Antara Pancasila dan 75 Pegawai KPK
Oleh: Musa Maliki, PhD
Telah berlalu kelahiran Pancasila, 1 Juni. Momen itu pula yang membuat 75 pegawai KPK memperoleh kartu merah, tersingkir atau tepatnya disingkirkan oleh sekelompok elit melalui tangan-tangan administrasi atas nama Pancasila. Walaupun Presiden Jokowi berusaha membelanya, tapi kondisinya masih tak jelas.
Saat kelahiran Pancasila, Soekarno pertama kalinya mengungkapkan butir-butir Pancasila. Saat itulah bayi Pancasila baru merangkak tumbuh. Saat itulah Soekarno menegaskan bahwa Pancasila hanyalah bungkus atau representasi dari realitas substansial nilai-nilai tradisi bangsa-bangsa di Nusantara.
Penegasan Soekarno tersebut menandakan bahwa Pancasila merupakan kemasan spirit jiwa bangsa ini dalam membangun fondasi raga Indonesia. BPUPKI dan PPKI merupakan penyempuraan Pancasila sebagai teks raga Indonesia agar secara Bahasa juga universal dan inklusif. Penghapusan tujuh atau delapan kata di Sila Pertama adalah keterbukaan dan inklusivisme Pancasila. Para penyokong Pancasila, khususnya umat Islam cukup percaya diri untuk merangkul, mengayomi, memasukkan spirit dan harapan Indonesia Timur yang awalnya keberatan dengan Sila Pertama.
Teks Pancasila adalah label, bungkus, coding, representasi realitas tentang kondisi, kualitas, dan kuantitas bangsa-bangsa Nusantara yang bertujuan mengikat yang berbeda-beda itu agar selamat dan aman serta damai (Islam). Teks Pancasila adalah wujud nyata dari niatan luhur setiap bangsa-bangsa Nusantara untuk saling mengurus, membantu, melindungi, mewadahi, merangkul dan mengakui serta menjadi saksi satu dengan yang lain (Dar al Ahdi wa Shahadah).
Namun teks Pancasila hasil niatan luhur bangsa-bangsa Nusantara yang sempurna tersebut menempati ruang dan waktu yang selalu berubah. Dalam setiap ruang dan waktu rezim Orde Lama, Orde Baru, Orde Pasca Reformasi, Pancasila ditafsirkan oleh pihak tertentu untuk penguasaan dan kepentingan kelompoknya. Bagi rezim tertentu, Pancasila adalah alat efektif untuk mendisiplinkan lawan-lawannya.
Instrumentalisasi Pancasila
Instrumentalisasi Pancasila adalah sikap mengkhianati niatan luhur para pendiri bangsa karena pemanfaatannya secara eksklusif diperuntukkan untuk kepentingan elit tertentu. Selain itu, instrumentalisasi ini mereduksi nilai-nilai substansi kebangsaan Indonesia yang universal dan inklusif.
Hal ini merupakan formalisme kebangsaan yang beku sehingga mudah menjadi alat kepentingan elit tertentu untuk mengadministrasikan pihak-pihak tertentu untuk dilemahkan atau disingkirkan. Niatan luhur bangsa untuk saling melindungi, mengayomi, membantu dan bersatu justru dirusak. Pancasila menjadi alat memecah belah anak bangsa seperti strategi penjajahan dulu melalui suku, ras, dan agama.
Ada semacam sistem dan kondisi yang mendorong instrumentalisasi Pancasila menjadi makna tunggal sehingga makna yang lain salah. Makna yang salah harus didisplinkan, dikendalikan, dikontrol, diadministrasikan karena dianggap sebagai variabel pengganggu stabilitas dan perdamaian rezim. Jadi seleksi bahwa “anda bersama saya atau menjadi musuh saya” di Indonesia adalah nyata.
