Ibrahim dan Kemahakuasaan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 258-260
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ٢٥٨
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَانظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَانظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ٢٥٩ وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٦٠
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (258)
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”.
Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (259)
(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman), “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit, satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (260)
Huruf hamzah (أ) bila masuk ke kata lam (لَمْ) mengandung dua makna, yakni meminta perhatian (al-tanbih) atau mengingatkan (al-tadzkir), dan untuk menunjukkan bahwa apa yang akan disampaikan selanjutnya sangat mengherankan (al-ta’ajjub) (Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid IV, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt., hlm. 179).
Keduanya dapat diterapkan pada kalimat alam tara ilalladzi hajja ibrahima (أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ) yang artinya “apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim” ini. Hal ini mengandung pengertian, bahwa Allah ingin meminta perhatian dan pikiran Nabi Muhammad saw, dan siapa saja sesudah itu, tentang adanya seseorang yang menghujat (membantah) Nabi Ibrahim tentang Tuhan yang sebenarnya, yang hujatan seperti itu sangat mencengangkan, artinya tidak dapat diterima sama sekali.
Orang-orang tersebut tidak menerima Allah sebagai Tuhan sebagaimana disampaikan oleh Nabi Ibrahim kepadanya. Di antara orang tersebut, sebagaimana salah satu informasi yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari sumber Zaid bin Aslam, adalah Namrud, maharaja diraja Babilonia. Menurut riwayat itu, Namrud adalah maharaja pertama di alam ini yang memiliki kekuasaan tak terbatas, adikuasa, bahkan menganggap dirinya tuhan. Karena merasa diri adikuasa, dia bertindak sewenang-wenang. Ia adalah raja yang membakar Ibrahim namun dia diselamatkan oleh Allah. Ia menguasai kehidupan rakyatnya sepenuhnya, bahkan untuk mendapatkan makan, mereka harus meminta kepada Namrud.
Pada waktu meminta makanan itulah, ia menanya setiap yang meminta, siapa tuhan mereka. Mereka semua menjawab, “Engkau.” Tiba pada giliran Nabi Ibrahim ia menjawab, “Tuhan saya adalah Yang Menghidupkan dan Mematikan!” Raja itu menjawab, “Saya pun menghidupkan dan mematikan.” Menurut riwayat al-Thabari itu, informasi tentang kemampuan raja itu menghidupkan dan mematikan, ditunjukkannya dengan cara memanggil dua narapidana, sesampai di depannya yang seorang dibunuhnya dan yang seorang lagi dibiarkannya hidup (al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Pentahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Jilid V, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000, hlm. 432). Menurut informasi lain, dengan cara mengambil dua orang yang meminta makanan padanya, yang seorang diberinya makanan, dan yang kedua dibiarkannya mati kelaparan.
Bantahan itu tentu saja tidak menemui sasaran, karena yang dimaksud dengan mengidupkan dan mematikan itu adalah memberikan kehidupan, yaitu roh, dan mencabutnya kembali. Untuk mematahkan kesewenang-wenangan dan kecongkakan maharaja diraja itu, Nabi Ibrahim memintanya melakukan kebalikan dari kebiasaan, yaitu menerbitkan matahari di barat, yang biasa diterbitkan Allah di timur, dan membenamkannya di timur, yang biasa dibenamkan-Nya di barat. Menerima permintaan itu, raja itu pun buhita, yaitu terdiam tidak bisa membantah lagi argumen Nabi Ibrahim tentang siapa Tuhan yang sebenarnya, yaitu yang mampu menghidupkan dan mematikan itu.
Namrud, sekalipun tidak bisa membantah lagi kebenaran yang disampaikan Nabi Ibrahim, ia tetap tidak mau beriman. Hal itu disebabkan kezalimannya sendiri, yaitu kesalahan luar biasa berupa kekuasaan tanpa batas, sewenang-wenang, bahkan sampai memandang diri sebagai Tuhan. Dosa itu lebih besar lagi dari dosa syirik yang tidak diampuni-Nya (QS. al-Nisa` [4]: 48). Karena itulah hatinya tertutup terhadap kebenaran dan semakin angkara murka sehingga Allah tidak menunjukinya ke jalan yang benar.
