Berguru Kepada Pak Daliso Rudianto SH
Zaman peralihan zaman mencemaskan. Ketidakpastian terasa di mana-mana. Ketidakpastian politik, hukum, ekonomi, budaya bahkan ketidakpastian sosial. Rakyat dan masyarakat punya agenda tunggal, mengembalikan dan memulihkan ketidakpastian-ketidakpastian itu.
Akan tetapi yang bukan rakyat dan bukan masyarakat cenderung memanfaatkan ketidakpastian-ketidakkastian itu dengan agenda terbuka dan agenda tertutup untuk meraih kepentingan-kepentingan diri dan kelompoknya.
Rakyat dan masyarakat tidak tahu itu, dan dengan naif mereka berusaha melakukan recovery kehidupan demokrasi dengan melakukan konsolidasi politik dan hukum agar kepastian masa depan dapat dirumuskan dan dilakukan. Setelah konsolidasi politik dan hukum tercapai, maka dengan mudah konsolidasi ekonomi, budaya dan konsolidasi sosial dapat dilakukan. Dan ini dilakukan dengan damai, adil, bersih dari korupsi-kolusi-nepotisme, merata dan berkesinambungan. Itulah yang menjadi harapan otentik dari rakyat dan masyarakat Indonesia sebelum, ketika dan sesudah reformasi tahun 1998.
Beberapa tahun sebelum reformasi ditandai dengan kekerasan berbentuk kerusuhan massa dimulai dari sebuah kota di Jawa Barat lalu meluas ke beberapa kota di Jawa. Lalu terjadi kekerasan maksimum berbentuk gerakan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok ninja dengan korban kiai kecil di kampung dan desa. Lalu muncul kekerasan yang lain berbentuk bentrok sesama pendukung partai politik.
Setelah itu muncul kekerasan ekonomi dengan aktor yang belum diketahui sampai hari berbentuk krisis moneter yang bertransformasi menjadi krisis ekonomi. Lalu ada pemilu yang terasa gothang karena ada partai yang diduga memilih golput dan melakukan gerakan golput sehingga ada partai yang mendapat durian runtuh alias limpahan suara. Lalu dibentuk kabinet ‘akhir zaman Orba’ karena berumur tiga bulan dan keadaan memanas lagi, muncul demonstrasi menuntut suksesi nasional yang kemudian entah dari mana asal usulnya muncul kerusuhan hebat di Solo dan Jakarta yang mirip lonceng pertarungan tinju bahwa permainan Orde Baru harus berakhir.
Reformasi berwajah suksesi sukses. Dan rakyat bersama masyarakat menyambut gembira karena agenda pemulihan demokrasi bisa segera dilakukan lewat pemilu. Ketidakpastian-ketidakkastian ekonomi, hukum, sosial dan ketidakpastian-ketidakkastian politik akan sirna dan sembunyi ke balik cakrawala.
Bangsa Indonesia perlu bersyukur dan beruntung karena pada era transisi atau peralihan ini BJ Habibie seorang teknokrat dan idealis demokrat tulen yang mengemudikan negara dan bangsa. Karena keahliannya di bidang teknologi pesawat terbang ia tahu betul apa yang harus dilakukan oleh pilot pesawat terbang bangsa dan negara agar tidak crash atau njepluk membentur tanah berkeping. Dengan panduan ilmu, data, kecerdasan strategis dan cinta tanah air yang puncak ia bisa menyelamatkan ekonomi bangsa dengan memulihkan krisis moneter dengan parameter kurs dolar terhadap rupiah bisa dijinakkan.
Habibie memberi ruang kepada koperasi untuk melakukan recovery kehidupan ekonomi bangsa bersama potensi BUMN dan kelompok informal. Bahkan dia sudah mulai membangun poros ekonomi Indonesia-Eropa. Tetapi karena naif, dalam perjalanan ke Eropa dia mampir dan bersilaturahmi ke Turki dan Iran karena presiden dua negara itu kenalan dia waktu kuliah di Jerman. Langkah silaturahmi ini disorot tajam demikian juga keinginan Habibinomic berbasis poros Indonesia-Eropa.
