Mosi Integral Natsir, Agitasi Pembentukan NKRI Politisi Muslim
Oleh: Faiz Amanatullah
Masa perkuliahan bagi penulis adalah suatu momen dimana kita mendapatkan hal yang tak dapat dibeli oleh materi apapun. Masifnya pembelajaran dari kampus maupun eksternal kampus dapat membentuk keterbukaan dari pikiran seseorang. Hal yang paling mahal bagi penulis pribadi adalah perihal pemahaman sejarah.
Materi sejarah yang disajikan oleh pemerintah melalui berbagai buku pelajaran ternyata tidak mengungkapkan maknanya secara substansial. Artinya bisa jadi sejarah yang hadir sekarang adalah rekayasa dari kelompok yang menang. Muaranya menjadikan sejarah sebagai alat untuk memobilisasi pemahaman massa agar berpihak pada kelompok tertentu.
Dibalik semua peristiwa sejarah, pasti memiliki peristiwa penting lainnya. Salah satunya adalah mosi integral M. Natsir. Jika tidak berlebihan mosi internal tersebut dapat disematkan sebagai pondasi dari berdirinya NKRI, bahkan proklamasi sesi II. Sebab, pasca proklamasi 1945 negara Indonesia masih terpecah pada beberapa daerah bagian, kala itu Indonesia masih dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS VS Mosi Integral
Mosi Integral Natsir diprakarsai oleh pemimpin Partai Masyumi, Mohammad Natsir. Mosi ini muncul ketika Natsir dibuatnya tidak puas atas hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 yang tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Pasalnya, dalam KMB tersebut dibentuk pemerintah Indoenesia yang dibagi dalam beberapa bagian sehingga dinamakan sebagai RIS. Kala itu Indonesia dibagi menjadi sekitar 16 bagian negara. Natsir berpandangan bahwa kebijakan ini sebagai upaya kolonial untuk menjajah kembali Indonesia.
Selain itu, hadir juga praktik kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 atau yang dikenal dengan peristiwa Madiun. Fenomena ini juga turut memancing keprihatinan Natsir bahwa ketidakadilan telah menyelimuti negeri ini.
Berangkat dari situ, Natsir kemudian menyampaikan pemikirannya kepada para tokoh-tokoh Indonesia kala itu, seperti Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta. Saat itu Natsir mengusulkan agar negara bagian RIS berubah menjadi negara kesatuan Indonesia. Gagasan ini diutarakan oleh M. Natsir di depan parlemen pada tahun 1950. Hingga akhirnya perisitwa itu dikenal dengan istilah “Mosi Integral Natsir”.
Kabar baiknya, mosi tersebut disambut hangat oleh para pemimpin Indonesia saat itu. Bahkan PKI dengan legowonya menerima bila negara bagian RIS berubah menjadi negara kesatuan.
Masifnya Komunikasi Politik Natsir
Pasca M. Natsir menyampaikan mosi tersebut, perlawanan ataupun gugatan atas mosi tersebut tidak ditemukan. Hal ini merupakan buah dari kepiwaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik. Sebelum menyampaikan mosi di depan parlemen, Natsir terlebih dahulu terlah bergerilya melakukan komunikasi dengan seluruh pihak seperti tokoh-tokoh nasional, hingga perwakilan negara bagian.
Kepiwaian Natsir dalam melakukan lobi politik juga kembali terbukti saat dirinya diberikan amanah sebagai Menteri Penerangan (Menpen) selama tiga periode di era kepemimpinan Presiden Soekarno.
Bahkan bagi Mohammad Hatta, Mosi Integral Natsir ini ibarat proklamai kedua bagi Indonesia setelah proklamasi pertama yang dilakukan pada 17 Agustus 1945.
Jalan Dakwah Politik Yang Terjal
Namun, jasa-jasa Natsir sebagai pencetus berdirnya NKRI nyatanya tidak begitu saja dihargai oleh bangsa ini. Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, Natsir pernah dijebloskan ke dalam jeruji besi karena melakukan kritik terhadap pemerintah.
Kala itu Natsir dengan beberapa tokoh lain dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Sutan Sjahrir hingga Mukhtar Lubis mengkritik pemerintah karena dinilai telah menjalin persekutuan dengan PKI. Selain itu karakter kepemimpinan yang dibangun Soekarrno dinilai otoriter dan berbahaya bagi kebebasan berdemokrasi.
Ketika pemerintahan sudah berganti dari Rezim Orde Lama menuju Rezim Orde Baru, Natsir memiliki kontribusi yang besar terhadap negeri ini. Sebut saja ketika muncul ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia di era Orde Baru, Natsir menjadi aktor dibalik perdamaian dua negara ini. Karena kala itu Natsir terbukti berhasil meyakinkan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdu Razak agar membangun hubungan baik dengan Indonesia.
Bagaimanapun, segala kritik dan gagasan yang dilontarkan Natsir kepada Indonesia merupakan sebuah bentuk kasih sayang tak ketika siang menjadi buah pikiran dan malam menjadi renungan.
Integritas Politisi Muslim
Kemampuan dirinya untuk melobi berbagai kalangan agar sepakat dengan gagasan beliau sungguh tidak diragukan lagi. Sebagai pemikir, M. Natsir memperlihatkan kejernihan dan ketajaman berpikir yang mempesona. Dengan Bahasa yang teratur dan tersusun baik, diksi yang tertib, susunan pikiran yang rapih. Siapapun akan mengakui juga bahwa ia adalah seorang cendikiawan sekaligus politisi muslim cemerlang, betapapun mungkin perbedaan pandangan tidak dapat dibendung olehnya.
Sebagai politisi dan pejuang politik, eksistensinya menunjukkan betapa tidak mudahnya ia terbebas dari dilemma antara keharusan politik dengan tuntutan moral. Seketika ia memilih keharusan moral maka peluang kekalahan dalam pertarungan politik pun menghadang.
Pertanyaan kini adalah “Apakah perwujudan moralitas dalam pilihan politik sesuatu yang sebaiknya diluipakan saja, atau malah sebaliknya?”. Bagaimanapun “pahlawan” secara teoriis adalah ia yang telah memberikan teladan perilaku yang sejalan dengan idealisme kultural yang dianut bangsa. Pahlawan juga ia adalah insan yang telah memberikan kepuasan kultur bagi bangsanya.
Meski jasanya begitu besar terhadap Indonesia, nyatanya ketika Natsir wafat pada 6 Februari 1993 ia tidak diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Gelar tersebut baru disematkan kepadanya setelah 15 tahun berlalu teparnya atau lebih tepatnyua tanggal 7 November 2008.
Faiz Amanatullah, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta