Bukan Sekadar Anekdot, Mengambil Hikmah dari Pak AR Fachruddin

Bukan Sekadar Anekdot, Mengambil Hikmah dari Pak AR Fachruddin

Oleh : Dwi Arianto, S.Pd

Tertawa merupakan salah satu kenikmatan yang Allah swt berikan kepada kita, apalagi sampai terbahak-bahak. Tertawa juga menandakan bahwa orang tersebut sedang mengalami sesuatu yang menggembirakan dan sesuatu yang membuatnya lucu. Sekarang ini banyak seksali tayangan atau komik yang dapat kita saksisan untuk  mendapatkan sesuatu yang lucu. Misalnya saja ada tayangan OVJ, Stand Up Comedy, dan OK Jek, yang dapat menghibur dalam kelucuan. Kita bisa tertawa sebebas mungkin ketika kita menyaksikan tayangan itu.

Tetapi berbeda halnya dengan keluan-kelucuan yang dilakukan oleh orang-orang yang  yang miliki jiwa karismatik (bukan bearti kelucuan-kecuan yang lain tidak bermanfaat). Contohnya kelucuan Pak AR. Fachruddin yang dirangkum dalam buku yang berjudul “ANEKDOT dan Kenangan Lepas Pak AR” yang ditulis oleh Drs. H.M. Syukriyanto AR, M.Hum yang semua orang muhammadiyah pasti sudah kenal denagan ulama Muhammadiyah yang sederhana dan karismatik ini.

Dari judulnya kita semua sudah tahu bahwa di dalamnya adalah kumpulan anekdot dan kenangan pak AR, tapi selain itu ada makna tersirat yang mungkin jarang kita fahami ketika membacanya. Padahal, selain kelucuan yang ada penulis buku pun ingin menyampaikan makna tersirat tersebut. Misalnya dalam kata pengantar penulis menyebutkan bahwa buku anekdot dan kenagan lepas ini diterbitkan selain memberikan kenangan juga terdapat kebajikan yang perlu dicontoh oleh generasi sekarang. Inilah alasan mengapa saya tergugah untuk menulis tulisan ini dan tulisan ini dibuat setelah acara bedah buku yang diadakan oleh mahasiswa PUTM, dan buku ANEKDOT ini menjadi pembuka dalam kegiatan ini.

Ditulisan ini penulis akan mencoba mengupas apa saja makna tersirat yang ada di dalam buku anekdot dan kenangan lepas pak AR. Setidaknya penulis akan membahas tiga anekdot pak AR, kemudian penulis akan membuka makna yang ada di dalamnya. Diantara judul yang akan penulis kupas adalah Sepak Bola  Kalah 9-0, Fatwa tentang Bulus dan Ujian SIM, yang semuanya ini akan penulis kupas makna tersiratnya untuk pembelajaran generasi sekarang ini.

  1. Sepak Bola Kalah 9-0

Potongan cerita:

Di dalam buku ini diceritakan, bahwa peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1927, ketika pak AR masih duduk di bangku sekolah dasar (SD Muhammadiyah Prengan Kotagede Yogyakarta). Pada suatu ketika ada pertandingan sepak bola antar kelas yang di sini melibatkan pak AR untuk ikut serta. Di dalam pertandingan ini pak AR ditugaskan sebagi penjaga gawang, di sisi lain pertandingan berjalan ramai dan serangan lawan yang bertubi-tubi. Setiap bola mengarah ke gawang pak AR selalu dibiarkan masuk. Samapai akhir pertandingan tim pak AR kalah dengan sekor 9-0. Tentu dengan hasil ini pihak lawan merasa gembira sedang teman pak AR merasa kecewa. Setelah itu, pak AR ditanya oleh rekan-rekanya “Mengapa setiap bola mengarah kegawang selalu dibiarkan masuk?”, kemudian pak AR menjawab “Ya sekali-kali kita harus membuat gembira lawan. Bukanya kemarin pak guru telah bilang bahwa membuat senang orang lain itu baik”. Tentu saja rekan-rekan pak AR bertriak huuu…...

