntary organization, Muhammadiyah’s work in the area of philanthropy was (and is) exceptional, since is inisiated philanthropic practices for social welfare and educational project, such as establishing and maintaning school, hospital, and arphanages. These programmes go far beyond just fundrising, and Muhammadiyah can be seen as a philanthropic organization when it is compared with the amil (zakat administration) institution that grew later in post colonial Indonesia… Muhammadiyah managed and redistributed them for the needs of the poor”.
Secara politis dan sosiologis peran gerakan filantropi sangat lah besar: membantu negara dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar (Gini rasio 0,39% tahun ini dan 0,41% tahun yang lalu). Bersama-sama-sama dengan factor alam, cuaca, dan sistem keluarga atau kekerabatan, tradisi filantropi sangat lah membantu pemerintah atau negara. Tak terbayangkan bagaimana akibatnya jika problem kemiskinan dan kesenjangan perekonomian ini terjadi dan berlangsung jika tidak dibantu mengatasinya oleh gerakan filantropi. Dalam konteks dan perspektif inilah peran LAZISMU sangat lah besar. Apalagi sejak Tahun 2016 Lazismu telah menjadi lembaga zakat terbesar di Indonesia.
Semangat kerelawanan (volunterisme), cinta kasih dan kedermawanan kepada sesama (filantropisme) adalah jati diri gerakan Muhammadiyah yang paling otentik dan orisinal. Saya tidak tahu pasti apakah semangat dan atau karakter ini cocok (fit and proper) atau sangat tidak cocok untuk dibawa bergiat ke medan politik Indonesia yang semakin pragmatis, oligarkis, dan plutokratis seperti sekarang ini. Tetapi agaknya terbukti Muhammadiyah dan orang Muhammadiyah yang filantropis dan secara teologis cenderung puritanistik itu seringkali madek mangu dalam lapangan politik yang keras ini. Dan dengan roh volunterisme dan filantropisme ini pula Muhammadiyah barangkali juga akan kesulitan untuk terjun dalam bisnis yang semakin kapitalistik ini. Maka menurut hemat saya akan jauh lebih mulia bagi Muhammadiyah untuk tetap tabah, kukuh dan setia dengan kerja-kerja kemanusiaan yang ikhlas yang mungkin sunyi sepi ini, kerja-kerja yang jauh dari kekayaan dan ketenaran pencitraan dunia glamour yang sarat dengan tepuk tangan kekaguman yang hingar bingar itu.
Mungkin pernyataan tersebut di atas tampak terlalu eskatologis yang apokalipstik, tetapi demikianlah teologi Al-Ma’un mengajarkan kepada kita, warga Muhammadiyah. Innama nuth’imukum li wajhillah la nuridu minkum jazaan wa la syukura (Q.S. 76/Al-Insan: 9): “Kami memberikan makan kepada kamu karena Allah semata; kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu”. Kata Yusuf Ali dalam tafsirnya tersebut di atas berbunyi demikian: “Kata-kata ini tak perlu benar-benar diucapkan. Mereka mengeluarkan sedekah dengan niat yang bersih dan bersikap sangat rendah hati”. Dengan teologi ini relawan-relawan Muhammadiyah berusaha menjadi yang terdepan dan tercepat dalam kerja-kerja kerelewanan dan kemanusiaan. Tidak hanya dengan nilai-nilai keimanan dan keikhlasan semata, melainkan juga dengan keahlian dan ketrampilan teknis di lapangan (skill) yang berstandar moderen dan profesional. Semoga.
Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)