Saya memanggilnya Kang Adaby Darban karena dua hal. Pertama, putra Kauman. Kedua, karena beliau di masa muda adalah aktivis PII. Pernah menjadi Ketua PII Daerah Kota Yogyakarta. Saya tidak asing dengan PII karena saya mengenal aktivis dan tokoh-tokohnya di zaman itu. Bahkan saya menemani mereka yang usianya di bawah saya ketika mereka tiarap karena soal asas tunggal, sebagai teman kultural yang tanpa sekat.
Dengan kampung Kauman Yogyakarta waktu muda saya cukup mengenal. Apalagi waktu itu kantor PWM DIY kan di Jagang Kauman dan kantor majalah pelajar Kuntum di Gerjen, di rumah Mbak Aminah atau rumah muadzin Masjid Gede Kauman, Mbah Jundi. Waktu itu saya aktif di Pemuda Muhammadiyah Kota, kemudian DIY, sekaligus aktif di majalah Kuntum.
Ini yang membuat saya kenal jaringan gang-gang di Kauman dan sekitarnya, siapa indekos di rumah siapa, termasuk rumah Kang Adaby Darban di Kauman Kidul.
Pengenalan saya terhadap kampung Kauman memudahkan saya ketika saya suatu hari mendapat tugas mengedit skripsi beliau menjadi buku, Sejarah Kauman, yang diterbitkan oleh Penerbit Terawang. Ini membuat kegemaran saya pada sejarah kambuh lagi. Saya dipinjami salinan skripsi itu oleh Kang Adaby Darban dan saya pun berguru soal ketelitian beliau menyangkut data sejarah. Juga ketelitiannya dalam menulis karya sejarah.
Sejarah kampung Muhamadiyah Kauman dan sejarah Gerakan Rifa’yah yang beliau tulis kemudian menjadi buku merupakan buah ketelitian khas sejarawan. Ketelitian semacam ini yang harus juga dimiliki seorang wartawan. Teliti dalam mencatat bahan berita dan teliti menuliskannya. Wartawan seperti saudara kembar dengan sejarawan. Bahkan boleh dibilang keduanya sama-sama menulis sejarah. Wartawan menulis sejarah aktual, dan berita yang ditulis akurat bisa menjadi sumber penulisan sejarah. Sedang sejarawan sendiri berkutat dengan fakta yang telah lampau, bahkan sangat lampau.
Ini yang membuat saya makin akrab dengan Kang Adaby Darban. Sebagai wartawan yang memiliki kesamaan bahwa meliput berita adalah mencari ilmu dan menggali ilmu, bukan sekadar mencari uang. Oleh karena itu saya selalu senang dan bahagia kalau mendapat tugas mewawancarai para ahli. Ketika mereka berbicara, apalagi menjelaskan prosedur ilmiah dari narasi sejarah yang diungkapkan, saya sering merasa kuliah dan dikuliahi beberapa semester. Wawancara lancar. Saya mendapat bahan berita dan ilmu. Termasuk ketika saya wawancara dengan kang Adaby di Fakultas Sastra dan Budaya UGM, tempat favorit saya untuk menggali berita lewat wawancara.
Di Fakultas tersebut saya menjadikan para sejarawan sebagai narasumber sesuai dengan masalah yang paling dia kuasai. Prof Joko Suryo untuk masalah politik kerajaan Mataram sekitar zaman Kartosuro. Kalau masalah sejarah sosial termasuk sejarah sosial Madura, Pak Kuntowijoyo ahlinya. Prof Sartono tentang gerakan perlawanan di kalangan petani. Prof Joko Sukiman tentang pernik-pernik budaya zaman Majapahit dan Demak. Kang Adaby menekuni perlawanan para ulama Jawa terhadap Belanda dan sejarah Muhamadiyah. Dengan memahami semacam spesialisasi atau kecenderungan minat studinya, kita bisa merancang wawancara yang tepat tentang masalah yang tepat untuk ahli yang tepat pula.
Terkadang bagi narasumber yang memiliki aneka bakat seperti Pak Kuntowijoyo, maka bertanya kepadanya tentang sastra dan kebudayaan tidak masalah.
Kang Adaby karena kecintaannya dengan sejarah sebagai ilmu maka ketika juniornya di PII, Mas Muhammad Nasirudin dari Magelang tepatnya dari Muntilan memintanya untuk berbagi ilmu sejarah, bahkan sampai metode sejarah dalam hal menggali fakta sejarah dan metode menuliskannya, Kang Adaby langsung bersedia.
Muhammad Nasirudin yang kemudian aktif di PDM Magelang mengajak anak-anak muda untuk diskursus ilmu sejarah secara singkat tetapi efektif dengan guru atau narasumber Kang Adaby Darban, atau nama lengkapnya Drs Ahmad Adaby Darban, SU.
Tujuannya, anak muda itu agar bisa menulis sejarah PCM di PDM Magelang.
Kang Adaby Darban bertindak selaku konsultan untuk kerja besar ini. Hasilnya, sebuah buku tebal berjudul ‘Ada untuk Bermakna’. Isinya sejarah berbagai PCM di PDM Magelang. Ditulis lengkap dan mendalam.
Kegiatan teman teman di Magelang ini mengingatkan saya pada Program PP Muhammadiyah agar masing masing PWM membuat sejarah lokal Muhamadiyah masing masing. Hasilnya lumayan, beberapa PWM, juga PDM membuat sejarah Muhamadiyah lokal masing masing.
Yang lebih membuat saya bisa berguru semangat juang Kang Adaby Darban adalah semangat untuk setiap saat berjuang bagi kemajuan Muhamadiyah, untuk umat Islam, untuk masyarakat umum dan untuk bangsa Indonesia.
Beliau terkenal ringan tangan atau enthengan. Pernah di bulan Ramadhan, Kang Adaby mendapat pertanyaan terkait berapa jumlah undangan untuk ceramah. Beliau tersenyum lalu menjawab dengan suara merendah, “Rara-rata sehari dua atau tiga kali. Ditambah setiap Ahad Pagi mengisi Diskon Ramadhan.”
Saya hitung di bulan Ramadhan tahun itu Kang Adaby memberikan ceramah agama sekitar tujuh puluh kali lebih. Tentu kegiatan yang menguras pikiran dan tenaga. Kang Adaby tetap segar. Saya pun bertanya pada beliau, bagaimana bisa? Beliau menjawab, “Karena saya Cah Kauman dan saya dekat dengan Lembaga Seni Bela Diri putera Muhammadiyah: Tapak Suci.”
Saya pun memahami maksud beliau. (Mustofa W Hasyim)