Dari kisah Nabi Ibrahim dan Namrud itu, diambil pelajaran antara lain bahwa Allah adalah Tuhan yang Mahakuasa. Kemahakuasaan-Nya dalam ayat di atas dilukiskan dalam bentuk kemampuan memberi kehidupan (roh) kepada makhluk ciptaan-Nya atau mencabutnya kembali ketika dikehendaki-Nya. Dalam ayat lain disebutkan, kemahakuasaan Tuhan itu adalah mampu mencipta dari tiada (Q.S. al-Nahl [16]: 17). Itulah kriteria Tuhan. Bila tidak mampu mencipta dari tiada dan menghidupkan serta mematikan, itu bukanlah Tuhan.
Manusia tidak boleh dibiarkan memiliki kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan tanpa batas cenderung membuat manusia menjadi tiran dan jahat, yaitu sewenang-wenang, tidak boleh dikritik dan diganggu gugat, bahkan bisa menganggap diri sebagai Tuhan. Dalam dunia politik dikenal adagium, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, great men are almost always bad men” (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan tak terbatas akan korup tak terbatas pula, dan orang-orang besar itu hampir semuanya adalah orang-orang jahat).
Contohnya dalam sejarah adalah kaisar-kaisar Imperium Romawi yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan dan Napoleon Bonaparte yang mengangkat dirinya sebagai kaisar. Contoh yang diberikan al-Qur’an dalam zaman prasejarah adalah Namrud dan Firaun (Q.S. al-Qashash [28]: 38 dan al-Syu’ara` [26] :29).
Kemudian pada ayat 259, menurut al-Thabari (Ibid. Jilid V, hlm. 438), kata aw kalladzi (أو كالذي) itu dikaitkan kata alladzi hajja (الذي حاجّ) yang pengaitan antara dua kata yang berbeda (ك kepada الذي) itu diperbolehkan dalam bahasa Arab, karena maknanya berdekatan. Kemudian terdapat pendapat bahwa ك dalam ayat itu hanya tambahan saja (za`idah) yang tidak mempengaruhi makna.
Makna ayat adalah bahwa yang perlu dijadikan perhatian pula, dan hal itu sangat mengherankan, adalah ucapan seseorang yang lewat pada sebuah negeri dimana seluruh bangunan negeri itu atapnya saja sudah terbang dan dinding-dindingnya rubuh menimpa atapnya yang terbang itu. Negeri itu berarti sudah luluh lantak, penduduknya kemungkinan sudah tewas atau sudah lama pergi meninggalkan negerinya itu. Negeri itu berarti pernah memiliki peradaban tinggi yang kemudian hancur berantakan.
Menurut sebuah informasi yang diriwayatkan oleh al-Thabari (5:439) ada dua pendapat mengenai siapa yang lewat itu, yakni ‘Uzair atau Armiya, tetapi pendapat yang masyhur adalah ‘Uzair, seorang yang menurut Yusuf Ali (The Meaning of Noble Qur’an, Beltsville: Amana Publications, 2006), hlm. 32-33) adalah penulis, pembaru, dan pendeta Bani Israil (karena jasanya mempersatukan Bani Israil dan menulis kembali Taurat sampai dipandang sebagai Tuhan oleh Bani Israil (Q.S. al-Taubah [9]:30).
Pendapat yang masyhur mengenai negeri itu adalah Yarussalem yang dihancurkan oleh Nabukadnezar (Bakhtanshir) dari Babilonia. Negeri itu diluluhlantakkan, kemudian penduduknya dibawa ke Babilonia dan dijadikan budak (peristiwa itulah kiranya yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Isra` [17]: 5). Namun pesan utama ayat ini bukan mengenai siapa dan tempat peristiwa itu, tetapi menjelaskan bahwa Allah mampu menciptakan dari tiada, mematikan, dan menghidupkan kembali.
