Menerima Takdir dengan Manajemen Islam Berkemajuan
Oleh: DR Masud HMN
Ungkapan menerima takdir, terdiri dari dua ungkapan yakni kata menerima dan takdir. Dari etimologi asal kata menerima dalam lingkup familiar berarti makna menyesuaikan, menampung, atau tidak mengelak. Intinya siap menerima dengan keadaan yang muncul. Itulah makna kata yang identik terkandung pada menerima.
Mungkin perlu untuk memperjelas pada lingkup makna yang familiar dengan kata menerima dan makna yang berlawawan atau kata dengan makna kontra (contrary meaning).
Apa contoh kata kontra meaning dari menerima atau lawan kata menerima. Contohnya adalah menolak, tidak menerima, menghindar, atau menjauh. Juga ada makna kontra atau berlawanan kata menerima adalah menolak dan melawan.
Jadi simpulannya makna kata takdir adalah ketentuan, peraturan. Lawan kata menerima takdir adalah melawan, menentang, dan menghindari ketentuan. Menentang takdir sama dengan melawan ketentuan yang ditentukan Tuhan.
Pokok pengertian menerima takdir adalah menyesuaikan diri dengan ketentuan yang ditetapkan Allah dalam mengarungi kehidupan. Bukan menolak, bukan menentang, bukan lari dari takdir. Demikinlah secara umum pemaknaan menerima dan takdir dimaksud diatas.
Secara realitas kontektstual menerima terdiri dari dua esensi yaitu pertama menerima dengan tak dapat diubah disebut mubram seperti kematian. Kemudian esensi yang kedua menerima takdir yang dapat berubah. Disebut muaallaq yang mengatakan takdir adalah ketentuan dari Tuhan. Seperti kita lahir dari suku apa, itu tidak bisa dirubah itu given melekat pada diri kita. Takdir dalam hal ini disebut yang besifat tetap dan permanent. Sebagai misal tentang kematian, siapapun, dimanapun seseroang akan menglami kematian.
Lalu pengertian takdir yang kedua disebut muaallaq. atau sering diistilahkan dengan nasib, bisa diubah. Misalnya kebodohan, bisa diubah menjadi orang pandai, kemiskinan bisa diubah, dihilangkan. Maksudnya kemiskinan bukanlah given yang adanya demikian, melainkan bisa diubah diupayakan di manage, hingga terjadi perubahan.
Muallaq berlandaskan dalil surat A Ra’du ayat 11 Landasan takdir yang bisa diubah,
Allah tidak akan merubah nasib satu kaum jika kaam itu sendiri tidak mengubah nasibnyanya
Maka itulah diantara diskursus persoalan manajemen takdir itu, baik yang berkaitan dengan yang tak bisa diubah maupun yang bisa diubah adalah bagaimana sikap nenghadapinya.
Pembelajaran tentang keadaan sesuatu kaum dari surah Ar Raadu di atas adalah penting diperlihatkan perkembangan sejarah. Masa gelap Eropa dapat diubah oleh upaya manusia. Masa pencerahan muncul tatkala manusia mengubah sendiri nasibnya.
Dengan meminjam istilah ethos kerja Protestan etic lahir di Eropa, mereka keluar dari kegelapan, menjadi masayarakat sejahtera, masyarakat yang maju karena kerja. Hal yang sama berkembang di Asia disimbolkan oleh Jepang, Singapura dan Hongkong. Dua Negara terakhir ini berbasis ethos kerja kultur China. Itulah masyarakat yang mengubah nasibnya sendiri, sesuatu yang luar biasa.
Kaum muslimin haruslah memahami menerima takdir melalui konsep manajemen yang membawa ke arah Islam berkemajuan. Kaum muslimin Indonesia akan mampu meraih masa depan yang berkemajuan itu dengan kerja dan kerja. Konsep inovatif kerja wirausaha.
Penulis berpendapat untuk menyukseskan menerima takdir berdasar manejemen setidaknya ada tiga hal yang diperlukan. Yaitu trilogi kerja, kerja dengan ilmu, bekerja tekun dan bekerja ikhlas. Tiada kemajuan tanpa ilmu. Punya ilmu saja tidak cukup harus ada kerja nyata. Kerja nyata tidak cukup. Harus dengan iringan keikhlasan. Karena Allah. Tiada kemajuan tanpa ilmu, tiada kemajuan tanpa amal, tiada kemajuan tanpa keikhlasan.
Akhirnya sebagai khalifah di muka bumi diperlukan penerapan menerima takdir dengan konsep manejerial trilogy: ilmu, amal dan ikhlas karena Allah, mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita.
DR Masud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta