Takjil
Gerakan pembaharuan kerap menjadi musuh bagi tradisi. Bagaimana dengan Muhammadiyah? Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan (2010) merincikan beberapa tradisi yang justru diinisiasi oleh Persyarikatan yang lahir di pusat kejawen Yogyakarta ini. Semisal tabligh atau pengajian di tempat umum, rumah ibadah di ruang publik, ceramah atau kultum jelang berbuka dan tarawih, pengorganisasian zakat dan haji, pengelolaan masjid, sahur di akhir dan segera berbuka di awal waktu (takjil), shalat ied di lapangan, penerjemahan kitab suci dan khutbah dengan menggunakan bahasa lokal.
Mulanya, tradisi tersebut menjadi olokan di tengah lingkungan pengamalan agama yang komunal, mistis, dan penuh klenik. Mengakhirkan sahur dan bersegera berbuka atau takjil ini dianggap sebagai alasan orang Muhammadiyah yang tidak tahan lapar. Namun perlahan, tawaran ini diikuti dan menjadi arus utama masyarakat. Munir Mulkhan dan Muchlas Abror menyebut bahwa perubahan ini sangat terasa bagi mereka yang pernah hidup di masa itu.
Artikel “Merayakan Budaya, Berpuasa Gembira” dalam Suara Muhammadiyah Nomor 10 tahun 2018 menjelaskan, tradisi berbagi takjil dan berbuka bersama di masjid pada mulanya dimaksudkan sebagai strategi dakwah. Guna menarik minat jamaah untuk datang ke masjid dan menghidupkan Ramadhan dengan ibadah dan kegiatan positif. Ada yang menyebut, tradisi ini bermula di Kuman Yogyakakarta sejak 1950-an dan terus dilestarikan. Di tahun 2017, Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta menyediakan 1200-1400 porsi makanan takjil setiap harinya. Pada Kamis sore, berupa gulai kambing.
Terdapat dua versi tentang muasal tradisi takjil gulai kambing ini. Pertama, takjil daging kambing ini bermula dari banyaknya masyarakat yang mengadakan aqiqah, dagingnya dibagikan untuk santapan berbuka puasa jamaah masjid. Pengurus masjid pun menetapkan hari Kamis sebagai waktu khusus bagi yang mengadakan aqiqah, dan kemudian berkembang menjadi tradisi baru. Kedua, tradisi takjil ini bermula sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan KH Ahmad Dahlan. Sultan sebagai raja, bersedekah kepada rakyatnya dan terutama kepada kaum duafa berupa gulai kambing di bulan Ramadhan.
Hal itu menjelaskan bahwa praktik takjil, mengambil inspirasi dari Hadis tentang aqiqah dan Hadis tentang keutamaan memberi makanan untuk yang berbuka puasa, serta QS. Al-Ma’un tentang menyantuni dhuafa. Tentang penggunaan nama takjil, dapat ditelusuri dari teks Hadis tentang perintah Nabi untuk menyegerakan berbuka, dari akar kata ‘ajila yang bermakna al-isra’, artinya bersegera dan bergegas. Kata ta’jīl fiṭri atau ta’jīl al-ifṭār artinya bersegera dalam berbuka. Diserap ke Bahasa Indonesia menjadi takjil, yang maknanya meluas. KBBI mengelompokkan kata takjil sebagai kata kerja dan kata benda, yang bermakna; (1) mempercepat (dalam berbuka puasa) dan (2) makanan untuk berbuka puasa.
Berbagi takjil untuk berbuka puasa kini telah menjadi tradisi Islam Indonesia. Muhammadiyah tidak anti tradisi dan budaya. Tajdid Muhammadiyah menempatkan jalan purifikasi di ranah ibadah mahdhah dan akidah, sementara dalam urusan selain itu disebut sebagai wilayah muamalah, yang membutuhkan kreativitas dan dinamisasi sesuai dengan kearifan lokal, mempertimbangkan konteks ruang dan waktu. Hukum asalnya adalah boleh, selama tidak membawa mudharat dan tidak ada dalil yang melarang. Dalam literatur ushul fiqh, tradisi atau al-urf menjadi salah satu landasan penetapan hukum. (ribas)
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019