Berguru kepada Kiai As’ad Humam, Penyusun Buku Iqro
Beliau adalah putra dari Kiai Human Siraj Kotagede. Menurut cerita Ayah saya, di Kotagede pernah hidup kiai besar dan berpengaruh, namanya Kiai Amir.
Kiai Amir ini mendirikan pesantren bernama Ma’had Islamy yang kemudian berubah menjadi PGA VI Tahun (PGAL) tempat saya sekolah dulu, dan sekarang berubah MTsanawiyah dan MAliyah Ma’had Islamy Kotagede. Kiai Amir menurut riwayat pernah menjadi anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Secara rutin, Kiai Amir memberi pengajian di Masjid Perak Kotagede. Dia punya tiga murid atau santri yang hubungannya relatif dekat. Tiga murid ini dikenal dengan sebutan 3 H. Humam, Hisyam dan Hasyim.
Humam adalah ayah dari As’ad. Hisyam yang di Kotagede dikenal dengan nama Kaji Hisyam adalah leluhurnya pak Heri Zudianto, mantan walikota Yogyakarta yang sukses dua periode. Sedang Hasyim adalah nama kakek saya.
Ketika suatu hari saya pamit ke Ayah bahwa saya mau rapat di rumah Kiai As’ad Humam, Ayah setuju dan senang. “Kau bisa menyambung persahabatan antara Mbah Hasyim dengan Mbah Humam dulu,” kata Ayah.
“Tapi bedanya, saya generasi cucu sedang Pak As’ad generasi anak,” kataku.
“Nggak papa, yang penting silaturahmi disambung lagi. Tolong sampaikan salam saya untuk pak As’ad. Bilang saja kau cucunya Mbah Hasyim.”
Betul dengan menggunakan kata cucu Mbah Hasyim, sebagai semacam password, Kiai As’ad Humam langsung menyambut baik saya “Jadi kau cucunya Kiai Hasyim?” Saya mengiakan. ” Mbahmu itu sangat dikenal oleh orang sini dan sekitarnya. Dikenal sebagai guru ngaji di kampung-kampung sini.”
Hari itu rapat Panitia Silaturahmi Antar Pengajian sukses. Rapat diadakan di ruang tamu rumah Kiai As’ad Humam, di kampung Selokraman Kotagede.
Saya mewakili Pengajian API Masjid Gede Kotagede. Dan anak muda lainnya mewakili pengajian anak anak yang banyak tersebar di Kotagede.
Kami anak muda yang masih hijau dalam berorganisasi, dalam rapat berkali kali di rumah ini betul betul bisa berguru kepada Kiai As’ad Humam dalam ilmu berorganisasi. Beliau kalau berbicara tidak keras tetapi jelas. Bisa mengarahkan rapat sehingga setiap rapat selalu produktif dengan keputusan yang diambil.
Tahap demi tahap pembentukan panitia, gambaran lengkap acara yang diselenggarakan sampai pembagian tugas bisa kami ikuti dengan seksama. Dan yang khas, unik, dan ini merupakan salah satu kelebihan Kiai As’ad Humam adalah kemampuan dan kecermatan beliau dalam membagi tugas. Orang yang ditunjuk tepat dengan tugas teknis panitia.
Entah dengan cara bagaimana, beliau ternyata sangat mengenal karakter masing-masing dari kami dan dalam berkomunikasi personal bisa nyambung. Mungkin beliau mengetahui semacam antropologi mini masing-masing kampung dan karakter masing-masing penghuni kampung itu. Saya misalnya, karena Mbah Hasyim dari kampung Ngledok yang warga punya karakter khusus bisa beliau tebak. Apalagi masing-masing dari orang tua dan kakek kami sudah beliau kenal. Jadi kami semua akrab, memang dibuat akrab dengan gojekan khas Kotagede. Apalagi dalam pengajian saya, kalau bulan Ramadhan ada kegiatan lintas pengajian dan sekaligus lintas kampung, yaitu kami mengirim pengasuh pengajian kami dibantu kader untuk mengisi tarwehan anak lintas kampung. Jadi sebelum kami dikumpulkan di rumah Kiai As’ad Humam, kami sudah saling mengenal dan ini memudahkan kerja-kerja kepanitiaan.