Ucapan orang yang lewat, yang perlu dijadikan perhatian dan sangat mengherankan itu, adalah ayat yang berbunyi anna yuhyi hadzihillahu ba’da mautiha (أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا) yang artinya “bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur begini?” Menurut al-Zarkasyi (al-Burhan.., Jilid IV, hlm. 249), kata anna (أَنَّىٰ) maknanya kaifa (كيف) yang artinya “bagaimana” atau min aina (من أين) yang artinya “dari mana”, keduanya hampir sama.
Ucapan itu menanyakan bagaimana cara Allah menghidupkan sesuatu yang sudah hancur berantakan, bukan meragukan kemahakuasaan-Nya melakukannya. Dalam ayat ini diberikan contoh yang lebih hebat lagi. Bila dalam ayat sebelumnya dibantah ketidakpercayaan terhadap kemahakuasaan Allah menghidupkan orang seorang, dalam ayat ini dicontohkan kemahakuasaan Allah menghidupkan manusia secara kolektif (masyarakat atau bangsa).
Terjemah ayat yang berbunyi “Lalu Allah mematikan orang itu seratus tahun kemudian membangkitkannya” mengandung makna mengenai ketelitian bahasa al-Qur’an, yakni kalimat “Allah mematikan”. Kalimat itu berarti mencabut roh, bukan “menidurkan”. Kemudian Allah “membangkitkannya”, yaitu menghidupkannya kembali persis sebagaimana keadaannya waktu sebelum dimatikan, bukan menghidupkannya kembali yang bisa berbeda keadaannya dengan keadaan semula.
Allah bertanya, melalui malaikat, “Berapa lama engkau berdiam di sini?” Perhatikan, tidak “telah tidur” tetapi “berdiam” yang menunjukkan masa sudah lama berlangsung. Dia menjawab, “Saya berdiam di sini sehari atau setengah hari.” Tetapi Allah membantahnya dan menegaskan bahwa ia telah berdiam, yaitu tertidur, dalam waktu yang sangat lama, yaitu seratus tahun.
Untuk membuktikan bahwa ia telah begitu lama ditidurkan di sana, Allah memintanya memperhatikan makanannya, yang menurut sebuah riwayat dari Ibn Katsir adalah anggur, tin, dan juz buah (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Jilid I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419) hlm. 527). Makanan itu tidak berubah (busuk atau basi), yang bisa membuat orang itu menduga bahwa tidurnya memang baru sehari atau setengah hari. Tetapi keledainya, ternyata hanya tinggal tulang belulang, yang menjadi bukti bahwa benar ia telah tertidur seratus tahun itu.
Dimatikannya orang itu selama seratus tahun kemudian dihidupkan-Nya kembali dijadikan oleh Allah sebagai bukti bagi orang itu sendiri dan seluruh umat manusia tentang kemahakuasaan-Nya, bahwa Ia mampu menghidupkan kembali orang mati, bahwa kiamat itu pasti terjadi, dan bahwa kehidupan akhirat itu benar adanya. Hal ini tercantum dalam firman Allah yang terjemahannya, “Supaya Kami menjadikanmu sebagai bukti bagi manusia”. Pada waktu orang itu dihidupkan kembali, negeri itu sudah ramai kembali.
Peristiwa itulah kiranya yang dimaksud oleh Q.S. al-Isra` [17]: 6 bahwa Allah memberikan kesempatan kedua kalinya bagi Bani Israil untuk membangun peradaban baru setelah mereka diizinkan kembali ke negeri mereka oleh penguasa Babilonia. Namun, kemudian mereka kembali sombong dan membangkang, lalu dihancurkan lagi oleh Kaisar Titus dari Romawi. Dengan demikian, Kemahakuasaan-Nya tidak hanya menghidupkan kembali orang seorang, tetapi juga sebuah kawasan, bahkan seluruh umat manusia. Sebagaimana diketahui kaum musyrik Makkah waktu itu masih yang menyangsikan adanya kehidupan akhirat itu.
Kemudian penjelasan tentang firman Allah yang artinya, “Lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian kami bungkus dengan daging. ” Nusyuz” artinya “lari”. Jadi dapat kita bayangkan bahwa tulang belulang yang berserakan itu berlarian mencari pasangannya masing-masing. Setelah tulang belulang itu terpasang, Allah kemudian membungkusnya dengan daging berikut otot, saraf, darah, dan lain sebagainya. Itu adalah jawaban terhadap orang itu, yang bertanya atau mempertanyakan di awal ayat ini bagaimana cara Allah menghidupkan orang mati.
