Ibrahim dan Kemahakuasaan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 258-260

Ibrahim

Ilustrasi Freepik

Ibrahim dan Kemahakuasaan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 258-260

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ٢٥٨

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَانظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَانظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ٢٥٩ وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٦٠

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (258)

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi  atapnya.  Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian  menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”.

Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan  menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (259)

(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman), “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit, satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian  panggillah  mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”.  Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (260)

Huruf hamzah (أ) bila masuk ke kata lam (لَمْ)  mengandung dua makna, yakni meminta perhatian (al-tanbih) atau mengingatkan (al-tadzkir), dan untuk menunjukkan bahwa apa yang akan disampaikan selanjutnya sangat mengherankan (al-ta’ajjub) (Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid IV, (Kairo: Maktabah  Dar al-Turas, tt., hlm. 179).

Keduanya dapat diterapkan pada kalimat alam tara ilalladzi hajja ibrahima (أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ) yang artinya “apakah  kamu  tidak  memperhatikan  orang  yang  mendebat Ibrahim” ini.  Hal  ini  mengandung  pengertian,  bahwa  Allah  ingin meminta perhatian dan pikiran Nabi Muhammad saw, dan siapa saja sesudah itu, tentang adanya seseorang yang menghujat (membantah) Nabi Ibrahim tentang Tuhan yang sebenarnya, yang hujatan seperti itu sangat mencengangkan, artinya tidak dapat diterima sama sekali.

Orang-orang  tersebut  tidak  menerima  Allah  sebagai  Tuhan sebagaimana  disampaikan oleh Nabi Ibrahim kepadanya. Di antara orang tersebut, sebagaimana salah satu informasi yang  diriwayatkan oleh al-Thabari dari  sumber Zaid bin Aslam, adalah Namrud, maharaja diraja  Babilonia. Menurut  riwayat  itu,  Namrud adalah maharaja pertama di alam ini yang memiliki kekuasaan tak terbatas, adikuasa, bahkan menganggap dirinya tuhan. Karena  merasa  diri adikuasa, dia bertindak sewenang-wenang. Ia adalah raja yang membakar Ibrahim namun dia diselamatkan oleh Allah. Ia menguasai kehidupan rakyatnya  sepenuhnya, bahkan untuk mendapatkan makan, mereka harus  meminta  kepada Namrud.

Pada waktu meminta makanan itulah, ia menanya setiap yang meminta, siapa tuhan mereka. Mereka semua menjawab, “Engkau.”  Tiba pada giliran Nabi Ibrahim ia menjawab, “Tuhan saya adalah Yang Menghidupkan dan Mematikan!” Raja itu menjawab, “Saya pun menghidupkan  dan mematikan.” Menurut riwayat al-Thabari itu, informasi tentang kemampuan raja itu menghidupkan dan mematikan, ditunjukkannya dengan cara memanggil dua narapidana, sesampai di depannya yang seorang dibunuhnya  dan  yang  seorang  lagi dibiarkannya hidup (al-Thabari, Jami’ al-Bayan  fi Ta’wil al-Qur’an, Pentahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Jilid V, (Beirut:  Muassasah  al-Risalah, 2000, hlm. 432).   Menurut informasi lain, dengan  cara mengambil dua orang yang meminta makanan padanya, yang seorang diberinya makanan, dan yang kedua dibiarkannya mati kelaparan.

Bantahan itu tentu saja tidak menemui sasaran, karena yang dimaksud dengan mengidupkan dan mematikan itu adalah memberikan kehidupan, yaitu roh, dan mencabutnya kembali. Untuk  mematahkan  kesewenang-wenangan  dan kecongkakan  maharaja diraja itu, Nabi Ibrahim memintanya melakukan kebalikan dari kebiasaan, yaitu menerbitkan matahari di barat, yang biasa diterbitkan Allah di timur, dan membenamkannya di timur, yang biasa dibenamkan-Nya di barat. Menerima permintaan itu, raja itu pun buhita, yaitu terdiam tidak bisa membantah lagi argumen Nabi Ibrahim tentang siapa Tuhan yang  sebenarnya, yaitu  yang  mampu  menghidupkan  dan  mematikan itu.

