JAKARTA, Suara Muhammadiyah–Muhammadiyah dan Salafi sering disebut punya kesamaan paham. Namun jika dicermati lebih jauh, ada perbedaan yang cukup jelas. Misalnya, Al Yasa Abubakar membedakan pola pemahaman agama menjadi: mazhabiyah, salafiyah, dan tajdidiyah. Guna menjernihkan titik temu dan titik beda, Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah mengusung tema “Paham Muhammadiyah versus Paham Salafi” dalam Serial Webinar ke-21, pada 26 Maret 2021.
Ketua LPP Muhammadiyah, Masykuri menyebut bahwa ada sinyalemen tentang masuknya paham Salafi ke Muhammadiyah. “Ada pernyataan dari Ketua Umum Muhammadiyah tentang ada Pesantren Muhammadiyah rasa Salafi,” katanya. Oleh karena itu, perlu menjernihkan benang merah antara Muhammadiyah dan Salafi, terutama di kalangan lebih dari 388 pesantren Muhammadiyah yang menjadi pusat kaderisasi ulama.
Ghoffar Ismail, ketua Divisi Organisasi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebut bahwa salaf merupakan, “salah satu metode dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni. Salafi merupakan orang yang mengikuti manhaj salaf.” Manhaj salaf, kata Ghoffar, merujuk pada periode sahabat, tabiin, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Hazm al-Andalusi, periode kaum Hanbaliah, periode Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syeikh Nashiruddin Al-Albani, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dst.
Menurut Ghoffar, ada legitimasi dari ayat dan hadis Nabi tentang paham Salafi. Misalnya, at-Taubah: 100, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” Ada hadis, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya”.
Ghoffar mengatakan bahwa Muhammadiyah mengambil inspirasi pada Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Menurutnya yang mengutip Harun Nasution, Abduh lebih rasional daripada Mu’tazilah. Ridha dengan Tafsir Al-Manar memberikan inspirasi bagi pendidikan.
Menurut Ghoffar, Muhammadiyah memiliki seperangkat manhaj yang berbeda dengan Salafi. Manhaj Muhammadiyah memiliki wawasan atau perspektif: tajdid, toleransi, keterbukaan, tidak bermazhab. Muhammadiyah menggunakan pendekatan: bayani, burhani, irfani.
Peneliti tentang Salafi yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Den Hag, Din Wahid, menyatakan bahwa Salafi merupakan cara berpikir, berperilaku, beragama yang mengikuti manhaj salaf. Ia menyebut ciri umum gerakan salafiyyah: pemurnian, kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, menyerukan ijtihad. Bagi Salafi, sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an, Hadis, mengikuti pemahaman manhaj salaf.
Adapun doktrin dasar Salafi, kata Din Wahid, berupa tauhid uluhiyah, rububiyah, asma wa sifat, dan mulkiyah, mengikuti sunnah dan menentang bid’ah, al-walla wa al-barra, taat dan patuh kepada pemerintah. Mereka senantiasa sami’na wa ata’na pada pemerintah selama umat Islam diperbolehkan menjalankan ibadah (Qs 4: 59).
Prinsip al-walla wa al-barra ini begitu kuat mengakar dan membentuk cara hidup ekslusif. Dalam penelitiannya, Din mendengar ada ustaz Salafi yang mengatakan, “jangan sampai asosiasi kita dengan organisasi tertentu membuat kita menjauh dari manhaj salaf, seperti Muhammadiyah, NU, atau yang lain.” Din juga pernah ditolak ketika melakukan penelitian, karena kuliah di Barat dan dianggap loyal kepada Barat.
Terkait dengan sejarah Salafi, Din menyebut bahwa gerakan ini bermunculan di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. “Beberapa tokoh utamanya adalah alumni Muhammadiyah. Mereka mengikuti program dai di daerah terpencil, rata-rata di Kalimantan. Misalnya Ainurrafiq Ghufron di Gresik itu Muhammadiyah, Abu Nida’ itu Muhammadiyah.” Perubahan ideologi mereka dari Muhammadiyah menjadi Salafi terjadi setelah mereka mengikuti program dai, lalu dikirim ke Saudi, kemudian kembali dan menjadi pionir dakwah Salafi di Indonesia.
Menguatnya, paham Salafi-Wahabi di Arab Saudi, harus dilihat secara cermat dalam konstalasi politik yang kompleks. Din Wahid menjelaskan bahwa di tahun 1960-an, ada Gamal Abdul Naser yang mengobarkan nasionalisme Arab yang kekiri-kirian. Ini dianggap berbahaya oleh Saudi. Tahun 1970-an, orang-orang Ikhwan diterima di Saudi dan mengajar di banyak universitas. Ikhwan ternyata juga terlalu revolusioner, berbahaya. Tahun 1979, ada revolusi Islam Iran. Guna membendung itu semua, Saudi mendirikan OKI di tahun 1957, mendirikan Rabitah Alam Islami di tahun 1962.
Di masa itu, kata Din, harga minyak dunia melejit dan Saudi mendapat keuntungan besar. Rabitah Alam Islami menyalurkan dana dari Saudi dengan memberikan beasiswa ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Selain beasiswa belajar di Saudi, dana-dana yang begitu besar juga dialirkan bagi kegiatan daurah dan berbagai pesantren untuk menyebarkan dakwah Salafi.
Din Wahid memberi rambu bahwa Salafi berbeda dengan gerakan ekstremisme-terorisme. Kelompok yang melakukan teror itu punya kesamaan dengan Salafi, meskipun berbeda, terutama dalam hal doktrin tidak boleh memberontak kepada pemerintah. Termasuk berbeda dalam hal pemahaman tauhid mulkiyah, terutama dalam pemahaman Al-Maidah ayat 44.
“Ada deradikalisasi di Salafi,” kata Din Wahid. Ia menemukan bahwa orang-orang yang dulu aktif di NII, ketika masuk ke Salafi, maka ideologi NII-nya atau takfiri-nya atau anti-pemerintah-nya menjadi terkikis. Dari sisi keamanan, Salafi aman dan tidak melakukan aksi terorisme, sebab mereka taat sepenuhnya pada pemerintah. Terdapat pengecualian dalam kasus Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib. Namun dalam segi harmonisasi bermasyarakat, Salafi sering memunculkan pertentangan karena dakwah puritannya yang keras. (ribas)