Ketrampilan atau keahlian membagi tugas yang dimiliki oleh beliau didapat dari latihan sehari-hari sebagai pimpinan perusahaan imitasi yang terkenal. Dengan demikian beliau terbiasa dan terlatih membagi tugas kepada sobatnya (karyawannya). Tentu peran Mbah Humam yang juga juragan imitasi dalam melatih anak-anak tidak bisa dilupakan. Saat diadakan pembagian tugas kepanitiaan, tidak ada protes atau komplain dari kami.
Selain ahli dalam membagi tugas, beliau juga ahli memberi semangat kepada yang muda-muda. Mahir memberi motivasi, kalau bahasa sekarang. Tentu bukan saja kata-kata yang penting, tetapi spirit atau semangat juang yang beliau pancarkan saat memimpin rapat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata semangat atau spirit perjuangan ini bisa memancar dan menular. Kami anak anak muda yang sering hadir rapat di rumahnya merasakan itu. Sepulang rapat, semangat juang itu masih menyala dan nyaris tidak pernah padam.
Selain itu, kami anak muda juga berguru dalam hal menguasai masalah. Kiai As’ad Humam, sepanjang pengetahuan saya ketika menjelaskan suatu masalah sangat menguasai masalah dasarnya (masalah makro) dan sangat menguasai detil dari masalah (masalah mikro) nya. Relasi atau keterhubungan antara masalah makro dan mikro pun sangat beliau kuasai.
Agar mudah dan cepat menguasai masalah makro dan mikro beliau punya keahlian dalam memfokuskan pembicaraan. Kiai As’ad Humam kalau pas menjelaskan dan membahas suatu masalah selalu fokus pada masalah itu sendiri. Berbicara tidak kesana kemari, tetapi terpusat pada masalah makro dan mikro yang menjadi pusat perhatian beliau pasca kejadian atau peristiwa politik tahun 1965-1966. Beliau sangat prihatin, mengapa di Kotagede banyak pengurus, anggota atau simpatisan komunis? Ini dibuktikan dengan banyaknya orang Kotagede yang diciduk dibawa tentara termasuk yang dibawa ke pulau Buru. Juga banyak orang Kotagede yang apel ke Koramil, yang ini artinya mereka berstatus sebagai tahanan kota. Mereka ini merata, di tiap kampung ada, termasuk di kampung beliau sendiri.
Maka begitu peristiwa itu terjadi dan kemudian keadaan dapat diatasi dengan kedatangan pasukan RPKAD di Kotagede, ada pesawat menyebar selebaran, komandan pasukan mendarat dengan helikopter di lapangan Karang, ceramah mereka di gedung Muhamadiyah, atraksi ketrampilan tempur mereka sebelum melatih Hanra Komando, dilanjutkan dengan pencidukan terhadap orang yang selama itu kelihatan aktif di kegiatan komunis. Orang-orang tua, kasepuhan masyarakat yang antara lain bergabung di Muhamadiyah, yang kemungkinan dipandu oleh Biro Hikmah (biro yang bekerja diam-diam mengurusi ideologi) merumuskan dan melaksanakan strategi besar.
Pertama, menyelamatkan merangkul keluarga keluarga yang kehilangan anggota keluarga karena diciduk dengan langkah penuh simpati dan empati. Antara lain, rumah ‘tokoh’ atau yang ditonjolkan mereka, dijadikan tempat jamaah tarawih. Mereka diberi kehormatan menjadi tuan rumah jamaah tarawih tetangganya. Ayah dan paman saya bilang, mereka diposisikan seperti Abu Sofyan saat Fathul Makkah. Dan dalam shalat berjamaah tarawih, jamaah biasa, shalat Jum’atan surat Nashr menjadi populer dan sering dijadikan bahan ceramah. Memang situasi di masyarakat Kotagede pasca kekalahan komunis mirip situasi Fathul Makkah.
Itu strategi untuk orang tua. Strategi yang diterapkan untuk menyelamatkan kader umat, biasanya anak yang sekolah di SD Muhammadiyah atau yang dari keluarga santri berbeda. Muhammadiyah Kotagede menyelenggarakan Diniyah Course tiap sore. Peserta, anak-anak mewakili kampung kampung se-Kotagede, merata, terpilih yang diharapkan menjadi kader umat militan.