Kedua gerakan ekonomi dan politik ini dianggap blunder. Ditambah blunder ketiga ketika lewat kebijakan referendum di Timor Timur berujung pada lepasnya Timor Timur. Sebagai seorang demokrat tulen dan konsekuen ini memandang langkah referendum sebagai langkah paling demokratis dan adil sekaligus melepaskan Indonesia dari sandera politik Internasional sehingga dia bisa berfokus kepada menyejahterakan rakyat sekaligus mengawal konsolidasi demokrasi yang transparan.
Ternyata Habibie yang lugu dan polos dalam berpolitik karena baginya politik kebangsaan dan politik kerakyatan adalah yang terbaik justru berhadapan dengan musuh politik yang memiliki agenda parsial yang terbuka dan tertutup untuk kepentingan mereka dan kelompoknya. Inilah yang menyebabkan langkah dan maksud dia untuk terpilih menjadi Presiden definitif lewat pemilihan di MPR terganjal.
Sehabis gagalnya Habibie menjadi Presiden definitif ini, menurut Pak Daliso Rudianto rakyat Indonesia kembali memasuki era berkembangnya kekerasan politik (politik dengan jurus kekerasan) yang berkelanjutan.
Pak Daliso Rudianto prihatin dengan kondisi dan situasi rakyat Indonesia ini. Dia juga gelisah karena kalau ada bentrok di antara rakyat karena alasan politik korban yang jatuh sebagai tumbal politik ya rakyat itu sendiri. Yang bukan rakyat dan bukan masyarakat malah bisa berjual beli kekuasaan di atas penderitaan rakyat ini.
“Kekerasan politik dan kekerasan apa pun harus dihentikan. Dan mari kita mulai mendiskusikan akar-akar kekerasan ini,” kata Pak Daliso Rudianto ketika membuka forum diskusi kelompok Lembaga Studi Kebijakan dan Analisis Sosial PROSPEK di rumahnya di Warungboto.
Anggota diskusi kebanyakan wartawan yang waktu itu kesulitan ekonomi dan mengalami disorientasi dalam mencari dan menulis berita. Ditambah orang kampus dan mantan aktivis LSM. Dengan melakukan diskusi, semuanya sesungguhnya sedang melakukan reorientasi masa depan dan membuka peluang mobilitas sosial atau ekonomi pribadi dan keluarga.
Karena anggota diskusi menurut pengamatan Pak Daliso adalah orang yang jujur, bersemangat mengabdi lewat profesi tetapi saat itu rawan ekonominya maka sebelum pulang sehabis diskusi Pak Daliso memberi uang transport yang diterima dengan senang hati karena bisa menenteramkan keluarga.
“Teman teman jangan terikat tersandera oleh amplop ini. Dalam diskusi kita, semua boleh membantah dan mendebat saya. Sepakat?”
Tentu semua anggota kelompok diskusi ini sepakat.
Lantas apa yang perlu dilakukan melihat kenyataan adanya mata rantai kekerasan yang terjadi di tanah air?
Dalam diskusi LPSAS Prospek dilacak satu persatu. Pertama, ditemukan bahwa kekerasan itu berakar dari kata dan bahasa. Kata-kata yang masuk ke dalam kesadaran sampai bawah sadar manusia Indonesia mengandung energi dan aura kekerasan. Contoh kecil, setiap orang melakukan kegiatan menonaktifkan alat maka kata yang dipakai adalah matikan. Matikan listrik, matikan api, matikan mesin, matikan lampu, matikan radio, matikan televisi, matikan telepon. Kata matikan untuk kerja atau perbuatan menonaktifkan sesuatu lama kelamaan menjadi landasan untuk melakukan langkah kekerasan pada hal-hal yang lebih luas. Misalnya, matikan langkah politiknya.
Kekerasan bahasa berupa kata dan kalimat-kalimat politik yang merupakan warisan Orde Lama seperti ganyang, bakar, retul, tumpas habis, kemudian diadopsi oleh Orde Baru dengan diberi penghalusan, meski kadang masih terasa keras dan kasar seperti libas, gempur, sikat. Kata kata halus tetapi mengandung hawa kekerasan bertebaran di mana-mana seperti amankan, kandangkan, gusur, pembersihan, pembebasan lahan, pemberian ganti rugi.
