Kisah dalam Al-Qur’an, Ramayana dan Kesehatan Spiritual (2)

ramayana

Wayang sebagai sarana dakwah Dok gimage

Kisah dalam Al-Qur’an, Ramayana dan Kesehatan Spiritual (2)

Oleh: Wildan, Nurcholid Umam Kurniawan dan Bambang Wisanggeni

Kisah wayang keluarga Resi Gotama

Menurut Mulyono (1979), wayang (bayangan, bayang-bayang = shadow, shadow puppet = wayang kulit), adalah suatu bentuk seni pentas tradisi yang berdimensi dan berfungsi ganda, yang masing-masing dimensi di dalam pedalangan disebut unsur pendukung daripada nilai pedalangan secara seutuhnya. Adapun unsur-unsur pedukung nilai pedalangan adalah : 1) Unsur nilai hiburan; 2) Unsur nilai seni; 3) Unsur nilai pendidikan dan penerangan; 4) Unsur nilai ilmu pengetahuan, dan 5) Unsur nilai kejiwaan, ruhani, mistik dan simbolik.

Dalam mengolah dan menggarap pewayangan, maka dimensi atau unsur-unsur tersebut di atas tidak berdiri sendiri tetapi berdiri setaraf, dan tidak boleh menonjol satu daripada lainnya, Bahkan harus diramu dan dirakit dengan sarana-sarana pakeliran lainnya sedemikian rupa sehingga merupakan satu ramuan  dan satu kesatuan ikatan secara bulat, berbentuk satu kesatuan. Dan kesatuan ramuan inilah yang dinamakan nilai pedalangan wayang kulit purwa.

Banyak jenis wayang, tetapi wayang kulit purwalah yang mendapat perhatian dan benar-benar mempunyai resonansi dalam masyarakat, karena wayang kulit berisi kebijaksanaan hidup yang seirama dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia, juga berisi tepa palupi (suri tauladan atau  contoh yang baik). Unsur-unsur pendidikan dan ajaran batin (estetika) dan ajaran lahir (etika) yang sesuai dengan peradaban, kesusilaaan, unsur-unsur patriotik dan kepahlawan seperti nyata terlihat dalam lakon-lakon Harjuna Sasrabahu, Ramayana, Baratayuda dan lakon-lakon lainnya.

Wayang adalah salah satu cara untuk mengenal diri karena wayang mampu menyajikan “tontonan hidup” kepada kita, untuk menghadapi, menemukan dan mengenal diri sendiri. Melalui wayang kita mencoba berrefleksi tentang manusia dan mencoba mengenal diri.

Menurut RM Pranoedjoe Poespaningrat (2005), dalam bukunya Nonton Wayang Dari Berbagai Pakeliran, kocap kacarita (alkisah), Resi Gotama dari pertapaan Grastina, di lereng gunung Sukendra, sangat sakti, segala yang dikatakannya dapat menjadi kenyataan. Namun demikian kehidupannya sering dipakai sebagai contoh buruk dalam lakon Ramayana. Ketekunan bertapa tanpa batas membuat isterinya, Dewi Indradi selalu kesepian dan berselingkuh. Betara Surya dengan tangan terbuka melayani dan menghadiahkan Cupu Manik Astagina (yang berkhasiat dapat menikmati keindahan alam semesta bila melihat ke dalamnya) kepadanya. Skandal berkelanjutan ini sampai membuahkan tiga anak, Dewi Anjani, Guwarsa, dan Guwarsi. Walaupun telah membuahkan aib, namun  Indradi tetap saja meneruskan perselingkuhannya, setiap kali sang suami masuk ke sanggar pamujan. Ketiga putra-putirinya tidak dididik dengan baik, karena sang bapak sibuk bersemedi, dan sang ibu asyik berselingkuh.

Namun perselingkuhannya akhirnya diketahui juga oleh anak perempuannya, Anjani, Indradi menyogok putrinya dengan Cupu dengan pesan agar tetap tutup mulut, dan jangan sekali-kali memperlihatkan pemberiannya itu kepada siapa pun. Namun dalam kenyataannya  Anjani selalu bermain dengan Cupu  secara terang-terangan, malahan sempat dipamerkan kepada adaik-adiknya. Mereka ingin juga ikut bermain dengan Cupu , tetapi Anjani selalu menolak untuk meminjamkannya. Karena selalu gagal merebutnya, mereka pergi melapor kepada ayahnya. Mereka mengadu kenapa hanya Anjani yang diberi hadiah Cupu. Gotama sangat terkejut karena sepanjang pengetahuannya, Cupu itu hanya dimiliki oleh Betara Surya.

Gotama memanggil Anjani dan menanyakan dari mana dia mendapatkan Cupu. Karena ketakutan Anjani membuka rahasia, mengatakan bahwa dia mendapatkan Cupu dari ibunya. Dia memanggil Indradi dan menanyakan asal-usul Cupu, namun isterinya diam seribu basa. Ia sangat marah dan mengatakan :”Ditakoni kok ora semaur. Kok kaya tugu manungsa iki,” dan menjadi tugu  Indradi.

Gotama kemudian melemparkan jauh-jauh tugu tersebut sampai jatuh di perbatasan Alengka. Dia semakin marah dan melemparkan Cupu ke udara, ketika Guwarsa dan Guwarsi merengek meminta untuk dapat memilikinya. Tutup cupu terlempar ke Ayodya menjadi sendang Nirmala  (Mala artinya dosa, penyakit atau kesalahan. Nir artinya tidak atau tanpa. Nirmala artinya bebas dari penyakit), dan cupu yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan menjadi sendang atau telaga Sumala (Su artinya lebih, Sumala artinya banyak penyakit, bergelimang dengan dosa).

Guwarsa dan  Guwarsi, beserta dua cantrik pertapaan Grastina, yang bernama Jembawan dan Menda, lari mengejar cupu yang melesat di udara itu. Mereka berempat bersama-sama terjun ke dalam sendang Sumala  dan kesemuanya beralih wujud menjadi kera. Guwarsa menjadi Subali dan Guwarsi menjadi Sugriwa. Karena perempuan, Anjani dan emban Suwareh, hanya duduk-duduk di tepi sendang, mencuci muka dan bermain air dengan  tangan dan kaki mereka. Akibatnya mereka mempunyai muka, tangan, dan kaki kera, tetapi tetap berbadan seperti manusia biasa. Bapak, anak, cantrik semuanya menyesali nasib buruk yang menimpa mereka.

“Kenapa kami mesti menjadi kera. Di manakah keadilan di jagad raya ini ?”. Gotama menanggapi pertanyaan anaknya : “Kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Dia paling dekat dengan bentuk seorang manusia. Untuk itulah, dia selalu berprihatin, supaya lekas di angkat menuju kesempurnaannya. Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidakadilan, tetapi anggaplah sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kamu, karena kerinduan itulah yang menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan sesuatu yang belum dimilikinya. Bahagialah kera yang berhati manusia dan celakalah manusia yang berhati kera ….  kini pergilah kamu bertapa agar supaya kamu cepat menjadi manusia yang sempurna”.

Subali dan Sugriwa bertapa di hutan Sonyapringga, di lereng gunung Argasonya. Subali bertapa ngalong, bergelantungan seperti kalong (kelelewar), kaki di atas kepala di bawah, dan hanya makan kalau ada daun yang masuk ke mulutnya. Setelah bertahun-tahun tapa ngalong, dia menjadi sakti, berilmu tinggi, dan tidak lagi memperdulikan soal keduniawian, karena kesuciannya dia mempunyai darah putih.

Sugriwa bertapa ngidang, merangkak seperti kijang dan dapat makan dedaunan yang ada di hutan, sedangkan Anjani bertapa  nyantoka, merendam diri di sendang Nirmala. Tapa nyantoka, telanjang bulat seperti katak, adalah yang paling berat. Dia tidak makan apa-apa kecuali daun-daun yang kebetulan masuk ke mulutnya, juga tidak minum apa-apa kecuali tetes embun yang jatuh dari langit langsung ke lidahnya. Betara Guru timbul birahinya ketika melihat seorang wanita tanpa busana kungkum di sendang. Kama korud  jatuh menimpa pada selembar daun asam muda (ada juga yang menyebutnya sebagai Ron Jati Malela, yang mengandung baja hitam, lambang senjata sakti dan tekad bulat untuk meluhurkan dunia dengan membasmi angkara murka. Daun yang berasal dari diri Batara Guru ini akan berpadu dengan air kehidupan dalam tubuh Anjani, yang kemudian akan membuahkan seorang anak yang sangat diharapkan dunia). Daun tersebut kemudian terhanyut dibawa arus, dan masuk ke mulut Anjani. Maka hamillah dia. Kel;ak bayi yang lahir akan berwujud seekor kera putih dan diberi nama Anoman.

Secara tekstual arti Cupu Manik Astagina, adalah : Cupu merupakan suatu wadah berbentuk bundar, kecil biasanya terbuat dari kayu atau logam. Manik adalah permata melambangkan sesuatu yang indah. Astagina adalah delapan sifat (1. Daya sarwa buthesu – belas kasih kepada semua mahluk; 2. Ksatim – sabar dan suka memaafkan; 3. Anasunyah – tidak kecewa atau menyesal; 4. Saucam – suci lahir batin; 5.Anayasah – tidak ngaya; 6. Manggalam – beriktikad baik 7. Akarpanyah – tidak berasa miskin dalam segala hal; dan 8. Asrebah – tidak berkeinginan nafsu duniawi), yang harus dimiliki oleh seorang brahmana, mengibaratkan sesuatu yang harus mengisi alam semesta yang disinari matahari – sumber energi. Cupu Manik Astagina melambangkan energi keutamaan yang mengisi kehidupan jagad semesta.

Selanjutnya Poespaningrat (2005) menulis, para tokoh yang terlibat dalam tragedi ini dapat diulas dengan memakai teori ilmu jiwanya Sigmund Freud. Teori tersebut mengatakan bahwa manusia hidup itu ditentukan oleh tiga unsur pokok, yang di sebut id – kehendak hati, ego – akal, dan superego – budi. Kehendak akal budi ini harus disatupadukan secara harmonis guna membentuk suatu pribadi menuju kepada kesempurnaan hidup. Sebagai seorang brahmana, Resi Gotama tentu memiliki cita-cita luhur untuk mencapai kesempurnaan hidup. Namun karena begitu tekun pelaksanaannya maka Gotama sampai melupakan orang sekelilingnya, bahkan isteri dan anaknya sendiri. Itulah yang menyebabkan isterinya selingkuh, dan putra-putrinya tidak mendapatkan pendidikan semestinya. Gotama adalah lambang superego.

Dewi Indradi adalah lembang ego karena perilakunya yang menyeleweng dengan Betara Surya – Dewa Matahari. Betara Surya adalah sumber energi kehidupan yang berisi segala sifat kesempurnaan. Tetapi energi  sebaik apapun kalau disalahgunakan juga akan menimbulkan malapetaka. Indradi dikutuk menjadi arca batu, melambangkan bahwa ego telah membuang superego, padahal keduanya harus tetap bersatu padu.

Subali dan Sugriwa pun dikuasai oleh egonya karena ingin memiliki Cupu Manik dengan pamrih. Mereka ingin mencapai kesempurnaan tetapi dengan rasa iri pada Anjani, sehingga yang mereka dapatkan adalah mala berubah menjadi kera.

Anjani lambang id, memperoleh Cupu Manik tanpa pamrih, namun toh terkena imbas perilaku ibunya yang jelas kurang baik. Muka, kaki, dan tangannya menjadi seperti kera. Betara Guru memberi daun sinom kepada Anjani melambangkan bersatunya  keutamaan (belas kasihnya Guru) dengan keprihatinan (tapa bratanya Anjani), sehingga membuahkan kesempurnaan, yaitu berputra Anoman. Dengan demikian Anoman melambangkan kesempurnaan – menyatunya id – ego – superego. Anoman dalam hidupnya selalu energetik, melakukan dharma tanpa pamrih. Dia berbulu putih bersih menandakan bahwa ia berhati suci.

Aspek Ibadah, Latihan Spiritual dan Kesehatan Spiritual

Menurut Bagir (2017), agama memang tak pernah bisa dilepaskan dari keruhanian (spiritualitas). Agama tanpa spiritualitas bukanlah agama, hanya simbol-simbol saja tanpa makna. Dan, karenanya, tak melahirkan dampak apa-apa. Bahkan sungguh tak perlu ada keraguan untuk mengatakan : alpha-omega agama adalah keruhanian. Bermula dari janji keimanan kepada Tuhan, yang diikrarkan saat (cikal) manusia masih bersifat ruhani, dan berakhir pada ketika manusia menjadi sepenuhnya ruhani lagi setelah mati. Fakta ini disinggung dalam sebuah hadis : “Manusia (ketika hidup di dunia ini) sesungguhnya dalam keadaan tertidur. (Baru) ketika mati, mereka terjaga”. Melanjutkan itu, Nabi masih mengajarkan :”(Maka, agar kalian terus terjaga) matilah sebelum kalian mati”. Dalam ungkapan Jawa : Mati sakjroning urip. Yakni, mati secara fisik, agar yang tinggal adalah ruhani kita. Agar, meski masih dalam selubung fisik, kita tidak pernah kehilangan kontak dengan yang ruhani.

Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Schopenhauer, 1788 -1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009Tentang Kesehatan,  kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Spiritualitas dari bahasa Yunani, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujud dari dalam upaya mencari makna  hidup (the meaning of life). Orang yang beragama Islam, apapun kehidupan  maupun strata sosial ekonominya, hidupnya akan penuh makna (meaningful) jika berusaha dengan sungguh-sungguh  mengejawantahkan nilai-nilail (values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. implementasinya.

