Berguru Kepada Mohammad Diponegoro

Berguru Kepada Mohammad Diponegoro

Foto Dok Istimewa

Berguru Kepada Mohammad Diponegoro

Sejak kecil, bahkan cerita ibu saya, waktu balita saya sudah sering disodori majalah atau koran. Tentu waktu itu yang saya senangi gambarnya. Kadang gambar ini saya sobek dan saya bawa kemana mana sambil ngomong seperti gaya juru warta.

Ketika sudah sekolah SD dan Ayah berlangganan koran saya menjadi pembaca koran yang tekun seperti Ayah. Saya suka membaca berita dan cerita bersambung.

Waktu ada berita pelantikan Corps Wartawan Perang (CWP) saya senang dan bilang sama Ayah kalau ingin jadi wartawan perang. Ayah tidak marah, hanya ibu yang pucat wajahnya. Ayah hanya bilang menjadi wartawan perang itu penuh bahaya dari harus tahu ilmu perang. “Kalau itu ilmu Jan bisa dipelajari Yah,” kataku.

“Ya, tetapi wartawan yang terjun di medan pernah tetap menghadapi bahaya seperti pelaku perang, tentara.”

“Ayah kan pensiunan tentara. Jadi tidak salah dong kalau anaknya jadi wartawan yang bertugas di medan perang.”

Waktu kan sedang ramai ramainya ada perang di mana-mana. Di Afrika, di Asia.

Ibu makin pucat, dan ayah berusaha mengurangi kekhawatiran ibu dengan mengatakan bahwa ada yang lebih dahsyat dari perang pakai senapan. Yaitu perang kata kata, maksudnya barangkali perang ide atau ideologi. Medan pertempuran tidak di hutan-hutan tetapi justru di kota kota. Yaitu perang lewat tulisan, lewat karya sastra.

Mendengar itu saya jadi tertarik. Apalagi Ayah’ bilang punya sahabat yang dulu sama sama menjadi tentara pejuang yang kemudian berhenti dari tentara, menjadi penulis sastra, penulis naskah drama dan sekaligus aktivis jurnalistik. Namanya Mohammad Diponegoro. Tinggal di Suronatan, dekat saudara Mbah Hasyim yang bernama Mbah Syahid. Jadi kalau Ayah bersilaturahmi ke rumah Mohammad Diponegoro, sekaligus mampir ke rumah Mbah Syahid yang suatu hari nanti menjadi mertua Pakde saya, Pakde Zuhri Hasyim. Yang sering dikenang Ayah, Pak Dipo ini suka menyuguh makan siang dengan lauk besengek atau terik. “Tahunya besar-besar dan gurih,” kenangnya.

Yang lebih menarik tentu bukan obrolan tentang tahu, tetapi obrolan tentang pengalaman perang. Saya jadi ingat, kalau Ayah’ sedang bercerita pengalaman perang dengan teman sesama pejuang, maka pembicaraan jadi seru. Mereka saling memperagakan adegan perang itu lengkap dengan dialog, teriakan dan suara senjata meletus, lewat mulut mereka. Adegan perang itu jadi hidup. Saya bayangkan ketika Ayah ngobrol dengan Pak Mohammad Diponegoro terjadi pentas drama perang lewat dialog yang hidup.

Ada cerita yang sering diulang-ulang oleh Ayah, dan ini memperlihatkan bagaimana Ayah mengagumi pak Mohammad Diponegoro adalah bagaimana Pak Dipo menyesuaikan persoalan militer anak buahnya dengan pendekatan budaya. Bukan dengan pendekatan militer. Jadi pendekatan militer bukan satu satunya jalan untuk menyelesaikan masalah. Karena pak Dipo ahli menulis naskah drama dan menulis cerpen, maka dia merancang adegan seru di tengah pertempuran

Waktu pak Mohammad Diponegoro sebagai komandan dan Ayah sebagai anak buah sedang bertugas di front barat. Pak Dipo mendapat laporan kalau ada dua anaknya yang kebetulan orang Sunda ternyata menyimpan konflik perguruan silat. Mereka kalau ada waktu luang dan di tempat tersembunyi suka bertarung habis-habisan dengan menggunakan ilmu silatnya. Ayah yang pernah memergoki mereka menyaksikan bagaimana dua orang yang bertugas di bagian perbekalan ini bertarung habis-habisan sampai menggunakan jurus berbahaya. Sebagai orang yang tahu sedikit banyak ilmu silat, Ayah tahu kalau salah satu lengah nyawa taruhannya. Biasanya mereka berhenti bertarung setelah sama sama lelah dan berjanji akan bertarung di lain kesempatan.

Ini yang dilaporkan kepada Pak Dipo. Pak Mohammad Diponegoro mengangguk-anggukkan kepala, bahkan tersenyum misterius. Pak Mohammad Diponegoro memanggil keduanya. Bukan untuk dimarahi. “Besuk ikut saya. Saya perintahkan saudara berdua ikut saya. Siap?” “Siap!” Jawab keduanya dengan hati berdebar. Besuknya pasukan Pak Dipo melakukan penghadangan terhadap konvoi pasukan Belanda. Penghadangan dilakukan di atas bukit dengan sasaran konvoi Belanda yang lewat di jalan sempit di bawahnya.