Warisan Orde Lama dan Orde Baru yang masih dipergunakan banyak orang pasca suksesi nasional adalah adalah kata yang mengandung stigma tertentu yang kemudian digunakan untuk memberi label buruk sehingga layak atau pantas didiskriminasi. Misalnya stigma: ekstrim, sempalan, anti Pancasila, primordial, militan, eksklusif, fundamentalis, radikalis bahkan peneliti asing menambah stigma buruk dengan menambahkan idiom dakwahis, jihadis dan semacamnya.
Kata dan kalimat bernuansa kekerasan ini juga ditemukan dalam sastra klasik, pewayangan dan sejarah kerajaan-kerajaan, dan sejarah penjajahan atau sejarah kolonial. Plus sejarah politik nasional di era Orde Lama dan Orde Baru. Matarantai kekerasan membentuk kekerasan yang kontinyu dan berlapis-lapis. Sebagai wartawan dan Redaksi media yang berpuluh tahun bekerja pun merasakan pengalaman pahit menderita tekanan dan kekerasan wacana, dan wartawan kadang menderita karena menjadi korban kekerasan fisik yang tidak suka pers membongkar penyimpangan struktural misalnya.
“Kita harus melakukan diskontinuitas sejarah, diskontinuitas kekerasan seperti ini,” kata pak Daliso.
Caranya beragam. Dimulai dengan melakukan kampanye demokrasi tanpa kekerasan. Dengan menulis buku, mengisi dialog interaktif di radio juga menulis di koran. Anatomi kekerasan, mekanisme kekerasan, ekosistem kekerasan, kecenderungan aktor kekerasan dibongkar dan dianalisis habis-habiskan. Simbol kekerasan digembosi. Misalnya dengan mengusulkan agar satgas partai diganti seragamnya, dari seragam tempur loreng menjadi seragam yang ramah di mata, seragam batik misalnya. Kata pertarungan politik pada pemilu diganti dengan kompetisi politik, yang kemudian malah ada yang mrnbablaskan menjadi pesta politik untuk kamuflase transaksi politik pra pemilu, saat pemilu dan pasca pemilu.
Produksi dan reproduksi kekerasan perlu diperhentikan dan digantikan dengan usaha produksi dan reproduksi perdamaian, kelembutan dan saling memahami dalam saling percaya yang maksimal.
Itulah idealisasi-idealisasi langkah menuju masa depan politik, budaya, hukum, sosial dan ekonomi yang damai berkeadilan untuk kemanusiaan yang beradab.
Ketika disadari betapa berat dan sulitnya mengubah keadaan negara dan bangsa sesuai keinginan itu maka pak Daliso menyarankan untuk mengubah kualitas dan dan kapasitas diri pribadi. “Kita ndandani urip kita dulu kalau belum bisa ndandani masyarakat,” katanya.
Pak Daliso di sela kesibukan bekerja dan diskusi kemudian menyibukkan diri dengan beribadah, dengan melakukan Riyadhah, berpuasa, membaca wirid dan bersedekah dengan ilmu dan hartanya.
Kelompok diskusi ini kemudian bubar tanpa upacara. Anggota kelompok diskusi sudah mendapat bekal untuk meningkatkan kualitas pribadinya. Ada yang rajin dan produktif menulis, ada yang mendirikan penerbitan, ada yang tekun melakukan berbagai eksperimen teknologi Lingkungan, ada yang merampungkan kuliah S2 dan S3 lalu masuk kampus di Kalimantan.
O, ya, sebelum bubar, kelompok diskusi ini pernah menggembosi semangat tokoh daerah yang ingin merdeka. Caranya dipuji, bahwa keahlian dia dan ketokohan dia lebih bermakna secara nasional kalau dia ke pusat ketimbang jadi tokoh daerah. Dia senang dengan masukan ini dan pergi ke Jakarta sebagai ahli politik kedaerahan yang berguna untuk merumuskan strategi otonomi daerah.
Memang, pasca reformasi, ketika ada yang menyangka kontrol pusat di daerah mengendor muncul banyak gejolak di daerah, konflik horizontal, konflik vertikal, konflik komunal mewarnai hari hari dan berita. Ada tokoh nasional dari Indonesia timur, Jusuf Kalla yang muncul sebagai juru damai dan juru runding sehingga konflik konflik itu bisa mereda dan padam. Hadiah Nobel perdamaian sebenarnya layak diterima, kalau ada yang mengusulkan.
