Berguru Kepada KH Abdul Kahar Muzakir

KH Abdul Kahar Muzakkir

Prof KH Kahar Muzakkir Dok Humas UII

Berguru Kepada KH Abdul Kahar Muzakir

Dengan mengenakan baju lengan panjang, bersarung batik dan peci hitam saya berjalan gontai di belakang Pakde Zuhri Hasyim, Ayah, Wazir Hasyim dan paman saya Adham Hasyim. Rombongan ‘bani Hasyim’ ini bergerak dari kampung Ngledok Kotagede, rumah Simbah Kidul menuju kampung Selakraman.

Suasana Idul Fitri atau Lebaran masih terasa. Kami ketemu dengan rombongan orang hilir mudik ujung, yaitu silaturahmi kepada saudara. Semua rumah yang ada penghuninya sepuh membuka pintu untuk tamu. Dalam perjalanan menuju rumah KH Abdul Kahar Muzakir atau anak-anak seusia saya menyebutnya Mbah Dul Kahar, kami harus sering berhenti.

Masuk rumah orang yang ada sesepuhnya untuk bersalaman dan saling memaafkan, atau ketemu rombongan ujung yang lain, bersalam-salaman dan saling memaafkan. Maklum, banyak anggota masyarakat Kotagede bersaudara jauh maupun dekat dan tempat tinggal mereka lintas kampung maka yang rumahnya selatan bergerak ke utara untuk bersilaturahmi dengan kakek atau nenek di utara, yang rumahnya timur bergerak ke barat, begitu sebaliknya.

Rumah Mbah Kidul atau Mbah Hasyim terletak di barat daya dari rumah Mbah Dulkahar. Kami bergerak ke arah timur agak ke utara. Menyusuri lorong kampung yang kemudian disebut Between Two Gate oleh para arsitek pecinta lingkungan tradisional, keluar lorong melewati wilayah Jagang yang disebut kawasan Njembegan yang airnya masih mengalir deras dan bersih. Ini kawasan subur dan banyak kebon atau pekarangan yang ditanami pohon keras.

Kami masuk kampung Selakraman. Lewat sebelah barat rumah Kiai Khudori (ayah Darwis Khudori) terus ke utara lewat dekat rumah Mbah Mangil (Herbalis), lewat pojok rumah kediaman Kiai Amir pendiri Ma’had Islamy terus ke utara belok kiri, sampai halaman rumah KH Abdul Kahar Muzakir.

Kami masuk ruangan wetan omah, ada ruang tamu di dekat perpustakaan pribadi Mbah Dulkahar,  Kiai Abdul Kahar Muzakir menyambut rombongan ‘Bani Hasyim’ dengan gembira. Kiai menyalami kami.

“Ini siapa?” Tanya Mbah Dulkahar ketika bersalaman dengan saya.

“Ini anak saya nomor dua,” jawab Ayah.

“Siapa namamu Le?”

“Mustofa.”

“Tapi bukan Mustofa Kemal Pasha kan?”

Saya menggeleng.

“Mustofa thok?”

Saya mengangguk.

“Kalau begitu tambah nama ayahmu Wazir dan nama kakekmu Hasyim. Istilah Jawanya nunggak semi.”

Jadilah obrolan dengan Mbah Dulkahar siang itu tentang Mustofa Kemal Pasha dan negara Turki yang sekuler beliau kebetulan baru pulang dari Turki yang mempraktekkan cara bernegara sekuler, sekuler radikal karena semua ibadah agama Islam pun diganti dengan menggunakan bahasa Turki, bukan bahasa Arab. Adzan pun dilantunkan dalam bahasa Turki.

Paman saya yang aktivis Masyumi bilang kalau Bung Karno sangat mengagumi Kemal Pasha. Jangan-jangan dia akan menjadikan Indonesia menjadi negara sekuler.

“Itulah yang semula kita khawatirkan. Tetapi Bung Karno kan murid dari Tjokroaminoto dan murid dari Kiai Haji Ahmad Dahlan, bahkan pernah menjadi pengurus Muhamadiyah di Bengkulu. Beliau pasti tidak seekstrim Kemal Pasha. Tapi yang jelas Bung Karno tidak suka pada pemeluk Islam sontoloyo, Islam abu bukan Islam api atau spiritnya. Apalagi Indonesia punya Pancasila dan punya departemen agama.”

Saya yang masih sekolah  dasar melihat orang yang berdebat ini orang hebat dan berusaha mengingat kata-kata kuncinya.

Yang saya suka, mereka yang berdebat dan mengemukakan pendapat ini bicaranya sopan dan pikirannya jelas, tidak berkelok- kelok. Memang kadang diselingi misal yang diambil dari kisah bijak lama.