Namrud, sekalipun tidak bisa membantah lagi kebenaran yang disampaikan Nabi Ibrahim, ia tetap tidak mau beriman. Hal itu disebabkan kezalimannya  sendiri, yaitu  kesalahan  luar  biasa  berupa  kekuasaan tanpa batas, sewenang-wenang, bahkan sampai memandang diri sebagai Tuhan. Dosa itu lebih besar lagi dari dosa syirik yang tidak diampuni-Nya (QS. al-Nisa` [4]: 48). Karena itulah hatinya tertutup terhadap kebenaran dan semakin angkara murka  sehingga  Allah tidak menunjukinya ke jalan yang benar.

Dari kisah Nabi Ibrahim  dan  Namrud itu,  diambil pelajaran antara lain bahwa Allah adalah Tuhan  yang  Mahakuasa. Kemahakuasaan-Nya dalam ayat di atas dilukiskan dalam  bentuk kemampuan memberi kehidupan (roh) kepada makhluk ciptaan-Nya atau mencabutnya kembali ketika dikehendaki-Nya. Dalam ayat lain disebutkan,  kemahakuasaan Tuhan itu adalah mampu mencipta dari tiada (Q.S. al-Nahl [16]: 17).  Itulah  kriteria Tuhan. Bila  tidak mampu mencipta dari tiada dan menghidupkan serta mematikan, itu bukanlah Tuhan.

Manusia  tidak boleh dibiarkan memiliki kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan  tanpa batas cenderung membuat manusia menjadi tiran dan jahat, yaitu sewenang-wenang, tidak boleh dikritik dan diganggu gugat, bahkan bisa menganggap diri sebagai Tuhan. Dalam dunia politik dikenal adagium, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, great men are almost always bad men” (kekuasaan  itu  cenderung  korup,  kekuasaan  tak  terbatas akan  korup tak  terbatas  pula,  dan orang-orang besar itu hampir semuanya adalah orang-orang jahat).

Contohnya dalam sejarah adalah kaisar-kaisar Imperium Romawi yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan dan Napoleon Bonaparte  yang  mengangkat dirinya sebagai kaisar. Contoh yang diberikan al-Qur’an  dalam zaman prasejarah adalah Namrud dan Firaun (Q.S. al-Qashash [28]: 38 dan al-Syu’ara` [26] :29).

Kemudian pada ayat 259, menurut al-Thabari (Ibid. Jilid V, hlm. 438), kata  aw kalladzi (أو كالذي)  itu dikaitkan kata alladzi hajja (الذي حاجّ) yang pengaitan  antara  dua  kata  yang  berbeda (ك kepada الذي) itu diperbolehkan dalam  bahasa  Arab,  karena  maknanya  berdekatan.  Kemudian terdapat pendapat bahwa ك dalam ayat itu hanya tambahan saja (za`idah) yang tidak mempengaruhi  makna.

Makna  ayat  adalah bahwa yang perlu dijadikan perhatian pula, dan  hal itu sangat mengherankan, adalah  ucapan  seseorang  yang lewat  pada  sebuah  negeri dimana seluruh bangunan negeri itu atapnya saja sudah  terbang  dan  dinding-dindingnya  rubuh  menimpa  atapnya  yang  terbang itu.  Negeri  itu berarti sudah luluh lantak, penduduknya kemungkinan sudah tewas  atau sudah lama pergi meninggalkan negerinya itu. Negeri itu berarti pernah memiliki peradaban  tinggi yang kemudian hancur berantakan.

Menurut sebuah informasi yang diriwayatkan oleh al-Thabari (5:439) ada dua pendapat mengenai siapa yang lewat itu, yakni ‘Uzair  atau  Armiya, tetapi pendapat yang masyhur  adalah ‘Uzair, seorang  yang menurut Yusuf Ali  (The Meaning of Noble Qur’an, Beltsville: Amana Publications, 2006),  hlm. 32-33)  adalah penulis, pembaru, dan  pendeta  Bani Israil (karena jasanya mempersatukan Bani Israil dan menulis kembali Taurat sampai dipandang sebagai Tuhan oleh Bani Israil (Q.S. al-Taubah [9]:30).

Pendapat  yang masyhur mengenai negeri itu adalah Yarussalem yang dihancurkan oleh Nabukadnezar (Bakhtanshir) dari Babilonia. Negeri itu diluluhlantakkan, kemudian penduduknya dibawa ke Babilonia dan dijadikan budak (peristiwa itulah kiranya yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Isra` [17]: 5). Namun pesan utama ayat ini bukan mengenai siapa dan tempat peristiwa itu, tetapi menjelaskan bahwa Allah mampu menciptakan dari tiada, mematikan, dan menghidupkan kembali.

