Berguru Kepada Kiai Slamet Ahmad
Kiai Slamet Ahmad, Kepala Sekolah PGA VI Th Ma’had Islamy Kotagede. Dia kepala sekolah saya. Sekolah guru agama yang semula pesantren. Dan hawa pesantren masih kental ketika 6 tahun disitu. Banyak guru yang mengajar mirip kiai pesantren. Guru ilmu agama dan guru ilmu alat kalau mengajar asyik. Yang mengajar ilmu fikih dan ushul fikih selalu memulai dengan doa ya fattahu ya ‘alim, mirip kalau Ayah memulai mengajar mengaji di emper rumah. Doanya mirip.
Guru yang mengajar bahasa Arab, nahwu shorof dan mahfudlot. Kalau pas tasrifan, murid memukul meja berirama. Terdengar gemuruh mengganggu kelas lain yang hanya dibatasi dinding bambu. Ganti kalau kelas lain tasrifan, murid kelas itu balas dendam. Memukul meja berirama.
Kiai atau pak Slamet Ahmad putra Kiai Ahmad Kotagede. Kiai yang fenomenal pada zamannya. Kalau dia berkhutbah, tidak ada jamaah yang berani mengantuk. Kiai Ahmad sering turun dari mimbar, sambil terus berkhutbah dengan suara lantang. Dia datangi orang yang mengantuk sampai karena takut, ngantuk orang itu pergi.
Pada sekitar tahun 1940, waktu itu Ayah saya berusia 14 tahun, waktu Jum’atan menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Ahmad turun dari mimbar mendatangi deretan orang-orang kaya, para juragan. “Hai, sampeyan jangan menunda-nunda ya kalau membayarkan upah buruhmu atau para sobatmu. Kalau sampeyan sampeyan menindas buruh sampeyan, Allah akan menurunkan malapetaka. Kalau sampeyan baik dengan mereka, maka itu bisa menjadi tolak bala” demikian cerita Ayah suatu ketika. Kemudian Jepang datang menjajah dengan tangan besi. Ketika saya tanya kenapa Kiai Ahmad suka gitu sih kalau berkhutbah? “Karena banyak pengkhotbah suka menyembunyikan ayat padahal sangat diperlukan masyarakat,” kata Ayah.
Ternyata kemudian ketika selama 6 tahun diajar oleh Kiai Slamet Ahmad, bayangan kiai sangar tidak muncul. Kiai Slamet sangat lembut orangnya. Dia betul-betul mengamalkan kata dalam pertengahan Al Qur’an, dalam surat Al Kahfi, falyatalatthof, hendaknya kamu berlemah lembut. Kata katanya termasuk jenis qoulallayyina. Kata lembut yang justru membuat orang tunduk dan hormat.
Kami murid PGA menghormati beliau. Lucunya, meski beliau ahli bahasa Arab, di kelas malah mengajar bahasa Inggris. Dan pesannya malah mengharapkan kami rajin belajar bahasa Arab. ” Tingkat kesulitan belajar bahasa Arab itu berlipat sulit dibandingkan bahasa Inggris. Dengan mahir bahasa Arab maka akan mudah belajar bahasa Inggris.
Yang diajarkan oleh beliau adalah bagaimana membaca teks Inggris, sama dengan muthola’ah dalam bahasa Arab. Ternyata dalam mengucapkan kata-kata dan kalimat dalam bahasa Inggris itu ada semacam tajwid dan makhraj hurufnya. Kami harus fasih mengucapkan, termasuk panjang pendeknya ucapan, seperti hukum mad dalam tajwid. Pengucapan bahasa Inggris model lama ini sering ditertawakan anak saya kemudian hari karena pengucapan bahasa Inggris sudah ada yang model baru.
Kiai Slamet juga mengajarkan perubahan kata kerja dalam bahasa Inggris kalau berkaitan dengan penggunaan waktu. Mirip tasrifan dalam ilmu shorof. Kami pun kembali memikul meja berirama ketika menghafalkan: go going went gone go going went gone. Ketika di kemudian hari saya bersama teman-teman nonton film midnight show di bioskop Soboharsono berjudul Gone With The Wind, saya pun ingat pelajaran shorof bahasa Inggris ini.
Untuk lebih memudahkan mempelajari aneka bahasa, Guru yang tidak pernah marah ini menggunakan metode lintas bahasa. Kata kata dalam bahasa Inggris dijejerkan terjemahan dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia dan kalau perlu bahasa Jawa. Sekali kayuh pelajaran banyak bahasa terlampaui. Ini ternyata efektif sekali bagi kami.
Karena lembut perasaannya, maka ketika bagian keuangan sekolah lapor ke beliau bahwa saya terlambat membayar uang sekolah beliau ketika pelajaran selesai mendekati saya. ” Salam nggih untuk Kang Wazir,” katanya mengirim salam untuk Ayah.
Dan Ayah maklum dan bisa mengetahui makna di balik salam itu. Dan saya beruntung, di bawah kepemimpinan beliau, karena rajin belajar, saya pernah dinobatkan menjadi bintang pelajar sekolah saya dan mendapat penghargaan gratis sekolah selama satu tahun. Sepulang dari acara ini, setelah saya menyerahkan piagam penghargaan, Ayah ganti mengirim salam untuk beliau sekaligus mengucapkan terima kasih. Saya terharu dan merasa hubungan Ayah dengan beliau dekat. Biasanya orang yang memanggil Ayah dengan sebutan Kang, hubungannya dekat.
Kiai Slamet Ahmad selalu berpakaian rapi, menyisir rambut juga rapi, berkacamata tebal dan selalu siap tersenyum. Suaranya empuk. Ini menyebabkan ilmu yang beliau berikan mudah masuk ke kepala muridnya. Dan banyak nasehatnya tidak pernah dilupakan murid-muridnya.
Salah satu nasehat yang mempengaruhi hidup saya berbunyi,”Kalau seseorang mau melakukan ikhtiar yang tidak biasa, ikhtiar yang luar biasa maka dia akan memperoleh hal yang luar biasa pula.”
Awal mulanya saya kurang paham dengan nasihat itu dan saya menyangka ini berkaitan dengan cara memperoleh kesaktian. Tapi beliau kan berpaham agama model Muhammadiyah, jadi yang ia maksud tentu bukan tentang kesaktian. Kalau toh tentang kesaktian, yang dimaksud pasti sekitar kesaktian intelektual bukan kesaktian dalam ilmu gelut.
Karena saya menafsirkan sebagai kesaktian intelektual maka saya meneliti jalur-jalur pengembangan intelektual yang mungkin ditempuh, kalau bisa dilakukan secara simultan. Saya melihat dalam profesi yang berkadar intelektual yang bisa ditempuh secara otodidak adalah bergerak dan berprestasi di dunia sastra, jurnalistik dan sekaligus perbukuan.
Kebanyakan orang hanya menekuni satu dunia, sastra saja, jurnalistik saja atau perbukuan saja. Ada yang mampu berpijak pada dua kaki. Sastra dengan jurnalistik. Jurnalistik dengan perbukuan. Atau sastra dengan perbukuan. Langka atau jarang waktu itu yang bergerak di tiga dunia sekaligus. Ya aktivis sastra, aktivis jurnalistik sekaligus aktivis perbukuan. Ini merupakan ikhtiar yang tidak biasa, menurut istilah Kiai Slamet Ahmad, dan siapa yang mau dan mampu menekuni ikhtiar ini akan mengalami sesuatu yang lebih.
Inilah yang saya tempuh sehabis saya belajar di kampus resmi, di balai pendidikan wartawan, di kampus sastra Malioboro dan belajar mulai awal menerbitkan buku di Shalahuddin Press. Waktu itu saya nekad bekerja rangkap. Bekerja di dunia jurnalistik, sekaligus di penerbitan buku dan terus tekun menulis karya sastra dan berhasil mendapat penghargaan sebagai penulis puisi, novel, geguritan dan penghargaan sebagai aktivis sastra. Dunia jurnalistik terus saya tekuni walau harus berpindah media.
Ternyata saya mendapat kemudahan-kemudahan dengan memasuki tiga dunia ini. Ketekunan saya sebagai wartawan yang suka mewawancarai narasumber berkualitas memudahkan saya ketika penerbit menugaskan saya mencari naskah yang layak diterbitkan. Ketika saya bekerja di penerbit Shalahuddin Press dan Bentang misalnya, narasumber wawancara kemudian menjadi sumber naskah buku. Skripsi, tesis, desertasi, makalah seminar dan laporan penelitian kami buru kemudian diolah dan diedit menjadi naskah buku yang gurih dan lezat dibaca. Sebaliknya saya mudah sekali mendapatkan bahan penulisan puisi, cerpen, novel, esai dan artikel untuk jurnal budaya karena saya aktif di jurnalistik dan perbukuan. Ketika suatu hari saya ingin menulis novel dengan tokoh pelaku yang hidup di kota Malang misalnya, tiba tiba menjelang Muktamar Muhamadiyah ke 45 saya banyak ditugaskan ke UMMalang. Sehabis Muktamar saya mengikuti Rakernas Majelis di Malang juga. Tentu kesempatan ini saya manfaatkan untuk melakukan observasi dan investigasi ke pelosok Malang Raya.
Demikian juga ketika saya mengikuti pertemuan Nasional wartawan di Padang dan pertemuan sastrawan internasional di INS Kayutanam. Saya masuk pelosok tanah Minang dan mendapatkan banyak bahan untuk menulis novel dengan tokoh orang Minang.
Kegiatan jurnalistik majalah dan kegiatan Lembaga, dan pertemuan sastra di berbagai pelosok Jawa dan Sunda, Sulawesi, Kalimantan, NTT, NTB, Maluku dan pelosok Sumatra saya manfaatkan sekaligus untuk mengumpulkan bahan penulisan sastra. Saya pernah berburu lagu Minang untuk mendalami karakter orang Minang.
Untuk ini saya sangat bersyukur karena dalam hidup saya pernah dipertemukan dan menjadi murid kiai Slamet Ahmad. Kepadanya saya mengucapkan terima kasih tidak terhingga. (Mustofa W Hasyim)