Terjemah ayat, “Maka tatkala jelas sekali terlihat olehnya, dia pun berkata, ‘Saya tahu sekarang bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Memberi pengertian bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Setelah orang itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tulang belulang kering yang berserakan itu menyusun dan hidup kembali, tahulah dia bagaimana cara Allah menghidupkan sesuatu yang sudah mati dan berantakan.
Sebagaimana pertanyaannya di awal ayat, maka mereka bertambah yakin bahwa Allah Mahakuasa berbuat apa pun atas segala apa pun. Perhatikan jawaban orang itu, “Saya tahu” bukan “saya yakin”, yang menunjukkan bahwa orang itu adalah seorang yang sudah beriman, dan bahwa ia bertanya “bagaimana cara” Allah menghidupkan kembali yang sudah mati itu bukan pertanyaan karena menyangsikannya, tetapi adalah pertanyaan untuk mengetahui persoalan tersebut. Jadi, iman itu akan terus mendapat ujian dengan menghadapkannya kepada persoalan demi persoalan untuk menghantarkannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Turunnya ayat itu menunjukkan kepada kaum musyrikin Quraisy sekaligus ahlulkitab tentang kebenaran Nabi Muhammad saw beserta al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya, bahwa apa yang beliau terima itu benar-benar wahyu. Hal itu karena Nabi Muhammad saw tidak pandai tulis baca dan tidak pernah berguru, tetapi mengetahui peristiwa yang terjadi jauh sebelumnya yang bagi kaum ahlulkitab sendiri, mungkin juga tidak jelas. Kita pun, begitu juga generasi demi generasi berikutnya, ketika membaca ayat ini, akan semakin iman dan mencintai Nabi Muhammad saw, al-Qur’an, dan Allah.
Pada ayat 260 dapat dijelaskan bahwa kata idz (اذ) adalah kata keterangan (zharf) yang menunjuk masa lampau (Al-Zarkasyi, al-Burhan.., Jilid IV, hlm. 207), yang dalam al-Qur’an biasanya disambungkan dengan kata udzkuru (اذكروا) yang artinya “ingatlah ketika” (misalnya Q.S. al-Anfal [8]: 26). Satu hal yang perlu diingat, itu adalah ucapan Nabi Ibrahim “Tuhanku! Perlihatkan kepadaku bagaimana cara Engkau menghidupkan “mayat-mayat”.
Kata al-mauta (الموتى) adalah jamak dari kata al-mayit (الميّت) yaitu sesuatu atau apa saja yang sudah mati termasuk manusia). Pertanyaan Nabi Ibrahim tentang cara menghidupkan sesuatu yang sudah mati bertujuan untuk mengetahui, bukan karena ia menyangsikan atau tidak mempercayai kemampuan Allah melaksanakannya. Pertanyaan itu dijawab oleh Allah, “Belum percayakah engkau!” Pertanyaan itu tidak berarti bahwa Allah belum tahu keimanan Nabi Ibrahim, tetapi untuk mengujinya.
Nabi Ibrahim menjawab, “Tidak! Tetapi untuk menenteramkan hatiku.” Kata bala (بلى) menurut al-Zarkasyi mengandung dua makna yang berlawanan, yakni menolak pernyataan negatif sebelumnya (misalnya Q.S. al-Nahl [16]: 28), atau membenarkan pertanyaan sebelumnya (misalnya Q.S. al-A’raf [7]: 172) (Ibid. Jilid V, hlm. 261). Kata bala (بلى) dalam ayat ini lebih tepat mengacu pada arti yang pertama, apalagi terdapat sambungan pernyataan Nabi Ibrahim, “tetapi”, yang menunjukkaan perlawanan makna dengan isi kalimat sebelumnya.