Suasana pengajaran dan ustadz yang mengajar sangat berbeda dengan di sekolah. Mereka lebih segar dan mendalam dalam memberikan pelajaran ilmu agama. Sebagai contoh, pelajaran Akhlak yang dipegang Ustadz (Kang) Sodiq bin Abdul Kahar Muzakir misalnya. Dia membahas sampai mendalam soal akhlaq kepada Allah SWT. Yaitu tentang bagaimana mencintai Allah SWT. Mendengar istilah cinta kepada Allah bagi anak anak SD waktu itu merupakan hal yang baru. Tahunya yang namanya cinta itu mesti berhubungan dengan lelaki dan perempuan.
Strategi ketiga adalah dengan menghidupkan dan memajukan kepanduan, Pramuka khusus Islam, Gugus Depan 14/15 Kotagede yang sanggar Pramukanya di dekat Toko Besi Kismoyoga. Para aktivis pandu HW mengawal kegiatan ini. Pramuka rasa HW pun berkembang di Kotagede dengan teman latihan di lokasi Ladang dekat sungai Gajah Uwong. Kalau tidak salah tempat ini kepunyaan Kaji Bacharuddin yang semacam diwakafkan untuk kegiatan Pramuka dan olahraga anak Kotagede.
Strategi keempat yang diterapkan oleh aktivis muda Islam, yang ini dimotivasi dan dimotori oleh Kiai As’ad Humam adalah dengan mendisain dan mendirikan PPKS (Persatuan Penggajian Anak anak Kotagede dan Sekitarnya). Organisasi pengajian anak-anak dirapikan dimajukan. Dan yang belum punya nama diberi nama baru. Untuk pengajian anak laki laki diberi nama dengan awalan Al (Al Husna, Al Hijrah dan sebagainya) untuk yang perempuan diberi awalan Nurul (Nurul Husna, Nurul Hijrah), kecuali pengajian anak yang sudah punya nama paten seperti pengajian Mafaza di Trunojayan, PPD di Dalem, Al Rosyad di Alun-alun Selatan, API di Masjid Gede.
PPKS dan kantor PPKS di jalan Karanglo, di dekat toko minyak goreng punya juragane Bronjong, selalu ramai oleh anak-anak. Saat liburan, sering ada perlombaan untuk anak-anak pengajian. Tujuan menghadirkan PPKS dan Organisasi serupa di Kotagede kemudian adalah untuk memberantas buta huruf Al Qur’an.
Secara kuantitas pengajian anak-anak Kotagede berkembang pesat, dan kalau bulan Ramadhan menyelenggarakan tarwehan anak-anak sendiri. Tetapi secara kualitas sepertinya berjalan di tempat. Untuk sampai bisa membaca Al Qur’an, apalagi sampai khatam waktunya sangat lama dan tidak jelas. Sampai Ayah saya membuat langkah taktis dengan mengajar dan menghajar saya untuk mengaji Al-Qur’an di rumah sendiri selama setahun. Setelah saya khatam Al-Quran baru saya dilepas untuk mengajar di Pengajian API.
Kiai As’ad Humam rupanya melihat kemacetan dalam hal meningkatkan kualitas pengajian anak anak ini. Dan beliau, karena fokus dengan pendekatan makro dan mikro bisa menemukan akar masalahnya. Yaitu terletak pada metode pembelajarannya dan pada buku khusus untuk belajar Al Qur’an. Buku yang ada, Turutan atau Qoidah Baghdadiyah dan metode sorogan seperti di pesantren menjadi kajian beliau.
Inilah yang menjadi katar belakang beliau menyusun buku Iqro enam jilid dan menggunakan metode madrasah, klasikal dan mengubah pengajarnya yang dulu disebut Kang dan Yu menjadi Ustadz dan Ustadzah. Lebih keren kedengarannya.
Segala perhatian, tenaga dan fikiran Kiai As’ad Humam dicurahkan ke situ. Untuk mewadahi kegiatan anak muda mula-mula dibentuk Angkatan Masjid dan Musholla (AMM) yang kemudian disempurnakan menjadi Lembaga Pendidikan Al Qur’an yang menginisiasi TPA TQA sebagai hasil transformasi dari pengajian anak anak yang yang sering mengalami pasang surut. Saya bersama anak muda seangkatan menjadi saksi dan berguru. Khususnya kepada ketekunan beliau dalam pendidikan agama, khusus dalam pengajaran membaca Al Qur’an. Sebagai perintis gerakan belajar dan membaca Al Qur’an yang masif di tanah air dan di beberapa negara manca negara, Kiai As’ad Humam memang sudah diakui secara nasional dan internasional. (Mustofa W Hasyim)