Kalau kita melihat dan mendengar cerita ini secara kontekstual, pasti kita akan merasa lucu bahkan akan tertawa terbahak-bahak. Namun, di sisi lain ada makna yang tersembunyai yang harus kita galih, diantaranya adalah membuat gembira orang lain adalah perbuatan yang baik. Jika kita kontekstualisasikan dalam perbuatan sehari-hari, perbuatan ini menjadi penting kita lakukan, tentu di luar pertandingan sepak bola, khusus pak AR saja yang melakukanya, jangan samapi timnas Indonesia mengikuti jejak pak AR main bola. Tetapi kita coba memaknai ini dalam kehidupan bermuammalah atau bersosial.

Contohnya, kita harus berbuat baik kepada tetangga, kerabat dan sesama. Islam sangat mengajarkan perbuatan ini. Karena Islam memandang bahwa memuliakan tetangga, kerabat, dan sahabat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Karena dengan adanya tetangga kita dapat meminta tolong tidak perlu jauh-jauh, dengan adanya tetangga, kita dapat bertukar pendapat, ngobrol, tolong-menolong, dan bahkan tetanggalah yang Insyaallah akan menjenguk kita jika kita sakit, bahkan tetanggalah yang akan pertama kali mengurusi jenaza kita jika kita meninggal, kemudian barulah kerabat kita terdekat, teman kita terdekat yang akan mengurusi kita. Hal ini dikarenakan tetanggalah yang paling dekat dengan kita. Bahkan ketika kita masak dan masakan itu samapi tercium oleh tetangga kita, maka kita berhak memberikan sedikit makan itu untuk tetangga kita. Banyak ayak-ayat dan hadis-hadis Rasulullah yang menjelaskan tentang hal ini, diantaranya:

حدثنا أبو الوليد، حدثنا ليث، حدثنا سعيد المقبري، عن أبي شريح الخزاعي، قال: سمع أذناي ووعاه قلبي: النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «الضيافة ثلاثة أيام، جائزته» قيل: ما جائزته؟ قال: «يوم وليلة، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت»

“Barangsiapa beriman pada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, & barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berbicara baik atau diam.” (HR. Bukhari, NO. 6476 dalam kitab Shahih Bukhari dalam BAB Hifdzu al-Lisan)

حدثنا محمد بن منهال، حدثنا يزيد بن زريع، حدثنا عمر بن محمد، عن أبيه، عن ابن عمر رضي الله عنهما، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما زال جبريل يوصيني بالجار، حتى ظننت أنه سيورثه»

“Telah menceritakan kepada kami (Qutaibah), telah menceritakan kepada kami (Al Laits bin Sa’d) dari (Yahya bin Sa’id) dari (Abu Bakr bin Muhammad bin Amru bin Hazm)  dari (Amrah)  dari (Aisyah)  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril terus berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira dia akan mewarisinya.”(HR. Bukhari, NO. 6015 dalam kitab Shahih Bukahari).

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. an-Nisa: 36).

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195).

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).

Masih banyak dalil-dalil lainya serti dalam QS. Al-A’raf: 56, QS. Al-Isra’: 7, dan  QS. Al-Baqarah: 261, yang menjelaskan perintah Allah swt dan Rasulnya untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia, tetangga, kerabat teman atau sahabat bahkan juga dianjurkan untuk berbuat baik kepadan orang yang beragama selain Islam. Karena Islam mencintai dan memelihara toleransi.

  1. Fatwa tentang Bulus

Potongan cerita:

Dalam bukunya diceritakan bahwa pak AR pernah menjelaskan dalam sebuah kursus mubaligh terkait fatwa. Bahwa seharusnya kiyai, ulama, atau mubaligh dalam berfatwa harus berpegang kuat-kuat pada al-Qur’an dan as-Sunnah, jangan hanya mengikuti kehendak jama’ah atau audiens saja. Dalam hal ini pak AR menceritakan tentang mubaligh yang berfatwa mengikuti kehendak audiens sebagai beriku.

