Berguru Kepada MT Arifin
Halaman depan selatan Senisono. Warung makan atau restoran dengan suasana santai. Tempat duduk dari kayu dan bambu. Malam. MT Arifin menunggu saya setelah ada acara di Yogya. Saya menuju tempat ini setelah kerja lembur di lantai dua kantor Suara Muhammadiyah dekat RS PKU. Waktu itu saya sudah dan masih Redaksi Pelaksana Suara Muhammadiyah.
“Piye kabare, Mas?” sapa MT Arifin ramah begitu melihat saya datang.
Ini sebuah wawancara yang unik. Saya sebagai wartawan malah ditraktir makan malam oleh narasumber. Narasumber yang sekian tahun sebelumnya menjadi anak buah saya di Koran Masa Kini pembaruan yang berkantor di jalan Suroto Kotabaru. Saya menjadi redaktur halaman daerah, dan MT Arifin yang dosen UMS memimpin biro daerah Surakarta. Dia berkantor di kantor PDM Solo di belakang jalan Slamet Riyadi.
Waktu itu zaman awal internet dan awal koran menggunakan kompugrafik untuk menghasilkan huruf yang dicetak pada lembar kertas foto yang kemudian ditempelkan di kertas lay out.
Awal jaman internet ini, kalau saya pada jam yang telah sepakati ingin kontak dengan MT Arifin atau anak buah dia yang bertugas mengirim berita, masing-masing berada di depan komputer dalam posisi on. Lalu kami sepakat, pada detik yang sama menekan tombol enter. Kami terhubung, bisa komunikasi dan Biro Surakarta dengan lancar mengirim berita. Karena biro ini dipimpin oleh seorang MT Arifin maka berita yang dikirim bagus-bagus. Wawancara dengan ahli, pendalaman berita, dan feature yang unik. Sebelumnya, saya memesan berita lewat telepon. Hampir tidak ada rencana penggalian berita yang gagal. Semua sukses diliput dan digali. Ini terjadi karena dia sebagai kepala biro punya naluri sebagai peneliti.
Ketika ketemu di rumah makan Senisono zaman sudah berubah, dan sudah muncul handphone walau belum smartphone. Jadi saya berkomunikasi dengan berjanji akan ketemu dia lewat telepon dan SMS.
Ketika saya ingatkan peristiwa di zaman enter, kalau mau kirim berita lewat internet itu, MT Arifin tertawa.
Setelah menghabiskan makan malam, dan dua teh panas dan gorengan menemani obrolan saya mulai wawancara panjang dengan MT Arifin.
“Sebenarnya, bagaimana sih hubungan Muhamadiyah dengan kebudayaan?” Tanya saya memulai wawancara
Wajah MT Arifin makin cerah mendapat pertanyaan ini.
“Hubungannya erat sekali. Sebab saya menilai, Muhammadiyah itu gerakan kebudayaan. Muhammadiyah dengan kebudayaan menyatu. Tidak dapat dipisahkan. Bagaimana mau memisahkan, wong Muhamadiyah bergerak pada lini dan jurusan nilai-nilai. Kebudayaan kan juga bergerak pada lini dan jurusan nilai-nilai,” tuturnya mulai membahas masalah krusial di Muhammadiyah.
Tape recorder terus berputar merekam penuturan MT Arifin yang bertahun-tahun tinggal di kota Solo, dia kuyub dengan masalah dan kegiatan budaya di sana.
Apa yang dia sampaikan menarik. Orang tidak bisa mempertentangkan Muhamadiyah dengan kebudayaan sebagaimana orang tidak perlu mempertentangkan antara agama dengan kebudayaan. Kedua bisa dibedakan, untuk keperluan analisis, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan
Saya makin tertarik dengan uraian dia dan terus minta bukti-bukti bahwa Muhamadiyah adalah gerakan Kebudayaan. Dia lantas memberikan banyak bukti. “Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan. Pendidikan merupakan wahana transfer, transmisi dan transformasi nilai, ilmu dan ketrampilan dari generasi ke generasi berikutnya. Langkah Muhamadiyah ini sudah kebudayaan banget,” tuturnya bersemangat.
Muhammadiyah bergerak, sejak awal di bidang tabligh, taman bacaan dan mendirikan atau mengoperasikan media cetak di mana-mana, termasuk menerbitkan Suara Muhamadiyah di awal abad ke 20.
“Untuk kesenian bagaimana kiprah Muhamadiyah?”
“Muhammadiyah itu gudangnya kegiatan kesenian. Lengkap, seni daerah, seni yang bersifat nasional dan kesenian kelas dunia, semua dirambah oleh orang Muhamadiyah.”
MT Arifin kemudian memberi contoh, pernah lagu utama Kongres Muhamadiyah di Solo berupa gending Jawa. “Siapa yang merintis seni drum band di Indonesia? Muhammadiyah. Pawai budaya yang kita sebut Pawai Ta’aruf di setiap Muktamar, Tanwir, Musywil, Musyda, Musycab dan Milad? Muhammadiyah. Belum lagi seni olah raga sepak bola dan beladiri pencak silat modern.”
Saya di kemudian hari menemukan bagaimana di kampung Muhamadiyah seperti Kauman kalau malam kesenian tujuh belasan muncul warga kampung yang tampil menyanyikan lagu barat seperti lagunya Elton John, Demi More dan lagu soundtrack film terbaru.
Wawancara atau lebih tepatnya diskusi budaya di rumah makan Senisono berlangsung hangat sampai lewat tengah malam. Rumah makan memberi sinyal akan tutup dan kami berhenti berdiskusi.
MT Arifin kembali pulang ke Solo naik Jeep, dan saya berjalan kaki pulang ke rumah.
Setelah Harian Masa Kini tutup berganti Harian Yogya Post, Biro Surakarta juga tutup. MT Arifin lebih aktif di kampus UMS menjadi Kepala Litbang UMS. Waktu itu ada dua pilar gerakan intelektual (gerakan ilmu) di UMS. Litbang UMS yang dipimpin MT Arifin dan FA (Forum Akademik) UMS yang dipimpin mas Nurhadiantomo.
Menjelang Muktamar Muhamadiyahe 41 di Solo tahun 1985 UMS menyelenggarakan seminar nasional yang membangunkan Muhamadiyah bahwa ada dua masalah besar menghadang. Pertama makin langkanya ulama Muhamadiyah dan munculnya dominasi birokrat di Muhamadiyah. Kultur birokrasi ini yang membuat Muhamadiyah agak ‘macet’ di bidang pemikiran, termasuk pemikiran agama karena jaringan ulama melemah. Saya suatu hari datang ke FA untuk mencari kumpulan makalah dan hasil notulennya untuk dijadikan buku di Shalahuddin Press.
Juga saya mencari hasil penelitian tentang profil industri batik di Laweyan. Ketemu dengan mas Nurhadiantomo. Dan setelah harian Yogya Post jalan Taman Siswa tutup dan saya bekerja di Suara Muhamadiyah ‘atas perintah’ pak Amien Rais dan langsung diangkat jadi Redaksi Pelaksana saya kalau ke Solo, ke UMS lebih banyak bertemu dan menemui MT Arifin di kantornya. Dia selalu menerima saya dan saya selalu mendapat bahan melimpah untuk ditulis. Bahkan banyak bahan penting dan informasi strategis justru tidak mungkin ditulis di Suara Muhamadiyah karena terlalu sensitif.
Misalnya tentang dunia Kejawen di Solo yang dia tekuni. Juga tentang dinamika militer di Jawa dan Indonesia. Untuk hal sensitif ini saya tidak mewawancarai dia tetapi lebih bersifat dialog atau diskusi intensif. Waktu itu saya menduga kalau MT Arifin sedang berproses menjadi pemikir dan budayawan. Khususnya budayawan yang mendalami budaya Jawa sampai ke pernik-pernik soal keris dan dunia gaib atau dunia spiritual, yang ini kurang familiar di lingkungan Muhamadiyah.
Dugaan saya terbukti beberapa tahun kemudian. Priyayi asal Kebumen lulusan sekolah guru tersebut, kemudian kuliah di IKIP Karangmalang Yogyakarta menjadi aktivis mahasiswa punya naluri meneliti dan diskusi yang amat kuat.
Setelah Muktamar Muhamadiyah ke-42 di Yogyakarta, ke-43 di Banda Aceh yang justru membuat saya akrab dengan Kang Mohammad Sobary, ke-44 di Jakarta, ke-45 di Malang, ke-46 di Yogyakarta, Ke-47 di Makassar yang membuat saya lebih dekat dengan LSBO dan komunitas Maiyah saya jarang bertemu dengan MT Arifin. Yang kemudian saya dengar dia aktif di Kelompok Diskusi Mangkubumen yang peserta yang akan tampil menjadi narasumber harus membaca 5 buku standar sesuai tema.
Dengan demikian narasumber bertanggung jawab dan percaya diri secara ilmu dan wawasan. Demikian juga dengan hal dia menekuni dunia keris sampai menulis buku dan menjadi konsultan keris. Saya sering ketemu di dunia maya, di Facebook dia sering menayangkan sosok keris yang bernilai seni tinggi. Dunia baru semacam ini tentu tidak mungkin digali lewat wawancara dengan dia dan tidak mungkin dimuat di Suara Muhamadiyah. Paling mungkin dijadikan bahan penulisan novel. (Mustofa W Hasyim 2021)