Waktu dan Kala yang Berputar
Awal dan akhir merupakan dua penanda masa yang paling mengena dan tak mudah dilupa. Jarang orang berbicara tentang tengah, di antara dua ujung waktu itu. Seolah orang tidak peduli bahwa selalu ada jeda yang lama dan berjenak-jenak dalam rentang di antara keduanya.
Sebagai misal, awal waktu dan tepat waktu mengacu pada permulaan suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan sebagaimana yang telah diagendakan. Noktah gerak itu sekaligus menyiratkan pandangan dan perasaan jiwa yang terang, lapang, dan nyaman karena bersesuaian antara rencana dan karsa. Kosakata “on time”, umapamanya, sering dipergunakan untuk kesesuaian tempo itu yang tidak mudah bagi sebagian orang. Tentu berbeda dengan suasana pikiran dan kejiwaan yang dirasakan seseorang ketika dia tidak bisa memenuhi waktu yang telah direncanakannya.
Dalam berbagai kosakata yang beragam, waktu menjadi salah satu topik yang dikemas dalam sekian banyak konsep, termasuk dalam peribahasa. Misalnya: “al-waqt kasysyaif. Idza lam taqtha`ha qatha`aka (Waktu itu adalah pedang. Jika engkau tidak menggunakannya dengan baik, maka waktu [pedang] itu yang akan memotongmu). adalah peribahasa Arab yang populer. Demikian pula dengan ungkapan “cakra manggilingan” menandaskan waktu yang terus bergulir tanpa henti hingga masa penghabisan, akhir zaman
Begitulah waktu, boleh jadi, sang kala itu merupakan enigma terbesar dalam kehidupan umat manusia. Paling tidak sejak masa sejarah umat manusia paling dini misalnya di Yunani, Mesir, Amerika Latin, India, dan Nuswantara waktu sudah ditelaah sedemikian rupa sebagai anasir alam pikiran dan pandangan hidup sehingga menjadi penanda dinamika berbudaya di mayapada ini serta penunjuk kemuculan dan runtuh-bangunnya peradaban Bani Adam di berbagai belahan bumi. Namun tak tuntas dan tak terpuaskan jua umat manusia dengan konsepsi waktu itu, hingga tidak sedikit yang salah kaprah dan tidak pas memaknai waktu.
Secara leksikal, waktu (waqt[un]) menunjukkan batas sesuatu yang terkait dengan zaman dan yang selainnya. Al-waqtu berarti zaman yang diketahui; dan al-mauqutu berarti sesuatu yang dibatasi. (Lihat: Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, 2011).
Dengan demikian waktu adalah tanda dan penunjuk yang juga berjalin-kelindan dan bertautan erat dengan pelbagai simbol dan lambang yang mencandra ukuran dan hitungan (angka) tentang suatu dimensi yang terus berputar dan melaju dalam kehidupan manusia hingga tiba pada masanya, berakhir, fana, dan tuntas. Dalam konteks inilah manusia berada di dalam dimensi waktu yang dituntut untuk menata dan mengelolanya agar bisa meng-ada dan men-jadi. Pergantian tahun atau perayaan tahun baru Hijriyah, misalnya, menjadi bermakna dengan kesadaran waktu seperti itu.
Berkenaan dengan hal itu pula maka pada dasarnya bukan manusia yang dikejar masa atau memburu waktu tetapi manusia berada dalam ruang lingkup sekap kala dan putaran zaman. Karena itu pula manusia adalah makhluk yang mewaktu, memaknai hidup dan menghiasi hayatnya dengan beragam kreasi dan usaha yang sarat pahala dan ranum guna bagi sesama atas dasar iman. Inilah, antara lain, mengapa Allah bersumpah pula dengan waktu seperti ditandaskan dalam Q.s. al-`Ashr: 1-3.
Dengan kesadaran masa dan kecerdasan zaman seperti inilah manusia bisa menyejarah: hayat sekarang bertalian dengan tempo doeloe yang terus berlaju ke masa depan sebagaimana titah Tuhan. Itulah waktu dan kala yang berputar. (asep p bahtiar)
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2017