“Saudara berdua harus di dekat saya. Di depan saya ini. Saat pertempuran nanti saudara tidak boleh melarikan diri. Kalau lari saya tembak. Paham!”

“Siap pakai, paham,” jawab keduanya dengan keringat mulai bercucuran.

Rupanya dua orang ini bergabung ke pasukan hanya untuk gagah-gagahan. Belum pernah ikut terjun ke pertempuran langsung. Mereka memilih bertugas di perbekalan untuk menghindari pertempuran. Ini diketahui pasti oleh Pak Mohammad Diponegoro lewat penyelidikan internal pasukannya.

Betul, saat konvoi lewat dan sampai di tikungan maka pasukan psk Dipo menghujani dengan tembakan gencar. Serdadu Belanda di dalam truk panik berloncatan keluar. Senjata berat yang terpasang di panser dan tank berputar dengan moncong mengarah ke atas. Serdadu Belanda membalas serangan itu dengan tembakan yang tidak kalah gencarnya. Bahkan senjata berat mereka menggelegar.

Karena posisi pasukan pak Dipo di atas dan terlindung bebatuan dan pohon besar dan serdadu Belanda di bawah maka yang banyak korban serdadu itu. Pasukan Pak Dipo selamat tidak ada yang luka. Pertempuran sengit ini membuat dua anak buah itu ketakutan, keringat mengucur deras, terkencing kencing di celana. Dengan gemetar mereka memegang senjata dan menembak secara ngawur.

“Mundur! Mundur!” Teriak pak Dipo memberi aba-aba.

Pasukan bergerak mundur teratur di bawah hujan peluru. Masuk hutan lalu bergegas cepat menuju markas yang tersembunyi.

Sejak itu, dua orang yang sebelumnya merasa bangga punya ilmu silat dan beradu ilmu cari unggul, berhenti memamerkan ilmu silatnya. Lebih-lebih setelah Pak Dipo memberi nasehat, ilmu beladiri itu bukan untuk dipamerkan dan bertarung sesama teman. Tetapi untuk melawan musuh. Dalam perang modern yang bersenjata api ilmu silat terbatas penggunaannya. Hanya saat pertarungan jarak dekat bisa digunakan jurus beladiri.

“Kalian sangka kami yang dari timur ini tidak bisa silat? Teman teman ini, yang dari pesantren pendekar semua.” Kata Pak Dipo yang kemudian menyuruh dus anak buahnya untuk bertarung dengan menggunakan ilmu silatnya. Mereka bertarung dengan ilmu silat tinggi. Dua orang tadi menyadari kekeliruannya dan minta maaf kepada semua anggota pasukan.

Jadi dengan membuat shock maka masalah dua orang itu selesai.

Jadi sebelum bertemu langsung dengan Pak Mohammad Diponegoro saya sudah kagum dengan sosok ini. Ditambah lagi setiap Ahad pagi beliau siaran pembacaan cerpen di radio Australia. Saya di waktu libur pernah nguping ikut mendengarkan. Cerpen menjadi hidup karena diiringi musik dan suara suara sebagai latar belakang. Itu memang suara Pak Mohammad Diponegoro, demikian Ayah’ membenarkan.

Nama Pak Mohammad Diponegoro juga bergaung di kalangan aktivis tester muslim. Sebab berhasil mementaskan lakon Iblis dengan pesan tersamar yang dimaksud Iblis zaman itu adalah orang komunis yang sering mementaskan ketoprak yang lakonnya menghina Tuhan dan malaikat.

Sampai suatu hari saya ditugaskan oleh koran saya untuk wawancara dengan beliau tentang dakwah lewat teater. Pak Mohammad Diponegoro menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Suara Muhamadiyah waktu itu. Kantornya di lantai dua di atas aula PP Muhammadiyah Jl KHA Dahlan. Ruangan itu tidak disekat, jadi tampak longgar. Beliau duduk di pojok, dengan ramah menerima saya. Saking seriusnya saya wawancara saya sampai lupa mengenalkan diri sebagai anak sahabatnya dari Kotagede yang punya saudara dekat di Suronatan. Baru setelah di kantor saya ingat Itu. Wah, andaikan saya mengenalkan diri sebagai anak sahabatnya pasti lebih asyik.

Saya kemudian berguru kepada beliau secara tidak langsung. Saya berguru lewat karya beliau yang ternyata pengagum Mohammad Iqbal. Saya juga berguru lewat jejak pak Mohammad Diponegoro di Suara Muhamadiyah. SGB atau Suara Muhamadiyah Gaya Baru sehingga pantas dibaca masyarakat modern adalah konsep beliau bersama dengan kolega. Sebagai tokoh yang sering mengunjungi banyak negara, beliau membaca banyak majalah berbahasa Inggris, dia pelajari isi dan desain grafisnya. Hasil studi lapangan ini yang beliau praktekkan untuk menyegarkan tampilan Suara Muhamadiyah. Beliau punya konsep magnet pembaca yang berisi tulisan yang menarik pembaca. Tulisan di majalah luar negeri diterjemahkan dan tokoh-tokoh nasional dipersilahkan menulis di Suara Muhammadiyah.

