Keluasan Angkasa Raya dan Hikmah di Dalamnya
Oleh : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar
Terdapat banyak fenomena dalam al-Qur’an yang patut kita renungkan terkait semesta. Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang alam semesta yang sesungguhnya al-Qur’an menganjurkan kepada manusia untuk mengamati dan merenungi alam raya dalam rangka mengambil hikmah-hikmahnya. Proses pengamatan ini sesungguhnya merupakan bagian integral dari ilmu pengetahuan (sains). Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari sains. Sains merupakan fenomena tak terhindari dalam kehidupan manusia. Hampir tak ditemukan segala aktifitas manusia yang tak berhubungan dengan sains. Agama Islam sendiri tidak menghambat laju kemajuan ilmu pengetahuan.
Menurut Syaikh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), agama Islam tidaklah menentang sains terkait pengamatan benda-benda angkasa. Islam justru mengapresiasi pemikiran dan pengkajian tentang alam raya. Apresiasi ini antara lain ditegaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi” (Q. 10: 101). Dan firman-Nya, “Katakanlah, berjalanlah di (muka) bumi, dan perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan” (Q. 29: 20).
Mengamati alam semesta merupakan fenomena berkembang di zaman silam. Pengamatan manusia di zaman silam tidak lebih hanya sekedar pengamatan biasa tanpa ada penjelasan teoretis maupun eksperimen seperti yang lazim dilakukan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Keindahan alam raya menjadi daya tarik tersendiri manusia pada zaman dahulu. Alam semesta sangatlah menarik dan mengisyaratkan banyak hal. Dari pengamatan inilah muncul ilmu astronomi (ilmu falak). Ilmu ini berawal dari usaha manusia untuk menyingkap berbagai rahasia yang terkandung di alam semesta. Astronomi selalu ada dalam kehidupan, astronomi merupakan cabang ilmu pengetahuan tertua yang terus dipelajari manusia karena keterkaitannya dengan kehidupan dan ibadah. Lapangan pembahasan astronomi adalah langit dengan segala yang ada dan berada didalamnya. Peradaban Babilonia, China, India, Persia, Yunani, dan lainnya adalah peradaban-peradaban yang telah melahirkan banyak penemuan yang terus dikembangkan hingga saat ini.
Kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi (IPTEK) dapat mendeteksi pergerakan alam semesta. Bulan beredar mengelilingi bumi, berikutnya bumi berputar mengelilingi matahari (disamping keduanya beredar dalam porosnya masing-masing atau rotasi). Matahari-pun beredar mengelilingi pusat galaksi, setiap galaksi terdiri dari jutaan bintang. Demikian pula planet-planet dan benda angkasa lainnya beredar dengan gerak dan kadarnya masing-masing yang tak pernah salah lintas. Inilah makna filosofis dari ayat “… dan semuanya beredar pada poros (orbit)nya” (Q. 36: 40).
Penelitian membuktikan, bulan bisa hancur bila terlalu dekat dengan bumi. Bumi beredar dalam rangka menyeimbangkan rotasi bulan, dan bulan pun beredar dalam rangka menyeimbangkan rotasi bumi, hingga terjadilah sinkronisasi. Bumi berputar mengelilingi matahari dalam rangka penyeimbang agar bumi tidak tersedot oleh panasnya matahari. Setiap benda langit memiliki gaya gravitasi yang bersifat menarik benda lain yang ada didekatnya. Justru karena gerakan melingkar bumi itulah tarikan matahari terhadap bumi bisa diimbangi. Semuanya bergerak pada edar dan kadarnya masing-masing, punya hikmah dan sebab yang dapat dipelajari melalui berbagai perenungan, penelitian, dan teori.
Hikmah yang bisa diambil dari khazanah benda-benda angkasa tersebut adalah, jika kita hidup di atas sebuah planet bumi yang diam yang tidak berubah, tidak beredar dan dan tidak bergerak, tentu sedikit sekali yang bisa dikerjakan dan diteliti manusia, dan tidak akan ada gairah untuk berfikir dan berakselerasi menuju ilmu pengetahuan dan kemajuan. Hidup adalah proses, kita hidup di alam semesta yang bergerak dan berubah. Di dunia ini semua keadaan berubah mengikuti pola, aturan, dan mengikuti hukum-hukum alam. Seluruh peristiwa dan hukum-hukum alam itu memungkinkan kita bisa merencanakan sesuatu si masa depan. Akhirnya, kita pun bisa bekerja dengan ilmu, dan dengannya bisa memperbaiki kualitas hidup, dan dengannya pula kita bisa lebih mengenal sang pencipta, Allah ‘azza wa jallā.
Moeji Raharto (pakar dan peneliti astronomi di Observatorium Astronomi Boscha, Bandung) menegaskan, “kita bisa mengetahui lebih dalam tentang kehidupan; bahwa alam semesta sangat cerdas; bahwa bumi sangat istimewa karena mempunyai lempeng tektonik yang aktif, karena punya air yang bisa mengalir, susah menemukan padanannya di alam semesta ini. Jadi kalau bumi ini rusak atau dirusak, kita akan pindah ke mana? Hal ini membuka kesadaran untuk menjaga planet bumi. Dan ternyata kita bagaikan sebutir pasir di alam semesta, yang pada akhirnya menuju satu, bahwa semua ini diciptakan oleh zat yang Mahacerdas, Allah Swt”.
Dalam kurun zaman lampau, mempelajari dan mengamati perubahan fenomena langit adalah upaya memahami tatanan kehidupan. Kita selalu belajar dari alam untuk bertahan hidup. Kemampuan membaca tanda di langit bisa dikatakan sebagai persoalan hidup dan mati. Kita menanam, memetik dan memanen hasil pertanian pada musim tertentu, tidak pada musim-musim yang lain, kesemuanya terkait dengan fenomena alam. Kita melakukan perjalanan, pelayaran, penerbangan adalah berdasarkan informasi situasi dan kondisi alam. Tragedi “Sukhoi” yang menewaskan puluhan orang, adalah sedikit bukti betapa pentingnya mempelajari karakter alam untuk mempersiapkan segala sesuatunya secara lebih baik. Dengan perenungan dan penelitian panjang, manusia bisa mengetahui fenomena kontemporer alam semesta seperti Black Hole, ledakan bintang Nova atau Supernova, Sunspot, Transit Venus, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, berbagai fenomena yang sangat dahsyat ini tak mungkin difahami dan didekati dengan akal semata, namun iman justeru jauh lebih berperan, ditemukan satu penemuan, secara bersamaan bermunculan misteri-misteri lain yang terkandung di alam raya ini. Ini menunjukkan betapa kecilnya kita dihadapan Allah.
Sains dan agama Islam menegaskan alam semesta yang megah ini akan runtuh dan hancur, tapi entah bagaimana prosesnya, dan ada apa setelah kehancuran itu? Manusia tiada mampu menghitung dan membayangkan kecuali berserah kepada Allah untuk mencari jawabannya, karena Dia-lah zat yang maha mengetahui atas segala ciptaan-Nya, dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit saja (Q. 17: 85).
Sejatinya keteraturan perputaran bumi, bulan, matahari dan benda-benda angkasa dalam lintasannya yang tak pernah salah lintas mengindikasikan bahwa segala sesuatu dicapai dengan proses panjang yang tiada henti, yang jika proses ini terhenti mengakibatkan goyah dan tidak stabilnya tatanan kehidupan. Sembari kita tetap meyakini bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh zat yang Maha kuasa, Allah Swt.
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butarbutar, Kepala OIF UMSU, Anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara