Berguru Kepada Ragil Suwarno Pragolapati

Ragil Suwarno Pragolapati

Suatu pagi Mas Warno atau Ragil Suwarno Pragolapati mendadak datang ke rumah saya di Kotagede. Ruang tamu rumah saya ada di depan persis kamar saya, di bagian timur rumah. Kamar saya sederhana, sebuah ruang yang dibentuk oleh dua rak buku dari  rotan dan punggung almari kayu. Kepang bambu menjadi alas tikar plastik dan bantal serta sarung yang berfungsi sebagai selimut kalau malam. Lalu ada tempat untuk mencantolkan pakaian dan tempat untuk meletakkan alat makan minum sederhana, dan tas ransel sederhana berisi peralatan hiking: topi dengan tali di dagu, termos militer warisan ayah, obat PPPK sederhana.

Mas Warno mengetuk pintu, dibukakan oleh ayah.

“Mas Mustofa ada?”

“Ada. Silakan masuk.”

Ayah memanggil saya yang waktu itu masih tidur karena malamnya habis ngobrol atau rapat tidak resmi di kampung Prenggan, di rumah Darmaji Bendahara Lapenta Mataram, Grup pecinta alam yang didirikan 6 anak muda Kotagede tahun 1973.

Tahu Ayah membangunkan aku di belakang ruang tamu, Mas Warno nyelonong.

“Lho? Baru bangun?”

“Ya, Mas, saya bertapa disini,” jawabku.

“Bertapa? Makanya lama tak muncul di Yogya ”

Saya ke ruang tamu. Ngobrol. Saya ceritakan soal metode bertapa saya. Yaitu dengan membaca buku sebanyak mungkin sastra Jawa lama. Saya bilang saya membaca Wulangreh, Wedatama,  pakem pedalangan, juga kisah wayang lengkap dari Mahabarata awal sampai episode pasca Baratayudha.

Saya juga membaca Bagawad Gita dan buku sejarah. Semua koleksi buku seni budaya dan sastra di perpustakaan Muhamadiyah Kotagede saya baca hampir semua. Tetangga yang guru punya koleksi buku pengembaraan Karl May saya pinjam.

“Untuk apa semua itu kau baca?’ tanya Mas Warno menyelidik.

“Untuk mencari bahan dan kemungkinan meningkatkan kualitas karya sastra saya. Terutama. Saya kan frustrasi karena Umbu Landu Paranggi pergi dari Yogya, padahal saya sudah ikut awal kompetisi untuk menjebol gawang Sabana. Kalau puisi saya sudah dimuat di Sabana berarti kualitas kepenyairan saya teruji,” kataku bersemangat.

Mas Warno tertawa. “Eksistensi itu penting. Tetapi yang lebih penting prestasi. Lantas kalau Umbu pergi kau mau menguji dirimu lewat prestasi? Mau kamu kirim kemana karyamu?”

“Mau saya kirim ke Harian Masa Kini. Disana kan Emha mengasuh ruang Insani. Kalau karya bermutu di masukkan ke ruang Kulminasi yang setara dengan Sabana.”

“Jadi kau bertapa ini untuk menjebol gawang Kulminasi?”

“Ya. Mas.”

“Bagus. Kalau memerlukan buku silakan ke Margoyasan. Silakan pinjam buku yang mau perlukan.”

“Baik Mas.”.

“Sebentar. Terus kalau kau bertapa tidak menulis, dari mana kau dapat uang?’

“Saya mengajar ngaji privat pada tiga keluarga kaya di Kotagede. Saya kan lulusan sekolah guru agama. Jadi mengajar agama privat tidak begitu berat bagi saya.”

“Honornya lumayan?”

“Lumayan. Bisa untuk membeli kertas,  karbon, amplop, perangko dan bekal kalau saya hiking ke gunung-gunung mencari bahan puisi atau cerpen.”

“Wah bagus itu. Yang penting, tulislah apa saja yang benar-benar kau ketahui. Membaca buku penting, mengembara ke desa dan gunung untuk mengetahui kenyataan masyarakat juga penting,” katanya sebelum pamit pulang. Mas Warno memberikan dua lembar kertas. Satu berupa majalah sejalan, dan yang satu ke lembar lagi undangan pertemuan di kantor majalah Semangat.

“Datanglah. Setelah pertemuan bisa mampir ke rumah saya untuk pertama pinjam buku.”

” Baik’ Mas.”

Dia saya antar sampai ke tempat menitipkan sepeda di halaman rumah tetangga.

Betul. Sehabis pertemuan itu saya mampir rumah mas Warno meminjam buku. Ternyata yang dia pinjamkan berupa buku-buku spiritual yang berat dan buku psikologi yang sedang-sedang saja bobotnya.

Dari bertapa ini saya bisa menulis puisi yang mutunya meningkat, bahkan meloncat. Membaca puisi saya yang demikian, Emha Ainun Najib meloloskan untuk dimuat di lembar Kulminasi. Saya bersorak dalam hati karena saya sudah setara dengan penyair Sabana.

Ini tentu menambah kepercayaan diri saya. Saya mulai aktif kembali ke kota, mengirim puisi dan cerpen ke media. Juga menulis untuk majalah Kawanku. Menulis puisi, cerita anak,  kisah jenaka, cerpen dan untuk tambahan penghasilan saya menulis naskah sandiwara radio. Saya kemudian menyiapkan serial lengkap naskah sandiwara radio yang kemudian hari justru saya olah menjadi novel pertama yang dimuat secara bersambung di harian Masa Kini, berjudul Sepanjang Garis Mimpi.

Mas Warno kemudian pindah dari Margoyasan di belakang pasar Sentul itu, pindah ke Suryoputran, kemudian pindah ke Minggiran. Banyak acara yang mendebarkan saya ikuti karena ajakan Mas Warno. Misalnya reuni Persada Studi Klub yang diadakan di belakang kantor majalah Semangat, di ruang pertemuan belakang gereja Bintaran. Yang hadir waktu itu antara lain Korrie Layun Rampan, dia pembicara. Reuni Persada Studi Klub di rumah mas Warno sendiri di Minggiran, yang dihadiri Emha Ainun Najib, Kang Habib Chirzin, dan lainnya. Ini juga asyik.

Juga pertemuan fu warung gudeg Tugu dengan redaktur majalah Kawanku, pak Trim Sutejo yang priayi Karangmaja yang kemudian mengundang para penulis majalah Kawanku di rumah Toha Mohtar di Cawang Jakarta. Saya ikut pertemuan itu dan mendapatkan banyak ilmu menulis dari mas Warno dan para sahabatnya.

Saya juga ketularan hobi Mas Warno untuk menggunakan sebagian uang untuk membeli buku walau untuk ini harus rela makan sederhana. Buku saya bertambah banyak dan Ayah membiarkan.

Ketika suatu hari di rumah Minggiran saya ditanya Mas Warno tentang cita cita konkret saya, saya menjawab ingin menjadi wartawan dan sastrawan. Mas Warno mendukung. Bahkan memberi saran, bahan tulisan yang sangat banyak biasanya tidak semua bisa ditulis menjadi berita.

“Data dan informasi yang tidak mungkin ditulis berita jangan kamu buang dan perlu kamu tabung sebanyak mungkin. Suatu hari dapat kamu olah menjadi cerpen, esai atau bahkan novel,” nasehatnya.

Nasehat mas Warno ini saya ikuti, di kemudian hari saya bisa menulis 16 novel bahasa Indonesia dan 2 novel bahasa Jawa, sekian buku kumpulan cerpen, kumpulan puisi dari kumpulan esai karena saya rajin menabung data dan informasi.

Ada pertemuan yang betul-betul mendebarkan yang saya ikuti, bernama Kemah Sastrawan di Parangkusumo. Mas Warno penyelenggara. Peserta harus mandiri dalam hal biaya dan fasilitas lainnnya. Kegiatan, workshop, dialog dan baca puisi. Sebagai  fasilitator,  Mas Warno bertindak terlalu keras dan terlibat perdebatan seru dengan seorang peserta yang protes karena adanya tekanan dari panitia untuk berdisiplin. Peserta itu stress dan dia memukul mas Warno. Terpaksa dia diamankan. Lalu dia memukuli sapi. Atas saran sesepuh Parangkusumo dia dimandikan di laut. Saya yang barangkali dianggap punya sesuatu yang spiritual diminta untuk ikut menangani dia. Saya bacakan ayat suci yang sekarang termasuk ayat ruqyah, tetapi saya mendapat isyarat bahwa dia harus ditangani lebih serius lagi. Anak dari Jawa Timur ini akhirnya dikirim ke rumah sakit yang punya fasilitas perawatan untuk gangguan kejiwaan. Teman yang kebetulan wartawan Antara dan Redaksi majalah Basis yang kemudian mengurusi dia.

Kemah Sastra tidak bubar. Kelihatan mas Warno yang dokumentator sastra agak mengendorkan suasana. Menjadi lebih santai. Kami bisa tertawa.

Kesungguhan mas Warno dalam mendokumentasikan apa saja yang berkaitan dengan sastra tidak ada yang menandingi. Separo rumah atau lebih dia pakai untuk dokumentasi, termasuk surat dari murid, karcis bis atau kereta api, juga absensi pertemuan.

Ketika di kemudian hari Mas Warno hilang di pesisir selatan di sekitar Goa Langse, keluarga dia kerepotan merawat barang dokumentasi ini sehingga kemudian dititipkan di rumah keluarga isterinya di Kulonprogo. Saya pernah ke tempat ini ketika akan menerbitkan kumpulan puisi karya mas Warno.

Dan suatu hari ketika teman teman sisa Lasykar Sastra Malioboro kumpul di Kadipiro tiba tiba semua ingat akan dokumentasi sastra Mas Warno. Hari itu juga rombongan pergi ke Kulonprogo menyelamatkan dokumentasi itu. Betul. Ketika kami datang kami harus berlomba dengan rayap yang akan menghabisi dokumentasi itu. Rumah tua itu menjadi kerajaan rayap dan kami harus bertempur melawan pasukan rayap. Untung hari itu kami datang. Terlambat sehari dua hari, warisan dari mas Warno yang amat berharga habis dimakan rayap.

” Ternyata musuh sastrawan dan karya sastra bukan manusia atau apa, tetapi alam yang lupa disapa,” kata seseorang dari rombongan yang mampir makan sate dalam perjalanan pulang.

Dokumentasi sastra itu sekarang ada di Perpustakaan EAN di Kadipiro.

Dan saya merasa beruntung, di masa muda saya pernah bertemu dengan mas Warno atau  Ragil Suwarno Pragolapati yang kadang kalau emosinya meledak tidak ada yang ditakuti. Tetapi yang jelas dia termasuk satria dan konsekuen. Ketika Sastrawan dan budayawan Yogyakarta melakukan demonstrasi dengan melakukan pepe di Alun alun Utara, ketika didatangi petugas, dia tidak lari sementara banyak teman dia menyelamatkan diri. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version