Dalam suatu pengajian ada seorang jama’amah bertanya: “Kiyai, bagaiamana hukumnya bulus itu?”. Jawab kiyai “Bulus itu hukumnya haram”. Kemudian jama’ah itu bertanya lagi setengah protes: “Tapi daging bulus itu enak Kiyai, seandainya kiyai sudah mencoba bisa ketagihan”. Kemudian kiyai itu menjawab “itu tadi keterangan dari kitab merah, coba saya cari dalam kitab hijau”. Tidak lama kemudian kiyai tersebut keluar dan berkata: “Betul, dalam kitab hijauh dinyatakan bahwa “Al-Bulusu haramun illa lahmuha. Jadi bulus itu haram kecuali dagingnya”. Maka mantuk-mantuklah jama’ah itu. Tapi kemudian bertanya lagi: “Tapi bukan hanya kuahnya kiyai, dagingnya juga enak”. Kiyai kemudian menjawab: “Oooh begitu, coba saya liatnya dalam kitab biru”. Tak lama kemudian kiyai itu keluar dan mengatakan: “Betul, dalam kitab biru ada keterangan sebagai berikut “wa amma dududuha au quwahuha halalun” artinya, adapun duduhnya (kuahnya) halal. Tentu saja peserta kursus ger-geran

Siapa yang tidak tertawa dengan cerita dan peristiwa pak AR ini, cerita yang sangat lucu yang bisa membuat audiens tertawa terbahak-bahak. Namun di sisi lain ada makna tersirat yang harus di pahami. Lihatlah sebelum pak AR bercerita, apak AR sempat mengatakan bahwa seharusnya kiyai, ulama, atau mubaligh dalam berfatwa harus berpegang kuat-kuat pada al-Qur’an dan as-Sunnah, jangan hanya mengikuti kehendak jama’ah atau audiens saja. Ini menandakan kehati-hatikan, peringatan dan dan keprihatinan pak AR agar para ulama, mubaligh, dan ustadz, kalau menyampaikan Fatwa itu tidak asal berbicara yang penting audiens puas. Begitu juga sentilan bagi Mjlis Tarjih Muhammadiyah dalam berfatwa harus berhati-hati, tidak memihak salah satunya, berpegang kuat dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah yang paling inti adalah fatwa yang telah dikeluarkan telah final, serta mengikuti dan sesui manhaj tarjih yang telah disepakati. Bahwa berfatwa juga ada aturan dan tahapanya. Misalkan saja jika terjadi ta‘āruḍ, diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:

  1. Al-jam‘u wa at-taufīq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zahirnya ta‘ārud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyīr).
  2. At-tarjīḥ, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
  3. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
  4. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.

Atau kita dapat melihat dalam segi pendekatan ijtihad dalam majlis tarjih menggunakan pendekatan bayani, burhani dan irfani. (lihat manhaj tarjih Makassar, Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA, periode 2015-2020).

Mengapa muhammadiyah?. Karena kita tahu bahwa pak AR adalah kader, aktifis dan pernah menjabat sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Oleh karenaya, tidak heran lagi kalau Muhammadiyah berfatwa harus final dan mengikuti aturan dalam berijtihad. Ini menjadi sentilan juga bagi keder Muhammadiyah untuk lebih bersungguh-sungguh lagi dalam memahami ilmu agama, seperti ushul fiqh, fiqih, waris, zakat, ilmu hadis, ilmu al-Qur’an, tafsir, dan juga tidak kalah penting ilmu falak. Karena ilmu-ilmu tersebutlah kunci untuk berijtihad. Dengan demikian akan mampu mengeluarkan fatwa yang baik untuk umat.

