Haji Hisyam, Arsitek Pendidikan Muhammadiyah
Oleh Mu’arif
Sejak tahun 1912-1919, perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah meski tidak terlalu pesat tetapi cukup signifikan. Berawal dari Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang dirintis K.H. Ahmad Dahlan, konsep pendidikan Islam terpadu ini menjadi model bagi pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah di luar kampung Kauman. Sampai memasuki tahun 1919, sekolah-sekolah Muhammadiyah sudah mencapai puluhan. Setelah Bagian Sekolahan (Departement van Onderwijs) terbentuk, pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin pesat. Sumber Mh. Mawardi (1977) menyebutkan, sampai memasuki tahun 1932, jumlah Volkschool Muhammadiyah mencapai 103 sekolah dan Standaardschool Muhammadiyah 47 sekolah. Siapakah sang arsitek pendidikan yang menggawangi Bagian Sekolahan Muhammadiyah ini? Tidak lain, dialah Haji Hisyam putra Haji Hoesni.
Haji Hisyam
Haji Hisyam adalah salah satu di antara murid-murid KH Ahmad Dahlan yang berjuang sampai akhir hayat di persyarikatan Muhammadiyah. Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 10 November 1883, dia putra Wedana Haji Hoesni. Hisyam bin Haji Hoesni masih termasuk kerabat jauh K.H. Dahlan (Djarnawi Hadikusuma, t.t.: 35). Selain menjabat sebagai abdi dalem, Hisyam muda seorang pengusaha batik (batikhandel) di Kauman. Dalam iklan hari raya Idul Fitri yang dimuat di Soeara Moehammadijah nomor 5 dan 6 tahun 1925 disebutkan nama-nama tokoh Muhammadiyah, salah satunya ialah istri Hisyam. Dalam iklan tersebut disebutkan identitas istri Hisyam sebagai lid (anggota) ’Aisyiyah dan batikhandel Kauman, Yogyakarta.
Sosok Hisyam dikenal sebagai seorang pakar hukum Islam. Dia memiliki keahlian dalam manajemen dan administrasi. Keahliannya boleh dikata cukup mahir untuk ukuran zamannya. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan diterapkan dalam keluarga. Semua putra dan putri Hisyam mendapat pendidikan formal, baik pendidikan umum dan agama. Muhammad Ziad, putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Europes Kweekschool di Surabaya. Muhammad Hadjam, juga putra Hisyam, mendapat pendidikan Hogere Kweekschool di Purworejo.
Karir organisasi Hisyam dimulai ketika dia bersedia bergabung dengan K.H. Ahmad Dahlan membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Hisyam termasuk salah satu di antara murid-murid inti yang mendapat pengajian dan pengajaran langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Selagi muda, Hisyam sudah terlihat sebagai pemuda cakap yang mementingkan pengajaran bagi generasi muda. Ketika Muhammadiyah dideklarasikan (1912), Hisyam berumur sekitar 29 tahun. Ketika HB Muhammadiyah membentuk empat unsur pembantu pimpinan, Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Jabatan ketua pertama unsur pembantu pimpinan ini diamanatkan kepada Hisyam yang berumur sekitar 37 tahun.
Ketua Pertama Bagian Sekolahan
”Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya.” Inilah ikrar Hisyam sebagai ketua Bagian Sekolahan. Diikrarkan di hadapan rapat anggota Muhammadiyah yang dipimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika pembentukan empat departemen pertama di Muhammadiyah: Bagian Sekolahan, Bagian Tabligh, Bagian Taman Pustaka, dan Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem.
Rapat anggota Muhammadiyah diselenggarakan pada tanggal 17 Juli 1920 di gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta. Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Fachrodin mendapat amanat sebagai ketua Bagian Tabligh. Mochtar mendapat amanat sebagai ketua Bagian Taman Pustaka. Syujak mendapat amanat sebagai ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (Syujak, 1989: 31).
Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang cukup pesat tidak bisa lepas dari peran dan fungsi Bagian Sekolahan yang digawangi Hisyam. Sosok Hisyam adalah sang arsitek yang meletakkan roadmap pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mulai menjangkau sekolah tingkat lanjutan. Namun, Hisyam tidak sendirian dalam merancang pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ia mendapat suntikan pemikiran dan tenaga dari dua sosok penting yang nama mereka kurang populer di kalangan warga Muhammadiyah saat ini. Kedua sosok tersebut adalah Sosrosoegondo dan Djojosoegito.
Alfian dalam bukunya, Politik Kaum Modernis (2010), menempatkan dua sosok ini sebagai peletak fundamen pendidikan Muhammadiyah. Sosrosoegondo adalah guru di Kweekschool Jetis yang menjadi kawan dekat K.H. Ahmad Dahlan. Sedangkan Djojosoegito adalah Guru Sejarah yang menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Sosrosoegondo kemudian bergabung di Muhammadiyah menduduki posisi sebagai wakil ketua Bagian Sekolahan. Sedangkan Djojosoegito masuk jajaran struktural HB Muhammadiyah menduduki posisi sebagai sekretaris umum, mendampingi K.H. Ahmad Dahlan.
Mulai tahun 1920, di bawah Manajemen Bagian Sekolah, HB Muhammadiyah merintis sekolah berbahasa Belanda, seperti: Holland Inlandsche School (HIS) met de Qur’an. Pada tahun 1926 HIS met de Qur’an mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1930, Muhammadiyah merintis Schakelschool yang diperuntukkan bagi anak-anak lulusan Volksschool yang ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi. Pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah memiliki 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Hisyam adalah satu-satunya murid inti hasil didikan KH. Ahmad Dahlan yang berhasil menduduki posisi sebagai president HB Muhammadiyah. Pasca wafat K.H. Ibrahim (1934), dalam Congres Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, Hisyam terpilih sebagai president HB Muhammadiyah. Kepemimpinan Haji Hisyam berlangsung sejak tahun 1934-1937.
Pandangan Hisyam yang cukup kontroversial tetapi justru menjadi kunci dari kemajuan pendidikan Muhammadiyah pada waktu itu adalah pandangan seputar penerimaan subsidi dari pemerintah kolonial untuk pengembangan sekolah-sekolah pribumi. Meskipun harus dimusuhi oleh organisasi lain (Taman Siswa, Sarekat Islam), tetapi Muhammadiyah tetap bersikap kooperatif terhadap rezim kolonial. Jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah berpandangan bahwa menerima subsidi dari pemerintah kolonial dibolehkan, sebab pada dasarnya dana subsidi tersebut berasal dari hasil bumi dan kekayaan alam yang telah dirampas oleh kaum kolonial. Jika Muhammadiyah tidak menerima subsidi dari pemerintah, maka umat Islam akan selalu tertinggal jauh oleh umat Katolik dan Kristen yang dalam penyelenggaraan pendidikannya memanfaatkan dana subsidi dari pemerintah kolonial (Hadikusuma, tt: 49).
Bersama Djiwosewojo dan tokoh-tokoh pribumi lainnya, Hisyam mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Anugrah ini diberikan kepada para pejabat, priyayi atau orang-orang yang dianggap berjasa kepada pemerintah Belanda dan masyarakat pada waktu itu. Namun di kalangan internal Muhammadiyah sendiri, penghargaan tersebut justru memicu kontroversi. Dalam Congres Muhammadiyah ke-26, kelompok pemuda yang terdiri dari M. Basiran, Abdul Hamid, Farid Ma’ruf, dan lain-lain, menolak kepemimpinan kelompok tua, ”Haji Hisyam”, ”Haji Mochtar”, dan ”Haji Syujak.” Ki Bagus Hadikusumo menjembatani konflik antara kubu kaum muda dan kaum tua ini.
Selain menjabat sebagai president HB Muhammadiyah, Haji Hisyam juga pernah menjabat sebagai Penghulu di kabupaten Magelang pada tahun 1937. Haji Hisyam meninggal dunia pada 20 Mei 1945.
Mu’arif, Peneliti sejarah Muhammadiyah-’Aisyiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019