YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Selama ini banyak orang mengira kalau Muhammadiyah anti dengan kebudayaan lokal, sebaliknya justru sangat mengakomodir budaya global. Bisa dipastikan, orang yang beranggapan demikian sudah tentu belum pernah membaca putusan Muhammadiyah.
Sejak tahun 1995, masalah kebudayaan sudah dibahas bahkan mungkin jauh sebelum itu oleh Majelis Tarjih. Pembahasan tersebut terus bergulir pada Tanwir di Bali tahun 2002, di Makassar tahun 2003, di Mataram tahun 2004, dan di Malang tahun 2005 mengenai dakwah kultural. Majelis Tarjih menetapkan bahwa karya seni hukumnya mubah atau boleh. Dengan catatan tidak mengarah pada, fasad (kerusakan); dharar (bahaya); ‘isyan (kedurhakaan); dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah SwT). Sehingga selama budaya tidak mengandung empat unsur tersebut pada dasarnya diperbolehkan.
Namun, pada banyak kasus budaya lokal yang ada dibeberapa daerah seringkali mencampuradukan nilai-nilai Islam dengan kepercayaan pada animisme dinamisme yang sarat akan kesyirikan dan bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Di sinilah peran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang punya tanggungjawab untuk beramar ma’ruf nahi munkar, memberikan pemahaman dengan cara yang santun dan profesional.
Materi tersebut disampaikan oleh Ust. Budi Jaya Putra, S.Th.I., MH dalam diskusi mengenai Toleransi Muhammadiyah dalam Budaya Jawa yang diselenggarakan oleh IMM Fakultas Teknologi Industri Universitas Ahmad Dahlan, Ahad (13/6) secara daring melalui ruang Google Meet.
Dalam pemaparannya Ust. Budi yang juga aktif di Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah meminta agar kader IMM tidak anti kepada budaya, baik budaya lokal maupun global. Sebaliknya harus berperan aktif mengisi kebudayaan tersebut dengan hal-hal yang positif dan membawa kebaikan bagi dakwah Islam. (Diyan)