Ucapan orang yang lewat, yang perlu dijadikan perhatian dan sangat mengherankan itu, adalah ayat yang berbunyi anna yuhyi hadzihillahu ba’da mautiha (أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا)  yang artinya “bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur begini?” Menurut al-Zarkasyi (al-Burhan.., Jilid IV, hlm. 249), kata anna (أَنَّىٰ) maknanya kaifa (كيف) yang artinya “bagaimana” atau min aina (من أين) yang artinya “dari mana”, keduanya hampir sama.

Ucapan itu menanyakan bagaimana  cara  Allah  menghidupkan sesuatu yang sudah hancur  berantakan, bukan  meragukan kemahakuasaan-Nya melakukannya. Dalam ayat ini diberikan contoh yang lebih hebat lagi. Bila dalam ayat sebelumnya dibantah ketidakpercayaan terhadap kemahakuasaan Allah menghidupkan orang  seorang, dalam ayat ini dicontohkan kemahakuasaan Allah menghidupkan  manusia  secara  kolektif (masyarakat atau bangsa).

Terjemah ayat yang berbunyi “Lalu Allah mematikan orang itu seratus tahun kemudian membangkitkannya” mengandung makna mengenai ketelitian bahasa al-Qur’an, yakni kalimat  “Allah mematikan”. Kalimat itu berarti mencabut  roh, bukan “menidurkan”. Kemudian Allah “membangkitkannya”, yaitu  menghidupkannya  kembali  persis sebagaimana keadaannya waktu sebelum dimatikan, bukan menghidupkannya kembali yang bisa berbeda keadaannya  dengan  keadaan  semula.

Allah  bertanya,  melalui  malaikat,  “Berapa lama engkau berdiam di sini?” Perhatikan, tidak “telah tidur” tetapi “berdiam” yang menunjukkan masa sudah lama berlangsung. Dia menjawab, “Saya berdiam di sini sehari atau setengah hari.” Tetapi Allah membantahnya dan menegaskan bahwa ia telah berdiam, yaitu  tertidur,  dalam  waktu  yang  sangat lama, yaitu  seratus  tahun.

Untuk membuktikan bahwa ia telah begitu lama ditidurkan di sana, Allah memintanya  memperhatikan  makanannya,  yang menurut sebuah riwayat dari Ibn Katsir adalah anggur, tin, dan juz buah (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Jilid I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419) hlm. 527). Makanan itu tidak berubah  (busuk  atau basi), yang bisa membuat orang itu menduga bahwa tidurnya memang baru sehari atau setengah hari. Tetapi keledainya, ternyata hanya tinggal tulang belulang, yang menjadi bukti bahwa benar ia telah tertidur seratus tahun itu.

Dimatikannya orang itu selama seratus tahun kemudian dihidupkan-Nya kembali dijadikan oleh Allah sebagai bukti bagi orang itu sendiri dan seluruh umat manusia tentang kemahakuasaan-Nya, bahwa Ia mampu menghidupkan kembali orang mati, bahwa kiamat itu pasti terjadi, dan bahwa kehidupan akhirat itu benar adanya. Hal ini tercantum dalam firman Allah yang terjemahannya, “Supaya Kami menjadikanmu sebagai bukti bagi manusia”. Pada waktu orang itu dihidupkan kembali, negeri itu sudah ramai kembali.

Peristiwa itulah kiranya yang dimaksud oleh Q.S. al-Isra` [17]: 6  bahwa Allah memberikan kesempatan kedua  kalinya  bagi  Bani Israil  untuk membangun peradaban baru setelah mereka diizinkan kembali ke negeri mereka oleh penguasa Babilonia. Namun, kemudian  mereka  kembali sombong dan membangkang, lalu dihancurkan lagi oleh Kaisar Titus dari Romawi. Dengan demikian, Kemahakuasaan-Nya tidak hanya  menghidupkan  kembali  orang seorang, tetapi juga sebuah kawasan, bahkan seluruh umat manusia. Sebagaimana diketahui kaum musyrik Makkah waktu itu masih yang menyangsikan adanya kehidupan akhirat itu.