Hal ini mengandung arti bahwa Nabi Ibrahim memandang persoalan menghidupkan kembali sesuatu yang mati itu suatu peristiwa luar biasa, dan dalam dirinya berkecamuk persoalan bagaimana cara Allah mewujudkannya. Nabi Ibrahim membantah bahwa ia belum percaya. Namun, kondisi yang benar adalah yang sebaliknya, bahwa ia percaya, namun ia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana cara Allah menghidupkan yang telah mati itu. Dengan begitu “hatinya akan tenang”, artinya pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hatinya akan terselesaikan dan imannya akan semakin mantap.
Kemudian Allah memerintahkannya untuk mencari empat ekor burung atau unggas yang berbeda. Burung-burung itu diperintahkan Allah kepadanya, shurhunna. Ada dua pendapat ulama mengenai makna kata itu. Pertama, “Jinakkanlah, sampai ia mengerti!” Kemudian letakkan masing-masing burung di empat bukit yang berbeda, selanjutnya panggil kembali dari tempat Nabi Ibrahim semula.
Pendapat ini kurang cocok dengan konteks, karena yang ingin dibuktikan adalah menghidupkan sesuatu yang telah mati, sedangkan burung-burung itu masih hidup. Juga kurang cocok dengan makna kata جزءا ‘bagian’ dalam ayat itu yang menunjuk seekor dari empat ekor burung. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat umumnya ulama, mengartikan kata itu, “Sembelihlah, lalu cincang!” Kemudian aduk, selanjutnya bagi empat, dan letakkan di empat bukit itu!
Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar memanggil burung-burung itu, maka mereka akan datang kepadanya dengan segera. Nabi Ibrahim pun memanggil burung-burung tersebut. Dari hal ini dapat dipahami bahwa pada waktu itu terjadilah proses insyaz (penyusunan kembali) sebagaimana dalam ayat 259, yakni masing-masing bagian tubuh burung-burung yang sudah bercampur aduk itu bergerak menyatu dengan bagian-bagian masing-masing yang telah terpisah tadi, kemudian hidup kembali. Proses itu terjadi karena izin yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Burung-burung itu pun datang kepadanya dengan cara berjalan cepat, sesuai dengan makna sa’yan itu, bukan terbang, untuk lebih meyakinkan apa sosok yang datang itu.
Akhirnya Allah meminta Nabi Ibrahim untuk mengetahui bahwa Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. Allah Mahaperkasa dalam menghidupkan kembali sesuatu yang mati nanti di akhirat, dan Allah Mahabijaksana dalam menghidupkan kembali, yaitu untuk meminta pertanggungjawaban. Bila tidak ada pertanggungjawaban itu, tentu akan sama saja yang baik dengan yang tidak baik, dan itu tidak mungkin. Satu hal yang baik harus dihargai dan yang salah harus diberi sanksi, itulah yang bijak. Setelah menyaksikan sendiri dan memperoleh penjelasan tentang cara dan kemampuan Allah menghidupkan yang mati itu, kemahakuasaan dan kemahabijakan Allah itu pun terhunjam dalam hati Nabi Ibrahim dan imannya semakin kokoh.
Kisah Nabi Ibrahim itu menginformasikan bahwa menghidupkan yang mati dilakukan oleh Allah, melalui Nabi Ibrahim, dengan pemanggilan, yaitu adanya suara. Di dalam al-Qur’an diinformasikan, bahwa baik penciptaan alam (Q.S. al-Anbiya` [21]: 30), berdasar teori Big Bang maupun penghancuran serta penciptaannya kembali (Q.S. Al-Zumar [39]: 68) juga ditandai dengan adanya suara, yaitu ledakan. Dengan demikian apakah hakikat suara itu? Bagaimanakah fungsi suara dalam suatu penciptaan?
Fakta-fakta itu memberikan pelajaran bahwa suara atau bunyi penting sekali dalam kehidupan. Adanya suara atau bunyi menunjukkan adanya kehidupan. Bersuara diperlukan untuk menunjukkan eksistensi. Seorang itu ada karena ia berfikir dan mengkomunikasikan pemikirannya, yaitu bersuara. Membisu dalam Islam tidak diperkenankan, karena Allah memberi manusia indera-indera yang harus dipertanggungjawabkannya (Q.S. al-Balad [90]: 8-9). Membisu berarti mati sebelum mati yang sesungguhnya.