  1. Ujian SIM

Potongan cerita :

Ketika pak AR menjadi salah satu anggota DPR DIY, pada tahun 1956 yang pada waktu itu setiap anggota DPR mendapat kreditan sepada motor yang bermerek IFA. Karena pak AR pada waktu itu belum memiliki SIM, maka pak AR segara mengikuti ujian SIM, yang ujianya dibagi menjadi dua. Ujian pertama adalah ujian teori dan ujian yang kedua adalah ujian praktek. Setelah ujian teori telah selesai kemudian lanjut dengan praktek. Pada ujian praktek pak AR disuruh untuk mengendarai motor dan dikawal oleh polisi di belakangya. Ujian praktek ini mengendarai motor melewati jalanan halus kemudian jalanan yang masuk ke gang. Setelah masuk gang, dengan keadaan jalan yang sempit, berlubang, banyak batu dan licin pak AR turun dari motornya dan kemudian menuntun motornya itu. Melihat peristiwa ini kemudian polisi bertanya kepada pak AR: “Pak kenapa turun? dan kenapa motornya dituntun”. Jawab pak AR: “Lah sayakan ujian SIM ini untuk selamat, jika saya mendapati jalan seperti, licin, berlubang dan sempit, maka saya tuntun dari pada jatuh”. Lantas polisi itu tertawa, tetapi lulus juga ujian SIM.

Selain lucu dan membuat ngakak para pembaca, tapi di sisi lain kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita ini. Secara kontekstual mungkin kita hanya bisa tertawa, tapi jika kita galih dan buka makna tersiratnya maka akan ada pelajaran yang berharga. Apa sih hikmah dibalik cerita ini, dapat dicontohkan sebagi berikut:

Kita dapat mengambil hikmah bahwa sesorang yang telah mampu berkendara wajib memiliki SIM sebagai kewajiban warga negara yang taat akan peraturan. Tentu ini adalah contoh yang baik dan wajib diikuti oleh generasi sekarang. Tidak adalagi yang melanggar hukum dengan berkendara secara ilegal karena tida ada SIM. Karena SIM menjadi syarat mutlak bagi pengendara dan sebagi bukti adanya surat yang memperbolehkan untuk berkendara. Oleh karena itu, tidak ada lagi orang yang marah jika ditilang oleh polisi karena tidak mempunyai SIM.

Selanjutnya, dapat kita fahami bahwa kehati-hatian pak AR dalam berkendara. Beliau tidak mau mengambil resiko jika harus melewati jalan yang licin dan berlubang yang akan mengakibatkan belau jatuh, tapi beliau lebih memilih turun dan menuntun motornya serta mengutamakan keselamatanya. Ini yang seharusnya dicontoh oleh generasi sekarang. Bahwa mengutamakan keselamatan dalam berkendara itu lebih penting dari pada harus cepet-cepetan yang pada akahirnya akan membahayakan dirinya sendiri bahkan orang lain. Maka polisi lalu lintas di Indonesia mempunyai selogan:

  1. Jadilah pelopor keselamatan berlalu lintas dan budayakan keselamatan sebagai kebutuhan.
  2. Jangan karena ditinggal mantan malah kebut-kebutan.
  3. Bang pelan-pelan please,..adek tegang X ni bang.
  4. Utamakan keselamatan bukan kecepatan.

Masih banyak lagi selogan yang polisi buat untuk kepentingan keselamatan bagi pengendara. Tapi heranya, para pengendara tidak memahami apa yang telah dilakukan oleh polisi. Banyak diantara kita mungkin tidak menghiraukan, dan pada akhirnya banyak yang jatuh,kecelakaan, tabrakan dan yang lainya, bahkan korbanya samapi tanganya patah, kakihnya patah, kritis dan sampai meninggal dunia. Padahal kita semua tahu, bahwa tugas aparat lalu lintas adalah mengatur aturan-aturan yang berkaitan dengan lalu lintas, dengan harapan agar lebih tertib lagi dalam berkendara dan menjahui hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan tadi yang mengakibatkan hilangnya atau cacatnya seseorang. Oleh karenanya menaati rambu-rambu dan aturan polisi dalam berkendara menjadi wajib hukumnya selama itu baik untuk masyarakat.