Di Rezim ini, slogan teks “Saya Pancasila” menjadi alat efektif untuk menyingkirkan yang bukan dalam definisi itu. HTI dan FPI, dan realitas yang dianggap sebagai ancaman bagi rezim yang berkuasa dipakaikan, dilabeli, dijubahkan, diklambeni, didefinisikan sebagai tidak Pancasilais atau teroris. Singkatnya, yang tidak Pancasilais dalam konsepsi tunggal buzzer pendukung rezim yang berkuasa (incumbent) di ruang publik akan disingkirkan karena secara otomatis melawan negara-bangsa Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 dan UUD 45.
Keberhasilan penyingkiran HTI dan FPI memberi kesadaran kepada elit politik untuk memakai Pancasila untuk menyingkirkan 75 anggota KPK yang berintegritas. Peng-ASN-an adalah salah satu wujud dan bentuk proses pengontrolan, pendisiplinan, pengadministrasian dalam bahasanya Foucault, “governmentality” terhadap orang-orang yang secara substansial berintegritas dan taat atas UUD 45 dan Pancasila.
Buzzer pendukung rezim tertentu melontarkan ke ruang publik label, framing, coding, kategorisasi talibanisme ke 75 pegawai KPK. Skenario “you are with us or against” sudah bergulir sejak logika hitam-putih antara “saya Pancasila” dan “non-Pancasila” bergulir di ruang publik. Buzzer mereproduksi informasi di ruang publik seolah-olah 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) melawan Pancasila sebab mereka melawan perubahan UU KPK, melawan pimpinan KPK yang terpilih, dan bertindak sewenang-wenang tanpa prosedur dalam penangkapan koruptor.
TWK adalah salah satu instrumen untuk napeni, pendisiplinan, penyisihan, pendefinisian ulang pihak-pihak mana yang akan mengancam kepentingan elit politik tertentu. Perdebatan TWK di ranah hukum masih berlangsung sampai sekarang. Hukum pun menjadi semacam alat untuk pendisiplinan, pendefinisian ulang mana yang sekiranya mengancam sekelompok elit politik.
Banyak elit politik yang masih saja mempunyai kekuatan uang baik di penjara, di pasar atau di ruang-ruang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mereka tetap menggerakkan skenario ini. Bangsa ini berusaha dijauhkan dari agama dan Pancasila bahkan dipertentangkan keduanya.
Pancasila vs Agama/al Quran
Kita masih ingat pernyataan Kepala Pembina garda depan Pancasila, (BPIP), Profesor Yudian Wahyudi yang di-framing, dilabeli, dibuat provokatif oleh media tentang “Agama musuh Pancasila”. Seorang akademisi yang mumpuni dan professor ahli hukum Islam menjadi bulan-bulanan nitizen dan buzzer karena menghadapkan agama sebagai musuh Pancasila.
Strategi membenturkan antara agama dan Pancasila justru dipakai juga oleh rezim KPK yang baru itu. Sebuah pertanyaan untuk memilih al Quran atau Pancasila di luar konteks apapun dipakai sebagai alat untuk napeni, mendisiplin, bahkan penyingkiran pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman bagi elit politik yang merasa takut suatu saat ditangkap para pejuang KPK.
Dalam wawancara, mereka dipaksa untuk memilih Pancasila atau al Quran. Dengan kata lain, jika mau lulus ujian ASN, maka kita harus pandai berdiplomasi dan tidak boleh naïve. Pihak pewawancara memaksa pegawai KPK yang mau di-ASN-kan untuk menyatakan bahwa Pancasila adalah absolut, mutlak, dan berdiri di atas segalanya, termasuk al Quran. Jawaban inilah yang akan diloloskan menjadi pegawai KPK yang di-ASN-kan.
Hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila sebab pertanyaan yang menginginkan jawaban pengabsolutan Pancasila justru kontradiksi dengan spirit Pancasila yang inklusif, terbuka dan universal. Singkatnya, carut marut instrumentalisasi Pancasila dalam pelemahan KPK memang perlu perlawanan bergotong royong kalangan yang selama ini diklaim berintegritas adiluhung mengingat pesta pora proyek pemilu mendatang yang bisa jadi tunggang langgang.
Musa Maliki, PhD, Dosen UPN Veteran Jakarta