Kenapa Pasien Suka RS Muhammadiyah?

rs muhammadiyah

RSU Muhammadiyah Babat

Kenapa Pasien Suka RS Muhammadiyah?

Oleh: Mushlihin

Saya mengunjungi keponakan rawap inap di RSM Lamongan. Saya disarankan memakai kalung identitas penunggu, tetapi masih diperiksa oleh Satpam. Saya dimintanya menunjukkan KTP. Nama tidak sesuai. Lalu Satpam menasihati supaya mencoret salah satu pemegang kartu dan menggantinya dengan nama saya.

Saya dipersilakan masuk ke kamar rawat inap. Ia amat lemah lembut. Sehingga pengunjung tersanjung. Saya melangkah menuju ruang NICU. Saya bingung dan beruntung ditunjukkan seorang lelaki. Padahal kami tidak saling mengenal.

Setelah menemukan NICU, saya tidak melihat keponakan. Saya menanya perawat. Ia mengantar saya ke kamar laktasi. Ia berucap dengan santun, sehingga saya terkesan.

Saya lantas bercengkerama dengan emak dan adik serta memfoto keponakan. Karena keluarga di rumah sangat mencemaskannya. Mereka berharap keponakan segera sembuh.

Perawat masuk. Ia berkata. Penunggu pasien dibatasi dua orang. Saya bergeming. Kami asyik mengobrol. Sampai dokter spesialis anak memeriksa keponakan. Saya ditegur dengan sindiran halus. Saya pun hengkang ke ruang tunggu.

Sesudah itu saya menghubungi sepupu. Ia kepala ruang VIP Multazam. Ia sedang rapat dengan pimpinan. Kami bertemu pas jamaah zuhur dan asar. Kami berbincang banyak hal sembari membaca buku, majalah atau koran di ruang mewah. Sayang koran yang berisi tulisan saya pada lembar Ramadan Jumat 30 April 2021 telah digudangkan. Jam 16.00 kami berpisah.

Selanjutnya saya menelpon takmir masjid. Saya mohon beliau mewakili menjadi imam dan kultum tarawih. Mereka berbarengan jadwalnya di masjid lainnya. Maka saya berpamitan emak dan adik. Saya secepatnya ke parkir.

Saya menaiki motor berkecepatan sedang. Jalanan sangat ramai. Para pengemudi rerata ingin bersegera buka puasa bersama keluarga di rumah. Saya masih di atas jembatan Bengawan Solo Karanggeneng kala azan magrib. Saya memacu motor dan sampai di rumah pas ikamah.

Istri menghidangkan kurma dan segelas air. Saya menikmati dengan suka cita. Kami berjamaah magrib. Kemudian kami mengaji beberapa ayat. Kami berhenti untuk makan nasi.

Selepas itu saya menyerahkan kartu penunggu pasien. Adik ipar yang jaga malam. Paginya kartu diserahkan kepada saya lagi. Jam sembilan saya berangkat, tapi mampir di SMPN. Saya ditugaskan menyampaikan materi pondok Ramadan hingga mengimami jamaah zuhur.

Setelah itu saya menelpon emak, ketika dikunjungi dr. Urologi. Beliau menyatakan pasien diperbolehkan pulang. Saya terus mencari mobil rental milik keluarga jauh. Saya juga membawa uang tunai dan ATM. Jam 14.00 kami ke RSM Lamongan. Kami tiba kala azan asar. Kami pun salat berjamaah di masjid sambil bermasker dan berjarak 1 meter. Jamaah membeludak, berdiri tegak, karena Allah dan khusyuk.

Berikutnya saya ditemani sepupu, kepala ruang VIP mengurus administrasi. Kami konsultasi ke perawat, dan depo obat . Saya menyerahkan tas berisi obat yang tersisa dan kartu BPJS yang barusan diaktifkan. Lalu saya menunggu dengan sabar nomor antrean 26. Petugas memanggil saya untuk menandatangani berkas dan menerima tagihan serta doa berobat. Bismillahi allahumma innii audzubika min syarri waj’ii hadzaa.

Petugas memohon saya membayar di kasir. Lima menit kemudian ia menyodorkan kwitansi. Kasir pun mengatakan biaya rawat inap 2000 rupiah. Saya terbengong. Saya menduga 2.000.000. Karena sebelumnya ada yang membayar 12-20 juta. Maka saya menanya, bolehkah digesek lewat ATM? Petugas menegaskan, “cuma dua ribu rupiah saja bapak!”

Saya merogoh dan obrak-abrik dompet. Saya amat tersipu. Saya bergegas ke NICU. Saya disarankan agar keponakan diberi ASI sebaik mungkin. Bila tertidur, tiap 2 jam bayi harus disusui. Selain itu saya diberi ringkasan pulang dan hasil laboratorium.

Kami minta diri. Emak menggendong bayi. Sehingga beliau memohon perawat mengantar adik ke pintu keluar. Sekalian mendorong kursi roda. Perawat berkelakar. “Maaf pasien kami kan si bayi, bukan si ibu. Kalau butuh kursi roda, silakan!” Kami tersipu lagi.

Muslihin, PRM Takerharjo Solokuro Lamongan

Exit mobile version