Abu Hanifah Menawar
Tidak menutup mata, menawar sudah menjadi salah satu pokok aktivitas hidup manusia. Mulai dari barter barang dengan barang, sampai pada hal yang kini digunakan: uang dengan barang. Menawar menjadi satu pola kebutuhan satu manusia dengan manusia yang lain. Setidaknya itu yang pernah diutarakan Ibnu Khaldun, bahwa manusia itu makhluk sosial. Maka, dalam rangka meraih kebutuhannya, antarindividu akan mengurai kata sepakat.
Hanya tentu saja, sepakat menjadi satu kehendak kedua belah pihak. Bukan salah satu atau bahkan justru memaksa sepakat. Oleh karenanya, siapa pun manusianya perlu melandasi kebutuhannya menawar dan sepakat dengan Islam, iman, dan ihsan. Sehingga aktivitas menawar dan kesepakatan yang terjadi memunculkan manfaat satu sama lain.
Siapa pun dia, bahkan ulama pun akan menawar. Satu di antara sekian yang patut diceritakan adalah Abu Hanifah. Sang Alim Baghdad ini justru memiliki karakter menawar yang lain daripada yang lain. Bahkan mungkin saja disebut aneh. Ada yang tidak biasa dari cara Abu Hanifah menawar. Suatu ketika satu perempuan memperjualbelikan pakaian kepada Abu Hanifah. Perempuan tersebut memasang harga, usai ia ditanya. Ia menawarkan pakaian tersebut seharga 100 Dirham. Inilah keunikan yang terjadi selanjutnya.
Siapa sangka bila Abu Hanifah justru menyangkal harga si ibu. Beliau menawar tinggi lagi dari semula. Tanpa menyebut harga, hanya bertanya, “ibu, harganya layak lebih tinggi”. Berulang demikian sampai pada satu sepakat harga 400 dirham. Mengakui kualitas benda dengan padanan harga yang pantas. Itulah karakter menawar dari Abu Hanifah. Menawar tidaklah lantas wajib menjadi lebih murah. Jika tidak murah, maka ditinggal dan pindah penjual. Sang Alim ini memberikan teladan tidak biasa.
Barangkali kita termasuk yang masih klasik berpikir, menawar murah itu menguntungkan. Namun, seorang manusia muslim perlu memposisikan untung tidak pada dirinya sendiri. Untung laik dirasakan bersama-sama. Maka, mendapatkan harta benda dalam Islam tidak dengan batil. Satu di antara kebatilan mendapatkan harta adalah menguntungkan diri sendiri. Siapa pun dia, entah penawar atau yang ditawar.
Tentu saja, kecuali penawaran tersebut masih dalam ranah kewajaran. Wajarkah kita menawar dagangan mustadz’afin, sementara di sisi lain merasa ‘wajar’ berbelanja harga tinggi di tempat mentereng. Sang Alim Baghdad kita ini berteladan agar sejatinya penawaran tidak hanya soal mendapatkan, namun juga soal membahagiakan. Kita pun pantas memperhatikan, bahwa kita hidup dalam lingkup kebersamaan. Itulah kekuatan sosial Islam.
Sosialitas boleh jadi kita positifkan dalam ranah teladan ini. Bahwa menawar lebih tinggi justru menjadi ruang sedekah bagi Muslim. Satu sisi memperoleh kebutuhan, sisi lain membahagiakan. Membeli dengan harga lebih tidak hanya memang karena harganya sepadan. Lebih dari itu, menawar mahal boleh saja karena kepedulian kita kepada siapa yang menjajakan. Orang yang berkebutuhan telah berusaha payah memperoleh ‘hidup’ seharinya tanpa meminta sangat patut dihargai.
Tidak hanya harga moril dengan membatin suka saja. Patutlah juga dengan harga materiil lebih dalam rangka menyuburkan kesejahteraan. Mereka adalah riil dan berada di sekeliling kita. Petani dengan gabah murah, simbah-simbah penjual rempeyek, anak-anak penjaja minuman di jalan, atau juga para bakul cobek batu berkilo beratnya. Marilah kita memastikan bahwa teladan Sang Imam ini menjadi sunnah sosial. Bercita-cita untuk memakmurkan, mensejahterakan, dan membahagiakan kehidupan berjamaah. (Muhammadi)
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2017