Ketika keadaan mendingin dan menjadi hangat secara musiman setiap menjelang pemilu, Pak Daliso Rudianto kembali menekuni keahlian dia sebagai notaris dan ahli hukum pertanahan. Ketika naluri diskusi bangkit pak Daliso aktif mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Majelis Ilmu Nahdlatul Muhamadiyyin di pendapa rumahnya. Kali ini yang datang adalah aktivis Muhammadiyah dan NU, berusia muda dan berupaya mengembang biakkan kebaikan dua ormas ini ke tengah masyarakat. Kajian sengaja berfokus pada masalah muamalah secara luas. Diskusi berjalan beberapa tahun sampai kemudian karena usia Pak Daliso memilih non aktif. Tidak bisa mengikuti diskusi sampai malam. Diskusi NM pindah ke lain tempat.
Setelah itu beliau sesungguhnya sering gelisah melihat keadaan masyarakat dan bangsanya yang sering kurang jelas arahnya. Karena saking gelisah, pak Daliso umroh ke tanah suci menenangkan diri. Lucunya, di tanah suci malah teringat sahabatnya di tanah air.
“Kang Mus, saya malah teringat sampeyan di sana. Maka langsung saya doakan agar sampeyan bisa umroh dan naik haji,” katanya yang langsung saya amini.
Kemudian antara saya dengan Pak Daliso saling memanggil Kang hubungannya menjadi personal. Karena rajin melakukan riyadhah, dia sering mendapat pengalaman spiritual yang mendebarkan. Kalau sudah demikian, dia menelepon saya ingin ketemu.
“Kang, sing saya alami ini berakibat syirik nggak ya?”
Kalau mendapat pertanyaan rumit seperti ini pedoman untuk menjawabnya berdasarkan pengalaman Ayah dan arahan pak AR Fakhruddin. Insya Allah kalau benar mensikapi tidak menjadi syirik.
“Yang jelas pengalaman rumit dan muskil seperti ini jangan dipublikasikan. Cukup jadi pengalaman personal saja. Di Muhamadiyah ini disebut pengalaman ‘irfani. Pengalaman yang melampaui pengalaman bayani dan burhani. Di dalam ilmu filsafat disebut kebenaran intuitif, ” kata saya sedikit membantu menenangkan hati.
Memang sebagai kader Muhammadiyah yang dididik para ulama murid KHA Dahlan dia selalu berpedoman pada arahan tokoh Muhammadiyah. Termasuk arahan dalam berijtihad. “Saya pernah melakukan ijtihad budaya ketika menjadi Ketua Umum Ikatan Bela Diri Tenaga Dalam. Saya berusaha memberi pengertian yang benar tentang tenaga dalam dan membersihkan dari praktek yang bisa menjurus kepada kemusyrikan. Ketika hal ini saya sampaikan kepada Pak AR Fakhruddin, beliau bilang, Ya sing ngati-ati wae,” katanya.
Sebagai kader Muhammadiyah, Kang Daliso dalam beragama mengutamakan rasionalitas. Ketika berceramah hal ini dia pegang. “Saya ini rasional tetapi sekaligus humanis,” katanya kemudian memberikan contoh.
Suatu hari dia diundang untuk mengisi pengajian di pinggir kota. Masyarakat kurang mampu yang keberagamaan mereka masih minim. Sebelum pengajian dimulai, ketika transit di rumah panitia pengajian, ketua panitia bilang, “Maaf nggih Pak. Tolong Bapak nanti jangan memarahi kami nggih seperti yang dilakukan mubaligh bulan lalu. Jamaah kami nyaris bubar. Ketika saya bilang bahwa guru ngaji kita malam ini orangnya ramah, semanak, dan kalau bicara menyejukkan, mereka mau datang ke pengajian ini.”
Diposisikan sebagai orang ramah, semanak dan menyejukkan, Pak Daliso terharu. Sebagai murid tari Romo Sas yang terkenal lembut, dia mudah tersentuh rasa kemanusiaannya.
“Memang sulit lho Kang, rasional sekaligus humanis,” komentar saya.
Kang Daliso Rudianto hanya tertawa. (Mustofa W Hasyim)