Berguru Kepada Iman Budhi Santosa

Iman Budhi Santosa

Dok Pribadi

Berguru Kepada Iman Budhi Santosa

Kami berurutan menaiki tangga menuju lantai dua kantor Suara Muhammadiyah Jl KHA Dahlan no 43 Yogyakarta yang terletak di depan traffic light barat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Sampai di atas, semua duduk mengelilingi meja. Kalau saya ada waktu biasanya konsumsi rapat sudah disiapkan. Juga minuman. Kalau tidak sempat menyiapkan konsumsi, minta tolong salah seorang anak muda turun ke bawah, keluar kantor mencari minuman dan makanan di warung koboi.

Ini rapat panitia Konser Puisi Yogyakarta. Sebuah acara yang belum pernah diadakan orang. Gambaran seperti apa Konser Puisi masih belum jelas bagi peserta rapat.

Tuan rumah atau yang duwe gawe adalah Teater Sila, didukung oleh beberapa anggota teater kampus dan kampung. Sutradara atau dirijen Konser Puisi telah ditentukan: Hari Leo AR. Dia bertugas memusikalisasi puisi puisi menjadi musik puisi yang akan ditampilkan dengan gerak dramatik atau teatrikal. Ini gambaran garis besarnya.

Tentang konsep estetikanya, juga termasuk pemanggungan dan setting panggung serta mobilisasi gagasan dan manusianya belum dikonsep.

Semua peserta basa basi ngobrol sekenanya. Sebenarnya ini merupakan usaha untuk menutupi diri bahwa mereka datang ke tempat rapat dengan kepala kosong tanpa berbekal ide, dengan tangan kosong tanpa kertas dan satu huruf pun ditulis. Saya merasa semua diam-diam tegang. Berbekal keinginan muluk tanpa dilengkapi dengan detail ide untuk melengkapi.

“Pokoknya nanti Konser Puisi harus hebat, enak ditonton dan tanpa cacat,” kata seseorang berkata besar dan langsung disergap oleh Mas Iman  Budhi Santosa,”Ya maksudmu apa? Yang dimaksud Konser Puisi harus hebat, enak ditonton tanpa cacat itu seperti apa?”

Anak itu menjelaskan yang justru membuat perkataannya makin tidak jelas

“Ya pokoknya hebat, belum pernah dan belum pernah dipentaskan. Enak ditonton ya penonton bisa menikmati pertunjukan sampai akhir tanpa ngantuk dan ngobrol dengan teman di samping tempat duduknya. Tanpa cacat yang pertunjukan Konser Puisi memenuhi syarat sebagai pertunjukan…”

Mas Iman Budhi Santosa kembali memotong kalimatnya,”Terus untuk menghasilkan pertunjukan seperti itu apa yang kita lakukan?”

“Kita harus bekerja keras. Mengerahkan kemampuan estetik kita, mengingat kreativitas kita..”

“Stop. Jangan ngayawara, ” kata mas Iman Budhi Santosa mulai marah sambil mengeluarkan kertas dari tas plastik yang dia letakkan di meja.

“Saya kecewa, teman-teman.”

Saya baca konsep itu. Lengkap. Mas Iman awalnya mengatakan bahwa ada tiga lapisan hakikat puisi. Lapis pertama lapis bunyi. Ini lapis paling luar.

Lapis kedua, lapis bahasa atau kata yang tertulis menjadi kalimat menjadi ungkapan puitis. Lapis ketiga, lapis arti dan makna. Di lapisan dalam ini terkandung pesan, makna dan nilai yang akan disampaikan.

“Kita menggarap Konser Puisi berarti menggarap ketiga tiganya. Karena itulah konser, berarti puisi diolah menjadi musik.”

“Dan ini yang ahli Hari Leo. Kedua, agar pertunjukan konser puisi menarik perlu dimunculkan sisi dramatik dari puisi. Biasanya puisi yang cenderung naratif bisa dipertunjukkan secara dramatis. Ini yang ahli Hari Leo dan Sigit Sugito. Keduanya perlu kolaborasi.”

Konsep dasar yang ditulis oleh Mas Iman Budhi Santosa lengkap sekali. Pantas menjadi pengantar proposal untuk mencari sponsor.

Mas Iman Budhi Santosa mendaftar siapa saja yang kebagian tugas menyiapkan puisi. Paling tidak ada tujuh atau sembilan puisi panjang yang urutan dramatiknya terjaga. Panitia dibentuk.  Ada yang mengurusi sekretariat, latihan, mobilisasi pemain dari sembilan kampus dan kampung. Ada daftarnya. Juga ada manajer produksi yang sekaligus pencari sponsor dan sebagainya.

Rapat ditutup dengan mengagendakan rapat berikutnya. Semua puisi yang akan dikonserkan harus sudah siap untuk diberikan kepada sutradara atau dirijen Konser. Konsep latihan untuk menyatukan rasa dari pemain teater kampus dan kampung juga harus sudah jadi. Anggaran awal disiapkan.

Begitulah Mas Iman Budhi Santosa. Ketika saya bersama dia berkali-kali menjadi Panitia FKY seksi sastra dia yang paling siap. Dia datang dengan konsep, diketik rapi dan dibaca dengan runtut. Rapat jadi efektif. Dia memberikan contoh agar peserta rapat tidak plonga-plongo, kepala kosong, tangan hampa saat rapat. “Apa gunanya rapat kala kita tidak siap datang ke rapat itu?” Tanya dia dalam banyak kesempatan. Teman dan muridnya ada yang berubah menjadi manusia tertib rapat ada yang tetap ngeyel memilih plonga-plongo.

Waktu teman teman Malioboro akan membuat buku kesaksian Malioboro, dia paling siap dengan konsep buku antologi Esai. Waktu itu dia masih anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Jadi ada anggaran untuk menyiapkan buku.

Demikian juga ketika menyiapkan antologi puisi dan geguritan karya penyair Yogyakarta. Mas Iman Budhi Santosa punya database nama penyair dan pengembangan Yogya, bahkan Indonesia. Ini terbukti ketika menyiapkan buku antologi puisi Serambi Istiqlal. Nama dan nomor kontak dia simpan rapi.

Ketika membuat buku antologi Esai berdasarkan peribahasa daerah dia juga siap dengan nama-nama. Waktu menggarap antologi puisi bertema wayang dengan sigap dia keluarkan catatan sakti dari kamarnya.

Kebiasaan atau tradisi disiplin rapat dengan selalu siap dengan konsep terus dia jalankan selama hidup. Waktu menggarap majalah Sabana bahkan mas Iman Budhi Santosa siap dengan konsep penerbitan selama setahun.

Bukan konsep rapat saja dia persiapkan. Saat memberikan latihan menulis pun dia selalu siap dengan makalah yang kemudian dikumpulkan menjadi buku.

Beberapa minggu sebelum mas Iman meninggal saya sempat duet memberikan workshop penulisan lewat daring di Kadipiro. Dia pun membawa makalah.

Mas Iman adalah manusia konsep sekaligus manusia pelaksana yang perfeks sampai ke detail masalah. Di kepala dan di kamar dia tersimpan beribu konsep yang setiap saat siap dikeluarkan manakala diperlukan.”Itulah senjata rahasia hidup saya,” katanya suatu hari. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version