Barat dan Arab: Mencari Panacea
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
SANGAT meyakinkan, dengan semakin ganasnya serangan bom koalisi Barat terhadap basis-basis ISIS (Islamic State in Irak and Syria) di Suriah akhir-akhir ini dan terjadinya Teror Paris yang brutal Jumat (13/11) yang lalu yang disebut-sebut sebagai serangan balasan ISIS terhadap Barat dengan korban yang sedemikian masif di kedua locus delicti, Suriah dan Paris, dunia internasional tersentak dan bertanya-tanya: ada apa dan apa yang salah dengan kedua bangsa Arab dan Barat itu?
Saya rasa tidak seperti pertanyaan Bernard Lewis dalam bukunya What Went Wrong: The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East (2002), yang melihat ada yang salah dalam dunia Arab, melainkan lebih tepat: ada banyak yang salah di dalam dan di antara kedua bangsa dan peradaban tersebut. Keduanya rasanya sedang sakit (wounded). Tak heran jika hubungan dialektis keduanya kian lebih banyak ketegangan, benturan, dan perangnya, daripada harmoni. Interaksi antar keduanya, tidak seperti antarperadaban lainnya, begitu gampang memercikkan api konflik dan bara permusuhan yang eksesif dan eskalatif.
Dalam buku yang belakangan judulnya berubah menjadi What Went Wrong: Western Impact and Middle East Respons ini, Lewis menimpakan semua konflik yang terjadi antara Barat dan Arab adalah akibat dari adanya sesuatu yang salah di internal Arab dalam memasuki moderntas. Lewis menyampuradukkan antara Arab dan Islam, Barat dan modernitas, atau malah juga Barat dan Kristen. Benar, sangat sulit memisahkan Barat dan modernitas, atau Arab dan Islam, tapi Arab secara ideologis dan teologis sangat lah heterogin. Dan juga, ini yang penting, Islam dewasa ini bukan hanya Arab, bahkan Islam di luar Arab jauh lebih besar daripada Islam di Arab.
Dalam perspektif ini menyebut krisis di dunia Arab dan benturan antara Arab dan Barat sebagai identik dengan benturan antara Islam dan modernitas, apalagi menyebutnya sebagai manifestasi krisis di dalam Islam (buku Lewis yang lain berjudul The Crisis of Islam), adalah simplistas dan sekaligus menyesatkan! Pertanyaan apa yang salah dengan dunia Arab tidaklah sama dengan pertanyaan apa yang salah dengan Dunia Islam. Walhasil, terhadap serangkaian tindak kekerasan Barat di Arab dan kekerasan Arab di Barat adalah lebih aman bagi kita untuk membacanya sebagai persoalan Arab versus Barat, apapun agama yang dianut keduanya! Pasalnya, apa yang terjadi di sana lebih sebagai kelanjutan pertarungan politik dan sumber daya ekonomi daripada agama.
Dalam konteks politik sulit untuk diingkari bahwa politik Barat di dunia Arab sangat lah kasar, vulgar, dan banal. Banalisasi konflik bisa dilihat dalam serentetan kasus dan peristiwa di zaman moderen ini. Begitu enteng, misalnya, Amerika dan sekutu-sekutu Barat-nya melakukan pemboman ke Libya (pada masa Presiden Khadafy), menginvasi Irak (menjatuhkan Presiden Sadam Husen), menduduki Afghanistan yang miskin itu, membom Suriah, dan lain-lainnya. Keberadaan Taliban di Afghanistan, Osama bin Laden, ISIS, dan ekses kekerasan yang berkepanjangan akibat dari pendirian Israel, tidak lepas dari pergulatan politik Barat di kawasan itu.
Demikian juga sebaliknya tindak terorisme di Barat seperti 9/11 Penttbom (Pentagon and Twin-Tower Bombing), serangkaian teror di jantung negara-negara Barat, termasuk mungkin Paris Attack terakhir ini, juga tidak lepas dari anasir Arab yang mengalami frustrasi politik. Sebagai bangsa yang kalah secara politik, militer, dan ekonomi, tentu pukulan balik yang mereka lakukan terhadap Barat dilakukan secara tidak canggih seperti halnya serangan Barat.
Pada dasarnya kedua bangsa ini dalam kurun zamannya masing-masing sama-sama intervensionis dan imperialis. Pada abad pertengahan Arab menaklukkan dan menganeksasi Barat. Sementara pada abad 20 daun sejarah berbalik: Barat menguasai dan menjajah hampir seluruh negara Arab yang kemudian dipecah-belah menjadi seperti sekarang ini. Rivalitas dan permusuhan itu terus berlangsung sampai di abad moderen ini dengan genre baru.
Sejak memasuki era moderen Barat memegang supremasi dunia: menang dan mendominasi dunia baik secara politik/militer, ekonomi, dan peradaban. Apalagi seusai Perang Dingin, Barat seolah-olah bergabung menjadi satu blok yang mencari musuh baru yang sama. ‘Ala kulli hal, kedua bangsa dan peradaban itu, Barat dan Arab, sedang sakit (wounded civilization): keduanya tampaknya memerlukan obat sebagai panacea.
Hajriyanto Y. Thohari, Mantan Wakil Ketua MPR 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah