Hukum Investasi Reksadana Syariah

Investasi

Hukum Investasi Reksadana Syariah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Perkenalkan nama saya Nu’man Firdaus warga Muhammadiyah dari Yogyakarta. Ada pertanyaan yang ingin saya tanyakan, mohon untuk diberi kejelasan mengenai pandangan Muhammadiyah tentang Reksadana Syariah:

  1. Bagaimana hukum berinvestasi Reksadana Syariah? Apakah halal atau haram?
  2. Bagaimana cara menzakati harta dalam wujud Reksadana?

Terima kasih telah memberi kesempatan saya untuk bertanya, mohon untuk dijawab.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Nu’man Firdaus (Disidangkan pada Jumat, 27 Jumadilakhir 1441 H / 21 Februari 2020 M)

Jawaban:

Terima kasih kepada saudara Nu’man Firdaus yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menjawab pertanyaan yang saudara ajukan.

Sebelum membahas tentang hukumnya, alangkah baiknya diketahui pengertian reksadana syariah. Reksadana syariah adalah jenis investasi atau wadah untuk menghimpun dana masyarakat pemodal sebagai pemilik harta, yang dikelola oleh badan hukum yang bernama Manajer Investasi, untuk kemudian diinvestasikan ke dalam surat berharga seperti: saham, obligasi dan instrumen pasar uang yang sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariat Islam, antara lain dengan portofolio penempatan dana di instrumen keuangan syariah, yang bebas dari riba. Allah swt berfirman,

وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba [Q.S. al-Baqarah (20: 275].

Dalam pada itu, yang berkaitan dengan aturan pokok dalam transaksi, yakni tidak boleh memakan harta secara batil dan harus dilakukan dengan suka sama suka, Allah swt berfirman,

يَآأيُّهَا الّذِيْن آمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِاْلبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu [Q.S. al-Nisa’ (4): 29].

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah juga dikatakan,

عَنْ دَاوُدَ بْنِ صَالِحٍ اْلمَدَنِي، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِي، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا اْلبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.

Dari Daud bin Salih  al-Madani, dari ayahnya (diriwayatkan) ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah saw bersabda: hanyasaja (sahnya) jual beli itu dari suka sama suka.

Ungkapan singkat dari Ibnu Taimiyah,

الْأَصْلُ فِي العُقُوْدِ رِضَا المُتَعَاقِدَيْنِ.

Dasar dari akad adalah keridaan (kerelaan) dari kedua belah pihak.

Dalam penyelenggaraan transaksi, Islam memberikan kebebasan untuk melakukannya sepanjang tidak ada dalil yang melarang. Dalam kaidah fikih disebutkan,

الأَصْلُ فِى المُعَامَلَاتِ الِإبَاحَةُ مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Berdasarkan firman Allah swt, hadis, dan kaidah fikih di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Islam, segala macam perjanjian dalam muamalah diperbolehkan selama dilakukan suka sama suka dan tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Adapun jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariat Islam menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN MUI), nomor 20/2001 adalah,

  1. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
  2. Usaha keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
  3. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang atau pun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
  4. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman haram. Seperti yang ditetapkan dalam firman Allah swt,

يَآيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْآ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُوَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسُ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung  [Q.S. al-Maidah (5): 90].

Sedangkan nilai dan tolok ukur berbisnis dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3 disebutkan sebagaimana tercantum di bawah ini,

  1. Tidak boleh ada garar (spekulasi)
  2. Tidak boleh ada jahālah (kesamaran) dan harus dilakukan secara transparan
  3. Tidak boleh ada maisir
  4. Tidak boleh ada kezaliman (penindasan)
  5. Tidak mengandung unsur riba
  6. Tidak boleh ada al-ḍarar
  7. Tidak boleh ada kecurangan dan penipuan
  8. Tidak boleh berakibat ta’assuf (penyalahgunaan hak) dalam jangka pendek maupun jangka panjang
  9. Tidak boleh ada monopoli dan konglomerasi
  10. Objek bisnis bukan merupakan sesuatu yang haram
  11. Tidak boleh menelantarkan dan memubazirkan harta

Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3, kegiatan bisnis didasarkan atas asas-asas sebagai berikut,

  1. Al-Tauhīd
  2. Al-Amānah
  3. Al-Ṣidq
  4. Al-‘Adālah
  5. Al-Ibāhah
  6. At-Ta’awun
  7. Al-Maslahah
  8. At-Taradi
  9. Al-Akhlak al-Karimah

Berkaitan dengan produk muamalah yang berupa reksadana syariah dapat menggunakan akad wakalah dan mudarabah. Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Akad ini berlaku antara pemodal dengan Manajer Investasi (pengelola investasi reksadana). Sahib al-mal memberikan mandat kepada Manajer Investasi sebagai wakil sahib al-mal untuk melaksanakan kegiatan investasi bagi kepentingan pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam prospektus reksadana.

Adapun mudarabah adalah suatu akad atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil pengelolaan tersebut) dibagi di antara kedua belah pihak, sesuai dengan kesepakatan. Namun jika terdapat kerugian ditanggung oleh sahib al-mal karena Manajer Investasi telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan yang seharusnya, maka tidak layak jika Manajer Investasi menanggung kerugian. Akad ini berlaku antara Manajer Investasi dengan sahib al-mal. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw,

عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh melakukan tindakan berbahaya dan tidak boleh membahayakan [H.R. Ibnu Majah No. 2341].

Dalam reksadana syariah juga terdapat proses cleansing. Pada saat inilah Dewan Pengawas Syariah (DPS) berperan. Proses cleansing dalam reksadana syariah membawa visi besar syariat. Adapun yang dimaksud dengan proses cleansing di sini adalah proses pembersihan dari hal-hal yang dapat mengganggu status kehalalan dari uang yang didapat selama proses investasi berlangsung.

Dalam hadis disebutkan,

حَدَّثَنَا كَثِيْرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ المُزَنِيُّ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا” قَالَ أَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صًحِيْحٌ.

Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al-Mazaniy dari bapaknya, dari kakeknya, (diriwayatkan) bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuai syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Abu Isa berkata: hadis ini hasan sahih [H.R. at-Tirmidzi No. 1352].

Kesimpulannya adalah bahwa aktifitas ekonomi dalam Islam yang terjadi pada reksadana syariah ini dilakukan atas dasar suka sama suka, berkeadilan, tidak menzalimi dan tidak saling merugikan, yang oleh karenanya hukum berinvestasi dengan reksadana syariah adalah halal.

Mengenai pertanyaan kedua, yaitu tentang zakat dari harta yang berwujud reksadana, sudah diketahui bahwa syariat Islam telah mewajibkan zakat atas harta. Al-Qur’an memang tidak memberikan ketegasan tentang berbagai kekayaan yang wajib dizakati dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi, serta seberapa besar harus dizakatkan. Persoalan detail zakat seperti tersebut di atas dijelaskan oleh sunah Nabi saw, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.

Keadilan dan keringanan adalah prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga tidak mungkin agama akan memberikan beban yang seseorang tidak mampu menanggungnya. Oleh karena itu, Islam memberikan batas tentang sifat kekayaan yang wajib dizakati dan syarat-syaratnya. Adapun syarat harta kekayaan yang wajib dizakati,

  1. Milik penuh
  2. Berkembang
  3. Cukup senisab
  4. Lebih dari kebutuhan biasa
  5. Bebas dari hutang
  6. Berlalu setahun

Seiring dengan berjalannya waktu, cakupan zakat semakin meluas. Pada zaman ini banyak orang yang menyimpan uangnya di bank atau membeli surat-surat berharga seperti obligasi dan lain-lainnya. Terdapat peringatan tentang kewajiban zakat dalam al-Qur’an sebagaimana berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيراً مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ.

Wahai kaum mukmin, sebagian besar pastur dan pendeta memakan harta manusia dengan cara-cara menyalahi syariat Allah dan menghalangi manusia masuk Islam. wahai Muhammad, orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak mau mengeluarkan zakatnya, beritahukanlah kepada mereka adanya adzab Allah yang amat pedih di akhirat [QS. at-Taubah (9): 34].