Kisah itu juga memberi pelajaran kepada kita bahwa kritis dalam beragama dan bertanya bukanlah merusak iman, bukan tabu, tetapi sebaliknya akan semakin meneguhkan iman, bila sikap kritis dan pertanyaan itu dimaksudkan untuk mencari tahu dan dilandasi iman, dan jawaban persoalan pun juga dicari dengan landasan iman pula. Akan tetapi bila pertanyaan dikemukakan dalam rangka menyangsikan bahkan menolak pernyataan al-Qur’an, maka yang akan diperoleh adalah kesangsian dan keingkaran itu.
Dari dari tiga ayat terakhir yang telah dijelaskan, terlihat bahwa Allah memperlihatkan kemahakuasaan-Nya menghidupkan kembali yang telah mati melalui tiga kasus. Pertama Allah menunjuk alam semesta yang telah diciptakan-Nya. Alam semesta ini begitu besar. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa penciptaan alam semesta itu lebih besar daripada penciptaan manusia (Q.S. Ghafir [40]: 57). Bila menciptakan kembali alam semesta saja “lebih mudah” bagi Allah (sebenarnya bagi Allah tidak ada istilah “mudah” dan “sulit”), karena sudah pernah Allah adakan (Q.S. al-Rum [30]: 27), apalagi menciptakan kembali manusia.
Kedua, Allah perlihatkan langsung kepada yang bertanya tentang kemampuan Allah menghidupkan individu yang mati melalui proses insyaz. Begitu pula yang akan terjadi nanti. Bagian-bagian tubuh manusia di mana pun berada bahkan yang sudah terserap tanah atau tumbuh-tumbuhan atau jadi bagian tubuh makhluk lain sekalipun, akan pergi meninggalkan tumpangannya dan berkejar-kejaran mencari pasangan-pasangannya. Begitu jugalah dalam menghidupkan, memusnahkan, dan menghidupkan kembali satu komunitas, bangsa, bahkan umat manusia seluruhnya. Allah menyatakan bahwa setiap komunitas (bangsa, umat) itu ada jangka hidupnya, ia tidak abadi (Q.S. al-A’raf [7]: 34).
Contohnya komunitas yang dikisahkan dalam ayat 259 di atas. Dalam al-Qur’an juga dikisahkan bangsa-bangsa lain yang hanya tinggal nama, seperti Umat Nabi Nuh, bangsa ‘Ad, Tsamud, umat Nabi Luth, bangsa Aykah, dan Firaun dengan peradaban masing-masing. Dalam kenyataan sejarah, betapa banyak peradaban lain yang juga sudah musnah seperti peradaban bangsa Aztek, dan di negeri kita peradaban Sriwijaya dan Majapahit yang amat jaya pada masanya, tetapi kemudian hilang begitu saja. Allah ternyata telah mengganti bangsa-bangsa itu dengan mereka yang hidup sekarang. Fakta-fakta itu harus dijadikan petunjuk bahwa Allah Mahakuasa menghidupkan kembali manusia dan umat manusia nanti di akhirat.
Ketiga, pengalaman riil yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dalam penciptaan kembali atas perintah atau izin Allah. Dengan pengalaman riil itu, Nabi Ibrahim memperoleh iman yang kuat tentang kemahakuasaan Allah. Pengalaman riil ini juga perlu dialami oleh siapa saja dalam beragama. Karena itu manusia perlu berkreasi, berinovasi, dan berkarya. Namun hasilnya Allah-lah yang menentukannya. Berhasil, belum berhasil, atau gagal seharusnya dijadikan pelajaran bahwa Allah itu ada dan Dia-lah yang menentukan.
Oleh karena itu, manusia tidak boleh menyangsikan bahwa ia akan mati, menunggu dalam alam barzakh sampai kiamat, pada hari kiamat ia akan dihidupkan kembali, kemudian dihadapkan ke depan pengadilan Allah, selanjutnya akan hidup abadi dalam kebahagiaankah atau dalam kesengsaraan. Satu hal yang menentukan jalan hidup itu adalah iman dan perbuatan manusia itu selama di dunia. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia selain berbuat baik.
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. Salman Harun.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14-16 Tahun 2019