Saya perhatikan Mbah Dulkahar lebih banyak ngemong alias mencermati arus pembicaraan, tetapi begitu bicara mak jleb tidak ada yang bisa membantah lagi. Ilmu mantiq beliau matang.

Dan sebagai wong Kotagede, Mbah Dulkahar sepertinya mewarisi Ilmu Ki Juru Mertani. Yaitu strategi menenangkan ide.

“Pernah suatu kali saya mengerjai Bung Karno,” katanya sambil tersenyum.

Kami kaget. Bung Karno bisa dikerjai?

“Dalam sidang Konstituante yang bertele-tele itu semua peserta sidang sudah mulai capek pikirannya. Saya berbisik kepada banyak orang termasuk kelompok nasionalis, Bung Karno nanti pasti setuju dengan pendapat saya.”

“Lihat saja saat saya datangi ketika beliau baru masuk ruang sidang. Saya menunggu di dekat pintu. Begitu Bung Karno muncul langsung saya sambut dengan salam dan kami bersalaman. Saya berbisik kepada beliau dan Bung Karno mengangguk-anggukkan kepala. Nah teman-teman melihat Bung Karno mengangguk-anggukkan kepalanya setelah saya bisiki menyangka kalau ide saya diterima.”

“Teman-teman dari kelompok Islam puas dan dari kelompok lain panik. Dalam sidang setelah itu ide -ide kita banyak yang masuk. Kelompok lain kemudian menghadang ide ketika membuat rumusan. Dengan demikian sidang makin molor. Sebenarnya kalau semua sabar aspirasi umat Islam akan menang di Konstituante.”

“Karena itu kelompok lain bersekutu diam-diam menyiapkan palu Godam. Soekarno tiba mengumumkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 45. Dan untuk melunakkan kelompok Islam, di dalam Dekrit disebutkan Piagam Jakarta menjiwai UUD dan menjadi Pembukaan UUD. Isinya tidak boleh diubah sampai kapan pun karena merupakan kesatuan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.”

Mendengar uraian Mbah Dulkahar ini kami kemudian jadi faham konteks mengapa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan menjadi Pembukaan UUD 45.

Tetapi Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante yang anggotanya dipilih secara demokratis merupakan ganjalan tersendiri. Sebab sistem kenegaraan kemudian berubah dari parlementer ke sistem presidensial.

Sebagai ahli konstitusi, Mbah Dulkahar kemudian menceritakan tentang proses politik nasional yang membuat umat Islam kurang terwakili aspirasinya.

Dalam perjalanan pulang rombongan ‘Bani Hasyim’ masih memperbincangkan topik obrolan atau diskusi di rumah Mbah Dulkahar. Yang jelas menurut Ayah yang ternyata wong Masyumi kelas berat, sukses politik umat Islam di pemilu 1955 tidak mungkin terulang lagi. Paman dan Pakde membenarkan.

Apalagi Masyumi telah membubarkan diri atas tekanan pemerintah. Dan partai pemenang Pemilu 1955 tinggal NU, PNI dan PKI. Dengan suara lirih, paman saya yang sepertinya punya jaringan intelijen tentara mengatakan kita harus waspada terhadap terulangnya pemberontakan Madiun di waktu mendatang.

Ya, bertemu Mbah Dulkahar maknanya adalah berguru ilmu politik kebangsaan dan keislaman. Setiap beliau kedatangan tamu dari kebetulan hari Jum’at, tamu itu diajak Jum’atan di Masjid Gede Kotagede diminta jadi khatib. Setelah shalat usai sang tamu diminta untuk mengenalkan diri sekaligus memberi kuliah singkat.

Mbah Dulkahar memberi komentar singkat. Memberi kehormatan kepada tamu untuk jadi khatib dan mengenalkan diri adalah cara sederhana beliau untuk mengajarkan pentingnya persatuan umat Islam. Tamu yang datang tidak selalu tokoh Muhammadiyah, yang jelas tokoh Islam.

Mbah Dulkahar sangat mencintai Indonesia yang ia proses bersama tokoh lain di BPUPKI. Mbah Dulkahar sangat mencintai Islam, terbukti ketika dia memilih  membesarkan UII sebagai wahana dakwah dan mencetak kader dakwah.

Memang setelah Masyumi tidak ada lagi, beliau sibuk di dunia dakwah dan pendidikan, sambil terus mengkampanyekan persatuan umat Islam dengan cara bersilaturahmi ke mana saja. Termasuk ke Turki yang pada suatu hari raya Idul Fitri kami dari rombongan ‘Bani Hasyim’ mendapat oleh-oleh cerita yang menarik, kemudian berkembang menjadi diskusi. Kejadian yang unik dan segar dalam ingatan ini membuat saya makin mengenal sosok Pahlawan Nasional dari Kotagede ini. (Mustofa W Hasyim 2021)

Exit mobile version