Kemudian  penjelasan  tentang  firman Allah yang artinya, “Lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian kami bungkus  dengan daging. ” Nusyuz” artinya “lari”. Jadi dapat kita bayangkan bahwa tulang belulang yang berserakan itu berlarian mencari pasangannya masing-masing.  Setelah tulang belulang itu terpasang, Allah kemudian membungkusnya  dengan daging berikut otot, saraf, darah, dan lain sebagainya. Itu adalah jawaban terhadap orang itu, yang bertanya atau mempertanyakan di awal ayat ini bagaimana cara Allah menghidupkan orang mati.

Terjemah ayat, “Maka tatkala jelas sekali terlihat olehnya, dia pun berkata, ‘Saya tahu sekarang bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Memberi pengertian bahwa Allah mempunyai  kekuasaan yang tak terbatas. Setelah orang itu  menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tulang belulang kering yang berserakan itu menyusun dan hidup kembali, tahulah dia bagaimana cara  Allah  menghidupkan sesuatu yang sudah mati dan berantakan.

Sebagaimana pertanyaannya di awal ayat, maka mereka bertambah yakin bahwa Allah  Mahakuasa  berbuat  apa pun atas segala apa pun. Perhatikan jawaban orang itu, “Saya tahu” bukan “saya yakin”, yang menunjukkan bahwa orang itu adalah seorang yang sudah beriman, dan bahwa ia bertanya “bagaimana cara” Allah menghidupkan kembali yang sudah mati itu bukan pertanyaan karena menyangsikannya, tetapi  adalah  pertanyaan untuk mengetahui persoalan tersebut. Jadi, iman itu akan terus mendapat ujian dengan menghadapkannya kepada persoalan demi persoalan untuk menghantarkannya ke tingkat yang lebih tinggi.

Turunnya  ayat itu menunjukkan kepada kaum musyrikin Quraisy sekaligus  ahlulkitab  tentang kebenaran Nabi Muhammad saw beserta al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya, bahwa apa yang beliau terima itu benar-benar wahyu. Hal itu karena Nabi Muhammad saw tidak pandai tulis baca dan tidak pernah berguru, tetapi mengetahui peristiwa yang terjadi jauh sebelumnya yang bagi kaum ahlulkitab sendiri, mungkin juga tidak jelas. Kita pun, begitu juga generasi demi generasi berikutnya, ketika membaca ayat ini, akan  semakin  iman dan  mencintai  Nabi  Muhammad saw, al-Qur’an, dan Allah.

Pada ayat 260 dapat dijelaskan bahwa kata idz (اذ) adalah kata keterangan (zharf) yang menunjuk masa lampau (Al-Zarkasyi, al-Burhan.., Jilid IV, hlm. 207), yang  dalam  al-Qur’an  biasanya disambungkan dengan kata udzkuru (اذكروا) yang artinya “ingatlah ketika” (misalnya Q.S. al-Anfal [8]: 26). Satu hal yang perlu diingat, itu adalah ucapan Nabi Ibrahim  “Tuhanku! Perlihatkan kepadaku bagaimana cara Engkau menghidupkan “mayat-mayat”.

Kata al-mauta (الموتى) adalah jamak dari kata al-mayit (الميّت) yaitu sesuatu atau apa saja yang sudah mati termasuk manusia). Pertanyaan Nabi Ibrahim tentang cara menghidupkan sesuatu yang sudah mati bertujuan untuk mengetahui, bukan karena ia menyangsikan atau tidak mempercayai kemampuan Allah melaksanakannya. Pertanyaan itu dijawab oleh Allah, “Belum percayakah engkau!” Pertanyaan itu tidak berarti bahwa Allah belum tahu keimanan Nabi Ibrahim, tetapi untuk mengujinya.

Nabi Ibrahim menjawab, “Tidak! Tetapi untuk menenteramkan hatiku.” Kata bala (بلى) menurut  al-Zarkasyi  mengandung dua makna yang berlawanan, yakni menolak pernyataan negatif sebelumnya (misalnya Q.S. al-Nahl [16]: 28), atau membenarkan pertanyaan sebelumnya (misalnya Q.S. al-A’raf [7]: 172)  (Ibid. Jilid V, hlm. 261).  Kata bala (بلى)  dalam  ayat  ini lebih tepat mengacu pada arti yang pertama, apalagi terdapat sambungan pernyataan Nabi Ibrahim, “tetapi”, yang  menunjukkaan  perlawanan  makna  dengan isi kalimat sebelumnya.

