Dorongan Berinfak di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 254

Infak Sedekah

Foto Ilustrasi

Dorongan Berinfak di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 254

           يٰٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْآ أَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌۗ وَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٢٥٤

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim 254.

Berinfak artinya ‘membelanjakan’ atau ‘menggunakan harta’. Di dalam Islam, kata infak identik dengan membelanjakan harta yang dimiliki oleh seseorang di jalan kebaikan. Kosa kata Arab yang disepadankan dengan “membelanjakan harta di jalan Allah” adalah shadaqah yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi sedekah. Meskipun kata shadaqah memiliki konotasi makna yang lebih luas, karena meliputi seluruh sikap atau bentuk kebajikan, namun dalam kosakata Bahasa Indonesia kata sedekah lebih banyak dimaknai dengan berderma. Namun intinya sama, yaitu mendermakan harta benda yang dimiliki oleh seorang muslim untuk menegakkan Islam dan mewujudkan kebaikan manusia dalam pengertian yang luas

Meskipun makna dasarnya hanya berarti membelanjakan, para ulama membagi kata infak menjadi dua, yaitu infak wajib dan infak sunah (Para ulama berbeda pendapat tentang infak yang diperintahkan dalam ayat ini, apakah ia infak wajib yaitu zakat ataukah ia infak secara umum mencakup yang wajib dan yang sunah. Hasan al-Bashri berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah khusus untuk zakat saja (infak wajib), bukan infak sunah.

Namun jumhur ulama berpendapat infak dalam ayat ini adalah umum mencakup infak yang wajib, yaitu zakat, dan juga infak yang sunah, seperti sedekah dan lain-lain). Pembagian tersebut didasarkan pada kondisi aktual dan kebutuhan masyarakat. Dalam situasi krisis, seperti krisis ekonomi ataupun krisis pangan yang terjadi di suatu daerah, maka berinfak menjadi wajib.

Demikian juga ketika banyak kalangan di sekitar kita yang tidak dapat mengenyam pendidikan yang memadai karena ketiadaan atau kekurangan dana pendidikan, maka berinfak bagi orang yang memiliki kecukupan harta menjadi wajib guna mengentaskan kemiskinan dan menumpas kebodohan. Meminjam ekpresi bahasa yang digunakan oleh al-Maraghi dalam tafsirnya, infak wajib berfungsi untuk mendorong terbentuknya ‘kemaslahatan umum’ (Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1946), jilid 3, hlm. 9) atau untuk mempersempit kesenjangan sosial yang dapat mengancam stabilitas sosial-politik sebuah masyarakat. Dalam situasi yang normal, ketika tidak sedang terjadi krisis, maka infak menjadi sunah, untuk membantu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

Pemaknaan lain dari ‘infak wajib’ yang paling banyak dipahami oleh para ulama adalah zakat, yang ketentuan dasar dari takaran atau besarannya sudah ditentukan. Zakat hanya berlaku untuk kalangan muslim yang hartanya sudah mencapai nishab atau batas minimum jumlah harta yang wajib dizakati.

Dalam sejarah sosial Islam, menunaikan zakat atau infak wajib berarti menunjukkan dua bentuk komitmen, yaitu komitmen ketuhanan atau spiritual dan komitmen kemanusiaan atau sosial. Pada masa lalu, dana zakat merupakan bagian dari pendapatan negara Islam atau sistem fiskal, dan pembayaran zakat wajib bagi warga negara yang beragama Islam. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa membayar zakat berarti menunjukan kepatuhan pada pengelola negara atau pemerintah. Bagi seorang muslim, membayar zakat bersifat wajib karena diperintahkan oleh al-Quran, dan karena itu membayar zakat merupakan bentuk kepatuhan kepada perintah Allah swt.

Mengapa berinfak diwajibkan atau disunahkan? Apa makna spiritual dan sosial yang terkandung dari perintah berinfak ini? Di dalam ayat tersebut di atas jelas bahwa karena karunia Allah swt lah seseorang mendapatkan nikmat yang luas berupa rezeki yang banyak. Harta benda yang telah kita peroleh dengan jalan yang halal, tidaklah lain kecuali sebuah nikmat yang diberikan Allah swt.

Firman Allah yang berbunyi mimma razaqnākum (مِمَّا رَزَقْنَاكُم) yang artinya “sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu”, mengindikasikan peran Sang Pencipta dalam memberikan nikmat kepada ciptaan-Nya. Karena itu, adalah sebuah konsekuensi bahwa bentuk rasa syukur manusia diekspresikan dengan cara menginfakkan sebagian harta yang dimiliki guna mewujudkan kemaslahatan umum.

