Masa Sih, Kalah Sama Anak Kecil
Bagi Ibu-ibu atau Kakek atau Nenek yang biasa mengantar dan menjemput anak atau cucu di Taman Kanak-kanak, sudah tidak asing lagi kalau anak atau cucu itu sehabis menakali atau berbuat kesalahan kepada temannya akan langsung meminta maaf. Apalagi kalau dia ditegur oleh guru atau ibunya. Tidak ditegur saja anak-anak sekarang sudah memiliki keterampilan meminta maaf dan memiliki kesadaran bahwa berbuat salah itu salah. Perlu dihapus dengan permintaan maaf.
Anak-anak atau para cucu itu pulang dengan damai. Gembira. Mereka tidak dibebani rasa bersalah tehadap temantemannya. Sesampai di rumah, kalau dia nakal atau khilaf atau sengaja menggoda adik atau kakaknya sampai yang digoda marah-marah atau jengkel, maka dengan cepat dia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Dia cepat berdamai dengan kakak atau adiknya.
Dengan orang tua dan dengan kakek atau neneknya anak yang terdidik dan memiliki keterampilan meminta maaf ini juga akan berbuat demikian. Imbangannya, anak mungil dan cerdas zaman sekarang juga cenderung ‘berani’ untuk menuntut ayah, ibu, kakek atau neneknya untuk meminta maaf kepadanya jika sengaja atau tidak sengaja berbuat salah.
Orang tua atau kakek dan nenek sudah berkemajuan, justru senang. Sebab cucu atau anaknya mau berterus terang mau menunjukkan apa salah orang tua atau nenek kakeknya. Dengan spontan dia pun akan meminta maaf. Dengan demikian, damailah suasana hubungan anak-orang tua dan cucu-nenek kakek. Rasa sayang di dalam keluarga itu akan makin terbangun kokoh.
Hari-hari di rumah dan di sekolah kalau dihiasi dengan hal-hal yang demikian, tentu merupakan hari-hari yang indah bagi anak-anak. Juga hari-hari yang indah bagi orang tua dan kakek neneknya. Kalau dilengkapi dengan kebiasaan meminta maaf dan memberi maaf serta cepat menyadari kesalahan yang berlangsung antara suami-isteri, antara kakek-nenek, antara sesama saudara, antara sesama tetangga, maka suasana yang dibangun dalam pergaulan di keluarga dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai pergaulan yang berkualitas qurrota a’yun, sebagaimana sering dimasukkan dalam doa untuk anak cucu dan pasangan hidup kita.
Doa yang diawali dengan kata robbana hablana itu berorientasi ke masa dapan, dan banyak diajarkan kepada generasi sekarang denga harapan akan berjumpa dengan suasana berkualitas qurrota a’yun. Dari suasana berkualitas qurrota a’yun inilah diharapkan akan muncul generasi muttaqiina imama, generasi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.
Sementara generasi dahulu lebih akrab dengan doa Allhumaghfirli waliwalidaayya warhamhuma kama robbayanii soghira. Untuk menghafalkan doa ini dengan cepat maka generasi terdahulu membuat lantunan lagu lembut lengkap dengan artinya. Kalau dinyanyikan dengan penuh perasaan akan membuat air mata menitik, membasahi pipi.
Dari ketrampilan berdoa dan kesungguhnan berdoa Allahumaghfirli ini menunukkan telah lahir generasi waladun sholihun yad’ulahu (anak-anak sholeh yang selalu bersedia mendoakan orang tuanya). Mereka telah memaafkan orang tuanya, selalu meminta maaf jika berbuat salah kepaa orang tuanya, dan memintakan ampun atas kesalahan dan dosa orang tua kepada Allah swt. Bahkan generasi ini menginginkan agar Allah swt juga mengasihi orang tuanya, sebagaimana orangtua telah mengasihi si anak ketika masih kecil.
Alangah lengkap jika apa yang diperoleh dan didikkan generasi terdahulu digabung denga apa yang dengan apa yang telah dididikkan kepada generasi anak cucu ini. Dalam suasana berkualitas qurrota a’yun, tampil generasi muttaqiina imama sekaligus generasi yang berkualitas waladun sholihun yad’ulahu. Ini merupakan aset sosial, duaya dan agama yang amat berharga.
Sayang apa yang kita temukan dan kita rasakan dalam lingkup keluarga dan komunitas kecil kita ini jarang kita temukan dalam pergaulan publik kita di Indonesia. Para pemimpin politik dan pejabat negara dan pemerintahan misalnya, meski jelas-jelas bersalah mereka jarang yang merasa bersalah, apalagi meminta maaf kepada rakyatnya. Maka para pemimpin politik dan pejabat itu sama sekali tidak memiliki kualitas qurrota a’yun sebagaimana anak-anak kita di keluarga dan di sekolahnya. Pemimpin politik dan pejabat itu malah menjadi ’pemandangan yang menyebalkan’ bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam bahasa gaul bisa-bisa muncul pertanyaaan kritis seperti ini, masak sih orang dewasa yang pemimpin poltik dan pejabat itu kalah sama anak-anak kecil yang baru mulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak? (Mustofa W Hasyim)
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2017