Hal ini  mengandung  arti bahwa Nabi Ibrahim memandang persoalan  menghidupkan kembali sesuatu yang mati itu suatu peristiwa luar biasa, dan dalam dirinya berkecamuk persoalan bagaimana cara Allah mewujudkannya. Nabi Ibrahim membantah bahwa ia belum percaya. Namun, kondisi yang benar adalah yang sebaliknya, bahwa ia percaya, namun ia ingin menyaksikan  dengan mata kepalanya sendiri bagaimana cara Allah menghidupkan  yang  telah  mati itu. Dengan begitu “hatinya akan tenang”, artinya  pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hatinya akan terselesaikan dan imannya akan semakin mantap.

Kemudian Allah memerintahkannya untuk mencari empat ekor burung atau unggas yang berbeda. Burung-burung itu diperintahkan Allah kepadanya,  shurhunna. Ada dua pendapat ulama mengenai makna kata itu. Pertama, “Jinakkanlah, sampai  ia  mengerti!” Kemudian letakkan masing-masing burung di empat bukit yang berbeda, selanjutnya panggil kembali dari tempat Nabi Ibrahim semula.

Pendapat ini kurang cocok dengan konteks, karena yang ingin dibuktikan adalah menghidupkan sesuatu yang telah mati, sedangkan burung-burung itu masih hidup. Juga kurang cocok dengan makna kata جزءا ‘bagian’ dalam ayat itu yang menunjuk seekor dari empat ekor burung. Pendapat kedua, yang  merupakan  pendapat  umumnya ulama, mengartikan kata itu, “Sembelihlah, lalu cincang!” Kemudian aduk, selanjutnya bagi empat, dan letakkan di empat bukit itu!

Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar memanggil burung-burung itu, maka mereka akan datang kepadanya dengan segera. Nabi Ibrahim pun  memanggil  burung-burung  tersebut. Dari hal ini dapat dipahami bahwa pada  waktu  itu terjadilah proses insyaz (penyusunan kembali) sebagaimana dalam ayat 259, yakni masing-masing bagian tubuh burung-burung yang sudah bercampur  aduk  itu bergerak menyatu dengan bagian-bagian masing-masing yang telah terpisah tadi, kemudian hidup kembali. Proses itu terjadi karena izin yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Burung-burung itu pun datang kepadanya dengan cara berjalan cepat, sesuai dengan makna sa’yan itu, bukan terbang, untuk  lebih  meyakinkan apa sosok yang datang itu.

Akhirnya Allah meminta Nabi Ibrahim untuk mengetahui bahwa Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. Allah Mahaperkasa dalam menghidupkan kembali sesuatu yang mati nanti di akhirat, dan Allah Mahabijaksana dalam menghidupkan  kembali, yaitu  untuk meminta pertanggungjawaban. Bila tidak ada pertanggungjawaban itu, tentu akan sama saja yang baik dengan yang tidak baik, dan itu tidak mungkin. Satu hal yang baik harus dihargai dan yang salah harus diberi sanksi, itulah yang bijak. Setelah menyaksikan sendiri dan memperoleh  penjelasan  tentang  cara  dan kemampuan Allah menghidupkan yang  mati  itu, kemahakuasaan dan kemahabijakan Allah itu pun terhunjam dalam  hati  Nabi  Ibrahim  dan  imannya  semakin  kokoh.

Kisah Nabi Ibrahim itu menginformasikan bahwa menghidupkan yang mati dilakukan oleh Allah, melalui Nabi Ibrahim, dengan pemanggilan, yaitu adanya suara. Di dalam al-Qur’an diinformasikan, bahwa baik penciptaan alam (Q.S. al-Anbiya` [21]: 30), berdasar teori Big Bang maupun penghancuran serta penciptaannya kembali (Q.S. Al-Zumar [39]: 68) juga ditandai dengan adanya suara, yaitu ledakan. Dengan  demikian  apakah  hakikat  suara itu? Bagaimanakah  fungsi  suara  dalam suatu penciptaan?

Fakta-fakta itu memberikan pelajaran bahwa  suara  atau  bunyi  penting  sekali dalam kehidupan. Adanya suara atau bunyi menunjukkan adanya kehidupan. Bersuara diperlukan untuk menunjukkan eksistensi. Seorang itu ada karena ia berfikir dan mengkomunikasikan pemikirannya, yaitu bersuara. Membisu dalam Islam tidak diperkenankan, karena Allah memberi manusia indera-indera yang harus dipertanggungjawabkannya (Q.S. al-Balad [90]: 8-9). Membisu berarti mati sebelum  mati  yang  sesungguhnya.