Banyaknya harta yang dimiliki oleh seseorang tidak serta merta berarti bahwa kesempatan untuk berinfak menjadi luas. Sikap ragu dan banyak pikir-pikir dalam berinfak seringkali menghinggapi jiwa seseorang, meski dia sedang mendapatkan kenikmatan yang besar, dan apalagi pada saat mendapatkan kesulitan. Oleh karena itu, dalam ayat yang lain Allah swt menguji kematangan jiwa kaum beriman dengan kemampuan berinfak, baik pada saat senang maupun pada saat menghadapi kesusahan. Bahkan, niat baik untuk berinfak seringkali tidak bisa ditunaikan karena ajal datang menjemput terlebih dahulu. Oleh karena itu, ayat al-Quran di atas, mengingatkan untuk menyegerakan dalam berinfak sebelum waktu untuk beramal tersebut hilang.

Perintah menyegerakan berinfak tersebut diindikasikan dengan adanya ayat yang berbunyi, “sebelum datangnya suatu hari” (مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ), yang dimaknai oleh para ulama tafsir dengan “hari kiamat” atau hari kematian, dimana “tiada lagi tebusan bagi orang yang bersalah dan tiada gunanya suatu persahabatan, di samping tiada lagi syafaat” (Bahwasanya seseorang tidak bisa mengambil manfaat dari hartanya setelah dia meninggal. Namun hal ini dibatasi [maksudnya hal ini tidak berlaku secara mutlak namun ia dibatasi] dengan hadis yang sahih dari Rasulullah saw,

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعوا له

“Jika manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga: shadaqah jariyah, atau ilmu yang dia amalkan atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR. Muslim)

Hal ini senada dengan firman Allah dalam Q.S. as-Syu’ara (26): 88-89,

يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

            Demikian juga firman Allah yang tercantum pada Q.S. as-Saba` (34): 37

وَمَآ أَمْوَالُكُمْ وَلَآ أَوْلاَدُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفٰى إِلاَّ مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفٰتِ اٰمِنُونَ

Sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).

Beberapa ayat di atas mengandung satu kesimpulan, bahwa pada prinsipnya dengan menginfakkan harta benda di jalan kebaikan akan menyelamatkan manusia di hari kiamat dari siksa Allah. Harta dapat berfungsi menjadi penolong manusia di dunia dan di akhirat ketika mereka menggunakannya dengan baik semasa hidup di dunia.

Pasalnya, bila sesorang sudah memasuki masa kematian, atau bila hari akhir tiba, semua yang kita cintai (harta benda, keluarga, anak, istri, dan suami) sudah tidak bermakna lagi. Dalam tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan, bahkan jika seseorang bersahabat dengan orang alim dan saleh dalam hal agama, tidaklah sahabat itu akan mampu menolongnya di hari akhir Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid I, Cet. Ketiga, (Jakarta: Gema Insani, 2017). hlm. 507).

Firman Allah dalam Q.S. al-Mudatsir (74): 48,

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.

Ayat tetang kewajiban berinfak ini ditutup dengan sebuah kalimat yang menjelaskan tentang sifat orang-orang kafir, yang tertutup hatinya. Sifat kikir merupakan wujud ketertutupan hati dan rendahnya jiwa sosial yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sifat kikir dan ketertutupan jiwa sosial dari orang-orang kaya adalah sebuah bentuk kedzaliman sebagaimana diungkapkan pada penghujung ayat 254 yang berbunyi wal kafiruna humuzh-zhālimun (وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ) yang artinya orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Para ulama menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri. Karena barangkali mereka merasa bahwa harta benda yang mereka peroleh adalah hasil keringatnya sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan yang sesungguhnya telah memberikan rezeki kepada mereka. Mereka sudah menempatkan harta mereka bukan pada tempat yang seharusnya, dan menggunakan bukan pada jalannya. Di dalam ayat ini, Allah menamakan mereka sebagai kaum kafir. Hal ini merupakan ancaman dan peringatan keras terhadap mereka. Pada Q.S. Fussilat (41): 6-7, Allah berfirman,

وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ لاَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.

Mengaitkan penolakan untuk menunaikan zakat dengan kekufuran sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kecintaan yang berlebihan terhadap harta benda bisa menutupi hati seseorang. Hal ini juga mengandung arti bahwa kecintaan manusia terhadap Allah yang telah memberi mereka rezeki dan nikmat terhalang dengan kecintaan mereka terhadap harta.

Dengan kata lain, manusia memiliki kecenderungan untuk tidak memenuhi hak-hak Allah hanya karena kendali hawa nafsu yang menutupi kesucian jiwa mereka. Padahal jelas, kalimat yang digunakan al-Quran, yaitu mimma razaqnakum (مِمَّا رَزَقْنَاكُم) yang artinya “sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu”, menunjukkan adanya campur tangan Allah swt sebagai Sang Pemberi Rezeki.

Tafsir  Tahliliy  ini  disusun  oleh  Majelis  Tarjih  dan  Tajdid  Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr. Hilman Latief, M.A

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7-8 Tahun 2019

Exit mobile version