Orang diharapkan tidak hanya sekedar sehat (health), tetapi juga bugar (fitness). Sayangnya, apresiasi masyarakat selama ini baru sebatas kebugaran fisik (physical fitness), antara lain getol melakukan latihan (exercise) olah raga. Sedangkan kebugaran jiwa (mental fitness), kebugaran sosial (social fitness), apalagi kebugaran spiritual (moral fitnes), belum banyak diapresiasi oleh masyarakat luas.

Menurut Nasution (2001) , dalam Islam ibadahlah yang memberikan latihan ruhani yang diperlukan manusia. Semua ibadah yang ada dalam Islam, shalat, puasa, haji dan zakat, bertujuan membuat ruh manusia supaya senantiasa tidak lupa pada Tuhan, bahkan senantiasa dekat pada-Nya. Keadaan senantiasa dekat pada Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci dapat mempertajam rasa kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.

Di antara ibadah Islam, shalatlah yang membawa manusia terdekat kepada Tuhan, Di dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan Tuhan dan dialog antara dua pihak yang saling berhadapan. Dalam shalat manusia memang berhadapan dengan Tuhan. Dalam shalat seseorang melakukan hal-hal berikut : menuju ke-Maha Sucian Tuhan, menyerahkan diri kepada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan setan, memohon diberi petunjuk dan diantarkan kepada jalan yang benar dan dijauhkan dari kesesatan dan perbuatan tidak baik, perbuatan-perbuatan jahat dan sebagainya. Pendek kata dalam dialog dengan Tuhan itu seseorang meminta supaya ruhnya disucikan. Dialog ini wajib diadakan lima kali sehari, dan kalau seseorang lima sehari dengan sadar memohon penyucian ruh, dan dia memang berusaha ke arah yang demikian, ruhnya akan dapat menjadi bersih dan dia akan dijauhkan dari perbuatan-perbuatan tidak baik,  apalagi dari perbuatan-perbuatan jahat.

Puasa juga merupakan penyucian ruh. Di dalam berpuasa seseorang harus menahan hawa nafsu makan, minum dan seks. Di samping itu dia juga harus menahan rasa amarah, keinginan mengatai orang, bertengkar dan perbuatan-perbuatan kurang baik lainnya. Latihan jasmani dan ruhani di sini bersatu dalam usaha menyucikan ruh manusia. Di bulan puasa dianjurkan pula supaya orang banyak bershalat dan membaca Al-Qur’an, yaitu hal-hal yang membawa orang dekat kepada Tuhan. Latihan ini disempurnakan dengan pernyataan rasa kasih kepada anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah bagi mereka.

Ibadah haji juga merupakan penyucian ruh. Dalam mengerjakan haji di Mekkah, orang berkunjung ke Baitullah (Rumah Tuhan di dunia ini). Sebagaimana dalam shalat, orang di sini juga merasa dekat sekali dengan Tuhan. Bacaan-bacaan yang diucapkan sewaktu mengerjakan haji itu juga merupakan dialog antara manusia denga Tuhan. Usaha penyucian ruh di sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan rasa bersaudara antara semua manusia, tiada beda antara kaya dan miskin, raja dan rakyat biasa, antara besar dan kecil semua sederajat.

Zakat, sungguhpun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagian dari harta untuk menolong fakir-miskin dan sebagainya juga merupakan penyucian ruh. Di sini dilatih menjauhi kerakusan pada harta dan memupuk rasa bersaudara, rasa kasihan dan suka menolong anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan.

Manusia, betapapun berjalan di muka bumi yang dibatasi ruang dan waktu, memang sesungguhnya hidup di alam makna (spiritual). Semua manusia dicipta dengan fitrah atau tabiat bawaan spiritual. Masalahnya hanyalah, apakah fitrah itu diaktualkan atau tidak, antara lain lewat berbagai latihan-latihan spiritual dan asketisme (sikap hidup prihatin) yang membersihkan cermin ruhaninya  (Bagir, 2017).

Manusia yang sehat spiritual, maka perilakunya akan bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia lainnya. Perilakunya akan manusiawi, penuh makna (meaningful), bukan perilaku hewani, tanpa makna (meaningless). Adapun hewan yang kecerdasannya mendekati manusia adalah kera. Di dunia kera, maka kera yang paling cerdas adalah simpanze, sesudah itu gorila. Sedangkan kera yang paling bodoh adalah kera berekor panjang. Jika kera ekor panjang dihadapkan ke cermin, dia mengira bayangan dalam cermin itu temannya !

Akhirnya, “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membuatkan baginya jalan keluar – dari kesulitannya – dan memberinya rezeki  yang tidak disangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya” (QS at-Thalaq [65] : 2 – 3). Selamat menggapai ketaqwaan di bulan turunnya Al Qur’an ini.

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD

Bambang Wisanggeni, Dalang Wayang Kulit tinggal di Palbapang, Bantul

Exit mobile version