Kisah itu juga memberi pelajaran kepada kita bahwa kritis dalam beragama dan bertanya bukanlah merusak iman, bukan tabu, tetapi sebaliknya akan  semakin meneguhkan iman, bila sikap kritis dan pertanyaan itu dimaksudkan  untuk  mencari  tahu dan dilandasi iman, dan jawaban persoalan pun juga dicari dengan landasan iman pula. Akan tetapi bila pertanyaan dikemukakan  dalam rangka menyangsikan bahkan menolak pernyataan al-Qur’an, maka yang akan diperoleh adalah kesangsian dan keingkaran itu.

Dari dari tiga ayat terakhir yang telah dijelaskan, terlihat bahwa Allah memperlihatkan kemahakuasaan-Nya menghidupkan kembali yang telah mati melalui tiga kasus. Pertama Allah menunjuk alam semesta yang telah diciptakan-Nya. Alam semesta ini begitu besar. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa penciptaan  alam semesta itu lebih besar daripada penciptaan manusia (Q.S. Ghafir [40]: 57). Bila  menciptakan kembali alam semesta saja “lebih mudah” bagi Allah (sebenarnya bagi Allah tidak ada istilah “mudah” dan “sulit”), karena sudah pernah Allah adakan (Q.S. al-Rum [30]: 27), apalagi menciptakan kembali manusia.

Kedua, Allah perlihatkan langsung kepada yang bertanya tentang kemampuan Allah menghidupkan individu yang mati melalui proses insyaz. Begitu pula yang akan terjadi nanti. Bagian-bagian tubuh manusia di mana pun berada bahkan yang sudah terserap tanah atau  tumbuh-tumbuhan  atau  jadi bagian tubuh makhluk lain sekalipun, akan pergi meninggalkan tumpangannya dan berkejar-kejaran mencari pasangan-pasangannya. Begitu jugalah dalam menghidupkan, memusnahkan, dan menghidupkan kembali satu komunitas, bangsa, bahkan umat manusia seluruhnya. Allah menyatakan bahwa setiap komunitas (bangsa, umat) itu ada jangka hidupnya, ia tidak abadi (Q.S. al-A’raf [7]: 34).

Contohnya  komunitas  yang dikisahkan dalam ayat 259 di atas. Dalam al-Qur’an juga dikisahkan bangsa-bangsa lain yang hanya tinggal nama, seperti Umat  Nabi Nuh, bangsa ‘Ad, Tsamud, umat Nabi Luth, bangsa Aykah, dan Firaun  dengan peradaban masing-masing. Dalam kenyataan sejarah, betapa banyak peradaban lain yang juga sudah musnah seperti peradaban bangsa Aztek, dan di negeri kita peradaban Sriwijaya dan Majapahit yang amat jaya pada masanya, tetapi kemudian hilang begitu saja. Allah ternyata telah mengganti bangsa-bangsa itu dengan mereka yang hidup sekarang. Fakta-fakta itu harus dijadikan petunjuk  bahwa  Allah  Mahakuasa menghidupkan kembali manusia dan  umat  manusia nanti di akhirat.

Ketiga,  pengalaman  riil  yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dalam  penciptaan  kembali  atas  perintah  atau izin Allah. Dengan pengalaman riil itu, Nabi  Ibrahim  memperoleh  iman yang kuat tentang kemahakuasaan Allah. Pengalaman riil ini juga perlu dialami oleh siapa saja dalam beragama. Karena itu manusia perlu berkreasi, berinovasi, dan berkarya. Namun hasilnya Allah-lah yang menentukannya. Berhasil, belum berhasil, atau gagal seharusnya dijadikan  pelajaran  bahwa  Allah  itu  ada  dan  Dia-lah  yang  menentukan.

Oleh karena itu,  manusia tidak boleh menyangsikan bahwa ia akan mati, menunggu dalam alam barzakh sampai kiamat, pada hari kiamat ia akan dihidupkan kembali, kemudian dihadapkan ke depan pengadilan Allah, selanjutnya akan hidup abadi dalam kebahagiaankah atau dalam kesengsaraan. Satu hal yang menentukan jalan hidup itu adalah iman dan perbuatan manusia itu selama di dunia. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia selain berbuat baik.

Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. Salman Harun.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14-16 Tahun 2019

Exit mobile version