Hadis Nabi saw,

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ ، وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ [رواه ابن ماجه].

Dari Umar Ibn al-Khattab (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang yang menyediakan (mendatangkan) barang diberi rizki dan orang yang menimbun barang mendapat laknat [H.R. Ibnu Majah No. 2153].

Zakat juga digunakan sebagai sarana untuk membersihkan harta dan jiwa. Seperti dalam firman Allah,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [Q.S. at-Taubah (9): 103].

Hukum zakat reksadana telah ditetapkan oleh para ulama pada Muktamar Internasional pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H), bahwa hasil dari keuntungan investasi wajib dikeluarkan zakatnya. Zakat reksadana dapat ditunaikan jika hasil keuntungan investasi sudah mencapai nisab. Produk reksadana yang digunakan untuk berzakat adalah reksadana syariah, yaitu produk reksadana yang dikelola berdasarkan atau mengacu pada prinsip-prinsip syariah di pasar modal (POJK No. 19/POJK No. 04/2015).

Fatwa MUI yang berupa Keputusan Komisi BI, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (masalah fikih kontemporer) pada 26 Januari 2009 M/ 29 Muharram 1430 H, yang memuat tentang zakat pada poin ke-4 yaitu: perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib zakat, wajib mengeluarkan zakat, baik sebagai syakhsiyyah i’tibariyyah (badan hukum) ataupun sebagai pengganti (wakil) dari pemegang saham.

Pada Muktamar Internasional di Kuwait, juga dinyatakan bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu mengeluarkan zakatnya. Jika belum dikeluarkan, maka para pemegang saham yang wajib mengeluarkan zakatnya.

Adapun menurut Abu Zahrah saham wajib dizakatkan tanpa melihat status perusahaannya, karena saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjualbelikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari penjualan tersebut. Ini termasuk kategori komoditi perdagangan dengan besaran zakat 2,5% dari harga pasarnya. Caranya adalah setiap akhir tahun, yang bersangkutan melakukan perhitungan harga saham pada harga pasar dan jika keuntungannya tersebut mencapai nisab, maka saham tersebut wajib dizakatkan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka kesimpulannya adalah,

  1. Perusahaan wajib mengeluarkan zakat selama deviden belum dibagikan kepada para pemegang saham. Apabila deviden sudah dibagikan maka yang wajib mengeluarkan zakat adalah para pemegang saham.
  2. Zakat yang wajib dikeluarkan melihat kepada beberapa hal,

a. Tujuan dari kepemilikan saham.

Secara umum, para pemilik saham dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar sebagaimana berikut:

b. Jenis usaha perusahaan yang mengeluarkan surat saham.

Berbagai perusahaan yang ada di masyarakat, bila ditinjau dari jenis usahanya, dapat  diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar. Klasifikasi ini memiliki pengaruh besar dalam menentukan jumlah zakat yang harus ditunaikan.

Setelah mengetahui ketiga hal yang mempengaruhi besaran zakat yang wajib ditunaikan, maka berikut adalah perinciannya:

a. Bila seseorang memiliki saham untuk diperdagangkan dan  mendapatkan capital gain, maka ia wajib menzakati seluruh saham yang dimiliki berdasarkan harga yang berlaku di pasar saham saat hendak membayarkan zakatnya, tanpa membedakan jenis bidang usaha perusahaan yang mengeluarkannya. Misalnya: Bila seseorang memiliki saham PT. Telkomsel sebanyak 10.000 lembar, sedangkan harga per lembar saham PT. Telkom yang berlaku di pasar saham adalah Rp 2.000 maka ia wajib membayarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari (10.000 x 2000) = 2,5 % x Rp20.000.000,- = Rp500.000,-.

b. Bila seseorang memiliki saham untuk mendapatkan deviden dari perusahaan yang mengeluarkan saham, maka perlu memperhatikan jenis perusahaannya:

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 1 Tahun 2021

Exit mobile version