Seputar Masalah Perzinaan dan Akibat Hukumnya
Pertanyaan:
- Bagaimana menurut Hukum Islam, hubungan anak yang terlahir hasil dari perzinahan terhadap ibu yang melahirkannya dan terhadap pria yang berzinah dengan ibunya (menzinahi ibunya).
- Jika pria dan perempuan yang berzinah ini dinikahkan di saat perempuan tersebut dalam keadaan hamil kemudian bercerai, apakah menurut Hukum Islam, pria itu mempunyai tanggung jawab atau tidak terhadap biaya hidup anak yang lahir dari hasil zinah tersebut?
- Jika tidak bercerai, apakah anak hasil zinah tersebut sama haknya dengan anak-anak yang dilahirkan setelah pernikahan? Baik tentang nashab (hubungan dengan pria tersebut), warisan, wali nikah dan seterusnya?
- Dalam surat An-Nur ayat 3; “laki-laki yang berzinah tidak mengawini melainkan perempuan yang berzinah atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzinah tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzinah atau laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Pertanyaan: Bagaimana kalau perempuan mukmin (perempuan baik-baik) itu dinikahi oleh seorang pria yang pernah berzinah (pezinah) sedangkan dia tidak tahu bahwa pria itu pernah berzinah dan menikah dengan perempuan yang dizinahinya dan kemudian bercerai, apakah pernikahan itu haram? Karena pada waktu menikah dan tercantum dalam buku nikah, sang suami mengaku masih bujangan? Apakah perkawinan tersebut sebaiknya diteruskan atau harus bercerai? Dan apakah perempuan tersebut (sang isteri) berdosa atau tidak menurut hukum Islam?
Demikian pertanyaan dari saya, mohon untuk dijawab menurut hukum Islam, terima kasih atas penjelasannya.
Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum’at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H / 18 Januari 2008 M)
Jawaban:
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudari:
- Anak itu dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, bukan kepada pria yang menzinai ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah, dan perzinaan tidak menimbulkan dampak penetapan nasab anak tersebut kepada laki-laki yang menzinai ibunya, menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan.
Dalil yang mendasari hal tersebut adalah hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)”. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hadis ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya yang menikahi ibunya). Adapun zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam.
Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
- Sebelum menjawab pertanyaan saudari tentang pertanggungjawaban pria yang berzina terhadap anak hasil perzinaannya, berikut ini diuraikan hukum menikahi perempuan yang sedang hamil:
a.
Jika A (laki-laki) dan B (perempuan) berzina lalu keduanya menikah ketika si B hamil, maka para ulama sepakat membolehkannya. Hal ini sejalan pula dengan KHI pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” dan ayat (2) yang berbunyi: “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pernikahan itu sah dan keduanya boleh melakukan hubungan kelamin layaknya suami istri.
Kemudian jika si B melahirkan anak hasil perzinaan tersebut setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si A. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Setelah itu si A bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang sah. Namun jika si B melahirkan anak hasil zina tersebut sebelum 6 (enam) bulan dari pernikahannya dengan A, maka anak tersebut dinasabkan kepada si B. Si A tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi perwalian dan pewarisan, si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya.
Perlu diketengahkan di sini bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina yang lahir sebelum 6 (enam) bulan tersebut tetap dapat dinasabkan kepada si A, karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak tersebut.
b.
Jika A dan B dalam contoh di atas berzina, lalu B yang sedang hamil menikah dengan C, bukan dengan A yang menghamilinya. Hukum masalah ini diperselisihkan para ulama; ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun demikian kami cenderung untuk membolehkannya, dengan alasan wanita hamil karena zina tidak mempunyai masa iddah, sebagaimana wanita hamil yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Setelah mereka menikah maka mereka boleh berhubungan badan layaknya suami istri. Adapun kekhawatiran pendapat yang mengatakan tidak boleh berhubungan badan supaya air mani dua orang laki-laki tidak tercampur dalam rahim wanita tersebut adalah tidak sesuai dengan ilmu kedokteran karena hal itu tidak mungkin terjadi setelah wanita itu hamil. Kemudian, jika anak itu lahir maka ia tidak dinasabkan kepada si A maupun si C karena ia adalah hasil perzinaan. Anak hasil perzinaan tersebut dinasabkan kepada ibunya yaitu B. Setelah itu si C tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatan anak tersebut, karena ia adalah anak istrinya. Namun dari segi perwalian dan pewarisan, si C maupun si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya.
Namun perlu diketengahkan di sini bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina tersebut dimungkinkan untuk dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya (si C), karena menurut KHI pasal 99 anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak tersebut.
- Jika anak hasil perzinaan itu telah dinasabkan kepada pria yang menzinai ibunya karena pria tersebut telah menikahi ibunya itu, lalu pria tersebut menceraikan ibunya itu, maka hubungan antara pria dan anaknya itu tetap sebagai ayah dan anak dari segi nasab, nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan seterusnya. Ini karena perceraian suami istri tidak mempunyai dampak dalam hubungan nasab seorang ayah dengan anaknya.
- Mengenai surat an-Nur ayat 3 dapat kami jelaskan sebagai berikut: Para ulama tafsir menerangkan bahwa maksud ayat tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang menjadikan perzinaan sebagai kebiasaan atau pekerjaan, itulah yang tidak boleh dan tidak layak untuk menikahi atau dinikahi orang-orang yang beriman. Laki-laki mukmin tidak boleh dan tidak pantas menikahi mereka, dan perempuan mukminah tidak boleh dan tidak pantas dinikahi mereka. Adapun laki-laki dan perempuan yang pernah berzina dan telah bertaubat, kemudian menikah dengan orang mukmin atau mukminah, hal itu dibenarkan. Apabila sesudah pernikahan masih juga berbuat zina, maka kepada pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan talak (untuk suami) atau cerai gugat (untuk istri) dengan alasan zina, sesuai dengan KHI Pasal 116 j.o. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/1975 pasal 19 (a) yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;”. Pengajuan permohonan talak atau cerai gugat tersebut ditujukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri, sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1): “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak” j.o. KHI pasal 129 dan Pasal 73 ayat (1): “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat” j.o. KHI pasal 132 ayat (1).
Selanjutnya kami berpendapat pula bahwa, meskipun pernikahan seorang muslimah yang baik dengan lelaki muslim yang pezina dan pernikahan seorang muslimah yang pezina dengan lelaki muslim yang baik itu tercela dan tidak pantas, selagi orang yang berzina tersebut belum bertaubat, namun pernikahan tersebut tetap sah, sesuai dengan ayat berikut:
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian* di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. an-Nur (24): 32]
*Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Dan sesuai dengan hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُحَرِّمُ اْلحَرَامُ اْلحَلاَلَ. [رواه البيهقي والدار قطني وابن ماجه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.” [HR. al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan Ibn Majah]
Akan tetapi, seorang laki-laki muslim haram menikahi seorang perempuan yang musyrikah, walaupun musyrikah ini orang baik-baik (bukan pezina). Demikian pula seorang laki-laki musyrik haram menikahi seorang perempuan muslimah, meskipun muslimah ini orang yang suka berzina. Pernikahan tersebut semuanya tidak sah hukumnya, berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]
Demikian jawaban dari kami. Perlu kiranya kami tegaskan di sini bahwa fatwa-fatwa terdahulu yang berkaitan dengan masalah pernikahan wanita hamil dan nasab anak zina telah disempurnakan dengan fatwa ini.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2008