Hal senada dilakukan oleh Muhammadiyah  fiqih lalu lintas. Di mana fiqih ini menjelaskan dan berbicara terkait peraturan lalu lintas. Kita semua mengetahui bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam dan dakwah amal ma’ruf nahi mungkar. Seperti dakwah Islam yang berkemajuan, dakwah yang menggemberikan, dan dakwah multikultural yang semuanya dimaksudkan sebagai upaya untuk menjelaskan dan memahami dan serta menggunakan seluruh potensi-potensi kultural masyarakat Islam sebagai wahana untuk menanamkan Islam yang membumi, yakni Islam yang bisa merubah potensi menjadi gerak kemajuan sosial. Secara tidak lansung hal ini juga yang dilakukan oleh pak AR, kita dapat melihat peristiwa-peristiwa yang dituliskan di buku ANEKDOT dengan kehidupan yang sederhana, tidak sombong, membantu semuanya yang beliau mampu, tidak sombong, berhati-hati dalam berkendara, bahkan selalu membuat orang senang dalam upaya untuk berdakwah. Dengan penjelasan ini penulis akan mencantumkan beberapa dalil terkait kewajiban berdakwah:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran [3]: 104).

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 87).

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]:125).

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ، وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ – وَاللَّفْظُ لِشَيْبَانَ – حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ صُهَيْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»

“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, semua urusannya itu baik bainya, dan itu tidak lain hanya bagi seorang mukmin. Apabila mendapat kesenangan dia bersyukur, dan itu baik baginya, dan apabila mendapat kesulitan dia bersabar dan itu baik baginya” (HR. Muslim, no, 2999).

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْمِقْدَامِ وَهُوَ ابْنُ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ»

“Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya” (HR. Muslim, no, 2595).

Sebagai generasi yang hidup pada masa millenials, tentu kita harus mempunyai semangat juang yang lebih dalam mencari dan memahami ilmu. Karena generasi yang tertinggal akan menyulitkan dirinya sendiri. Contohnya dapat kita lihat yaitu pak AR Fachruddin, seorang ulama yang karismatik, sederhana, mementingkan umat dalam perjalanan hidupnya dan tentunya cerdas. Seharusnya ini menjadi teladan bagi kita selaku generasi setelahnya. Kita dapat mengambil contoh dari peristiwa pertandingan sepak bola pak AR Facruddin, di luar konteks apa yang dilakukan pak AR adalah contoh bagaimana baiknya pak AR dan keteladananya. Berbuat baik sudah jelas kewajiban semua orang.

Kemudian kita dapat melihat peristiwa fatwa tentang bulus. Pak AR di sini mengajarkan kepada kita, para mubaligh, para ulama, dan para kiyai agar tidak berfatwa yang hanya memihak salah satu kelompok atau hanya mementingkan seseorang saja, tapi harus berfatwa yang benar-benar kepentinganya untuk umat. Terakhir kita dapat menyimak peristiwa pak AR tentang ujian SIM. Di sisi lain pak AR jelas mengajarkan kita untuk senantiasa berhati-hati dalam berkendara, ikuti aturan polisi, dan buatlah SIM jika ingin berkendara. Sikap tertib lalu lintas jauh-jauh telah pak AR ajaran kepada kita semua.

Terakhir sekali, sebagai generasi muda Khususnya generasi dan aktifis Muhammadiyah, harus memahami apa yang dilakukan oleh pak AR adalah bagian dari dakwah. Bahkan sudah mencakup dakwah yang berkemajuan, dakwah yang menggembirakan bahkan dakwah kultural. Dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan dakwah Islam adalah kewajiban setiap orang, maka sebagi orang yang taat akan ajaran Allah, tetap senantiasa berdakwah, menyebarkan kebaikan dan mencegah dari semua bentuk kemungkaran, dan itulah yang diajarkan oleh nabi Muhammad saw kepada kita.

Pesan yang tidak terlupakan bahwa masih banyak sekali kisah pak AR yang perlu kita galih dan kita ambil pelajaranya. Sekitar 41 satu kisah dan kenangan lepas yang perlu diteliti oleh penulis selanjutnya. Semoga lebih baik, dan bermanfaat.

Dwi Arianto, S.Pd, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version