Zakat Mobil dan Kendaraan Bermotor

Zakat Mobil

Ilustrasi Dok Freepik

Zakat Mobil dan Kendaraan Bermotor

Pertanyaan :

Apakah ketika membeli mobil, sepeda motor dan rumah wajib dizakati?

Fauzi (disidangkan pada Jum’at, 23 Jumadats Tsaniyah 1429 H /  27 Juni 2008 M)

Jawaban :

Berikut ini jawaban atas pertanyaan saudara;

Wajib atau tidaknya zakat mobil, sepeda motor dan rumah yang kita beli itu tergantung kepada niat kita ketika membelinya dan tindakan kita setelah itu.

Apabila kita membelinya dengan berniat memakainya untuk kepentingan dan kegunaan kita sendiri dan memang setelah itu kita memanfaatkannya sebagaimana niat kita tersebut maka kita tidak wajib menzakatinya. Ini adalah kesepakatan para fuqaha. (lihat Bidayatul-Mujtahid, 1/185). Dalilnya adalah firman Allah:

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ. [البقرة (2): 219]

Artinya: “dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.””. [QS. al-Baqarah (2): 219].

Ayat ini menunjukkan bahwa nafkah (zakat) itu dikeluarkan atas kelebihan dari kebutuhan pokok.

Dan hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Sebaik-baik zakat itu adalah yang dikeluarkan atas kelebihan dari keperluan pokok”.” [HR. al-Bukhari].

Hadis ini jelas menyatakan bahwa zakat itu dikeluarkan atas kelebihan dari keperluan pokok seseorang.

Namun, apabila ketika membelinya kita berniat untuk memperdagangkannya dan setelah itu benar-benar kita memperjual-belikannya, maka barang-barang tersebut wajib dizakati sebagaimana barang-barang perniagaan lainnya jika telah mencapai nisab (senilai 85 gram emas murni) dan berlalu satu haul (satu tahun hijriyah). Dalilnya adalah firman Allah, hadis dan ijma’ para ulama. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ. [البقرة (2): 267]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” [QS. al-Baqarah (2): 267]

Ayat ini memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian dari hasil usaha kita. Maksudnya adalah membayarkan zakat perniagaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mujahid yang menyatakan bahwa ayat di atas turun mengenai perdagangan. (Subulus-Salam, 2/136).

Nabi saw diriwayatkan bersabda dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي اْلإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي اْلغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي اْلبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي اْلبَزِّ صَدَقَتُهُ. [رواه الحاكم]

Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Dzarr bahwa Rasulullah saw bersabda: “Di dalam onta itu ada zakatnya, di dalam kambing itu ada zakatnya, di dalam sapi itu ada zakatnya dan di dalam pakaian (yang diperniagakan) itu ada zakatnya”.” [HR. al-Hakim].

Hadis di atas menyatakan bahwa onta, kambing, sapi dan pakaian yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya.

Adapun dalil ijma’ para ulama adalah sebagaimana kata Ibn al-Mundzir bahwa para ulama telah ijma’ atas wajibnya harta perniagaan. (Subulus-Salam, 2/136).

Sementara itu, jika kita membeli mobil untuk kita kendarai sendiri, dengan niat kalau mendapatkan keuntungan akan kita jual, maka itu bukan harta perdagangan dan tidak wajib dizakati. Sebaliknya, jika kita membeli mobil untuk diperdagangkan, lalu kita mengendarainya untuk diri sendiri sampai kita mendapatkan keuntungan lalu kita menjualnya, maka pemakaian mobil tersebut tidak mengeluarkannya dari harta/barang dagangan yang wajib kita zakati. Ini karena yang diperhitungkan dalam masalah niat adalah asalnya. Jika asalnya adalah untuk pemilikan dan pemakaian sendiri maka ia tidak menjadi barang dagangan hanya dengan keinginan menjualnya jika ada keuntungan. Dan jika asalnya untuk perdagangan, maka ia tidak keluar dari perdagangan hanya dengan pemakaiannya.

Tetapi jika kita berniat untuk menukar barang dagangan menjadi pemilikan dan pemakaian sendiri, maka niat ini cukup untuk mengeluarkannya dari barang dagangan dan memasukkannya ke dalam pemilikan pribadi yang tidak berkembang dan tidak wajib dizakati.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 20 Tahun 2008

Exit mobile version