YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Lestarikan budaya lokal, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan pelatihan batik tulis dan teknologi pewarna alami yang ramah lingkungan. Melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) program ini bekerja sama dengan Joglo Balai Agung Cendana. Program tersebut dibuka dengan Pelatihan Batik Tulis dan Pewarnaan Alami pada Senin (14/6) di Joglo Balai Agung Cendana yang turut dihadiri oleh Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati Paku Alam X sebagai Wakil Ketua Dekranasda DIY.
Program tersebut diinisiasi oleh Dr. Ir. Zahrul Mufrodi, S.T., M.T., IPM. (Ketua), Bambang Robi’in, S.T., M.Eng., dan Rachma Tia Evitasari, S.T., M.Eng. Zahrul menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan branding produk batik tulis pewarna alami pada Balai Agung Cendana Batik Tulis Yogyakarta di samping itu juga untuk membantu memulihkan perekonomian warga masyarakat di masa pandemi Covid-19.
“Saat ini tim dari UAD mengembangkan proses mordanting menggunakan kitosan. Kitosan berasal dari kulit udang, sehingga ramah lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan kitosan akan meningkatkan warna yang terserap pada kain, sehingga warna yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Penggunaan kitosan meningkatkan penyerapan zat warna ke dalam kain sehingga diharapkan proses pewarnaan menjadi lebih cepat dan tidak memerlukan pencelupan berkali-kali,” jelas Zahrul.
Zahrul mengungkapkan, batik yang banyak beredar di masyarakat saat ini adalah batik dengan pewarna sintetis atau naphtol. Limbah air dari penggunaan naphtol dapat mencemari air dan lingkungan. Berbeda dengan batik dengan pewarna alami yang memiliki warna yang unik dan kalem. Selain itu, Pewarna alami juga umumnya merupakan zat antioksidan aktif.
“Penyuluhan dan pelatihan ini bertujuan agar para pengrajin batik paham proses-proses yang terjadi pada pewarnaan kain. Untuk medapatkan warna pada kain proses yang dilalui tidak hanya mencelupkan kain ke dalam pewarna. Ada proses awal dengan menambahkan bahan mordan yang berfungsi untuk menjembatani kain dengan pewarna alami, umumnya mordan yang digunakan adalah mordan logam seperti tawas, tunjung, dan kapur,” terangnya.
Setelah proses pramordanting, kain baru dicelupkan ke dalam pewarna, proses ini harus dilakukan beberapa kali agar medapatkan warna yang diinginkan. Proses yang terakhir yaitu fiksasi dengan mordan, untuk mengunci warna pada kain agar tidak mudah luntur.
Pewarna alami sesuai namanya didapatkan dari bahan alam, utamanya dari tumbuh-tumbuhan, baik dari bagian kayu, kulit kayu, akar, daun, maupun bunga. Namun tidak semua pewarna alami dapat digunakan sebagai pewarna kain. Sumber zat warna alami yang bisa digunakan antara lain mahoni, jalawe, teger, jambal, dan tingi yang memberikan warna kecoklatan atau sogan, serta kayu secang yang memberikan warna merah muda.
“Pembuatan kain batik menggunakan pewarna alami ini tidak tanpa kendala. Zat warna alami cenderung memiliki kekuatan ikat ke kain katun yang rendah sehingga proses produksi tidak sepraktis menggunakan zat warna sintetis. Sehingga kami menginisiasi proses mordanting dengan kitosan agar pembuatan batik lebih ramah lingkungan,” tandasnya.
Zahrul menambahkan bahwa pelatihan batik dan pewarnaan alami tersebut akan dilakukan selama sebulan penuh. Tidak hanya melatih dan memberikan penyuluhan saja, namun tim UAD akan melakukan pendampingan dari proses produksi hingga pemasaran yang kurang lebih akan dilangsungkan selama tiga tahun ke depan. (Ard/Th)