Efek Multiplayer
Kata multiplayer terdengar religius-akademik ketika dikenalkan di kajian Ranting Istimewa Kotabaru, Malaysia. Biasanya ungkapan tersebut identik pada permainan digital. Salah satu opsi di mana pemain bias putuskan untuk bermain tunggal (single player) atau minimal berdua (multiplayer). Adalah Sonny Zulhuda, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia yang memperdengarkan istilah tersebut di hadapan jamaah Muhammadiyah sana. Sebuah kumpulan ‘besar’ yang diinjeksi ruhiyahnya untuk bersemangat melakukan amal pergerakan.
Multiplayer sejatinya sama halnya dengan jamaah yang amat sangat masyhur di telinga. Multi berarti banyak dan player berarti pelaku. Demikian pun dengan jamaah. Asli kata dari jama’a-yajma’u-jam’an/jamâ’atan yang berarti kumpul/kumpulan. Kata ini sangat sederhana, sesederhana ucapan lain, namun ruh yang dimiliki begitu prinsipil. Mengapa prinsipil? Karena nyatanya multiplayer sudah menjadi lahiriyahnya manusia diciptakan.
Adam tidak mungkin tidak bermulti, maka Allah ciptakan pendamping dirinya: Hawa. Pada masa yang lain, Muhammad Saw pun mewanti-wanti, ‘alaikum bi’l jamâ’ah (hendaknya kalian itu berjamaah/bermulti). Alasannya mengapa? Rasulullah Saw sampaikan bahwa itu menjauhkan dari setan. Namun tentu saja, jamaah di sini adalah kumpulan pelaku yang berpositif diri.
Multiplayer memiliki efek yang bukan main dalam hidup manusia. Tinggal efek apa yang mau diambil sebagai panduan. Karena Ali, menantu Sang Rasul Saw, pernah berpesan bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan digilas oleh kebatilan yang terorganisir. Pesan Ali tersebut menunjukkan bahwa berjamaah atau bermulti itu tergantung siapa yang berperan. Orang yang baik bisa, demikian juga yang jahat. Jika Allah memanggil mukmin dengan bentuk berbilang, maka itu menunjukkan bahwa multiplayer itu urgen.
Para pelaku yang berjamaah dalam hal kebaikan berefek pada mutu hidup duniawi dan ukhrawi. Kepedulian, kepekaan, dan atau empati menjadi watak orang-orang yang memilih multi daripada single. Maka tidak heran jika Sabda Muhammad Saw nyatakan status setiap kita sebagai pemimpin. Pemimpin yang bekerjasama pada bidangnya masing-masing. Terorganisir dan tertata baik. Itulah sesungguhnya pula yang dijalankan para sahabat pendahulu kita. Struktur pemerintah terposisikan rapi. Lebih dari itu, ada mekanisme kepekaan terhadap suatu hal negatif. Itulah yang ditunjukkan Abu Bakar pada pidato kenegaraannya, “jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku”.
Kebaikan perlulah ditata bermulti-multi player. Jika contoh teladan baik ditiru, lantas ditiru kembali, maka kebaikan pun akan berlipat. Sudilah kita bisa menjadikan multi level sebagai proses ajakan kebaikan. Mengamati, meninjau, memberikan prospek religi, lantas mengajak yang khair lagi yang makruf. Itulah multi power yang sudah dimiliki umat Islam. Allah tegas telah menyebut, bahwa umat Islam adalah khairu ummah (umat terbaik). Hanya saja status tersebut adalah status bergantung. Bergantung pada apa? Bergantung pada ta`murûna bi’l ma’rûfi wa tanhauna ‘ani’l munkari wa tu`minûna bil’Lâh (…yaitu mereka yang memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran serta beriman kepada Allah). (Muhammadi)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017