Saya waktu itu aktif di tiga dunia perjuangan yang semua sama sama berkaitan dengan dunia tulis menulis. Pertama, dunia jurnalistik sampai karir saya mentok menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Masa Kini dan Redaksi Pelaksana Suara Muhamadiyah. Kedua dunia sastra dengan menulis puisi, cerpen, novel, naskah sandiwara radio, naskah drama, cerita anak anak, geguritan, novel Jawa, esai berbahasa Indonesia dan Jawa. Dunia perjuangan sastra ini saya mulai waktu masih sekolah menengah sampai sekarang. Ketiga, dunia buku yang saya mulai terlihat di dalamnya di Shalahuddin Press, PT Bentang Intervisi Utama, Yayasan Bentang Budaya, Titian Ilahi Press, Sipres, Navila, Gita Nagari, Penerbit Suara Muhamadiyah, Prospek. Saya terbiasa merangkap pekerjaan waktu itu. Bekerja dari pagi sampai sore dilanjut malam. Dari bekerja di tiga dunia ini saya bisa menyekolahkan dan menguliahkan anak anak saya.

Oke, berkaitan dengan upaya serius saya untuk berguru kepada pak Mohammad Diponegoro adalah berkaitan dengan dua dunia. Sastra dan penerbitan buku. Waktu di Shalahuddin Press, pertama kali saya bertugas mengedit naskah ceramah pak Mohammad Diponegoro dan menyiapkan menjadi buku, yaitu tentang Mohammad Iqbal yang digabung dengan tulisan Buya Syafii Maarif tentang Muhamad Asad. Lalu ada tulisan terjemahan yang diolah pak Dipo tentang realitas Dakwah di dunia. Tulisan yang aslinya dimuat di Suara Muhamadiyah kemudian dihimpun dalam buku mungil yang kemudian laris manis.

Kemudian Shalahuddin Press mendapat bahan berupa serial tulisan tentang bagaimana menulis cerpen. Sebagai maestro cerpen yang punya bahan bacaan sekitar seratus buku, demikian Taufiq Ismail menyebutkan, beliau bisa memeras meringkas dengan bahasa menarik dan kadang jenaka menjadi artikel serial.

Artikel yang semula terpisah dihimpun disusun dengan logika buku. Saya yang bertugas menyusun buku dari bahan artikel berpisah menggunakan logika proses. Memang sejak belajar sastra di Malioboro logika proses dan kesadaran proses ini sangat ditekankan. Dengan demikian saya mudah menyusun buku yang kemudian diberi judul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk. Artikel lepas itu saya kelompokkan mulai dari bagaimana menata niat sampai bagaimana mengedit naskah cerpen. Sambil menyusun buku dengan membaca ulang berkali kali naskah ini saya betul betul berguru kepada Pak Diponegoro dalam hal menulis cerpen yang sukses ditulis oleh sastrawan dan sukses dibaca oleh khalayak sastra. Waktu itu saya sampai setengah hafal isi bukunya. Ini memudahkan saya memberi informasi yang akurat kepada mas Ong Hari Wahyu sebagai ilustrator isi buku sekaligus desainer cover berikut ilustrator cover buku.

Tentang judul itu hasil berfikir bareng antara editor, direktur penerbitan bersama desainer cover dan grafis.

Yang membuat kami berdebar adalah ketika kami menunggu pengantar buku dari sahabat pak Mohammad Diponegoro, penyair Taufiq Ismail. Lay out atau dummy buku sudah jadi, lalu fotocopy dan dijilid menjadi karya buku dan dikirim ke Taufiq Ismail. Secara berkala kami menagih pengantar ini. Sekitar dua tahun pengantar sepanjang dua halaman muncul. Kami bersorak. Sekali bersyukur.

“Buku ini agar perfeks harus ada pengantar dari Mas Taufiq,” kata mas Fanani tegas.

Pengantar diproses digabung dengan isi. Bisa buku dicetak, selesai dan diedarkan. Laris sekali dan ia menggembirakan hati.

Di kemudian hari, buku ini mengalami cetak ulang berkali dengan penerbit yang berganti.

Lucunya, walau saya relatif menguasai teori menulis cerpen, tetapi setiap ikut lomba penulisan cerpen tidak pernah juara, harapan saja tidak. Padahal saat ikut lomba penulisan puisi saya sering juara. Novel saya juga mendapat penghargaan.

Sebagai murid pak Mohammad Diponegoro, saya kurang beruntung kalau ikut lomba. Tetapi saya bersyukur dan bangga karena buku ini dianggap memiliki kualitas tinggi. Buktinya buku ini dan cetak ulangnya ditawarkan di toko buku online bergengsi seperti Amazon, Bukalapak, Shopie dan toko buku online sekelasnya. (Mustofa W Hasyim, 2021)

Exit mobile version