Bela Indonesia
Arkian, kata si sohib yang punya hikayat, Indonesia adalah kepingan surga yang dipindahkan ke bumi (qith`atun minal-jannah[ti] nuqilat ilal-ardl[i]). Kalau tidak keliru, Buya Hamka (Allahuyarham) kerap mengemukakan ungkapan tersebut. Betapa tidak, keelokan dan dan kesuburan negeri kepulauan–yang dikenal dengan sebutan gugusan Sunda Besar dan Sunda Kecil ini—tiada taranya di dunia. Kekayaan (sumber daya) alam dan keanekaragaman suku bangsa, etnis, bahasa, dan kebudayaan di Nuswantara ini kian memperkaya khazanah sebuah negeri yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.
Tanah, bahasa, bangsa, dan negara adalah anasir utama Indonesia. Sebagai negara-bangsa, Indonesia tidak terwujud secara otomatis dan terbentuk dengan tiba-tiba. Ada proses dan sejarah panjang di negeri yang terletak di antara dua samudera dan dua benua ini, baik sejarah gemilang dan kejayaan ketika dulu masih bernama Nuswantara dengan bebagai wilayah kerajaan dan kesultanan yang berdaulat dan disegani maupun sejarah kelam tatkala wilayah zamrud di khatulistiwa ini dijarah dan dijajah oleh bangsa-bangsa kolonial: Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Kolonialisme dan imperialsme di bumi Nuswantara itu telah menyeret wilayah-wilayah kekuasaan lokal untuk berdiri sendiri dan musykil untuk bersatu dan menata persatuan. Karena itu, tulis Teuku Jacob (2004), mempersatukan kepulauan Indonesia dengan beratus etnisnya bukanlah pekerjaan mudah. Bahasa Melayu sebagai lingua franca untuk berbagai suku dan dengan negeri-negeri lain turut berperan besar dalam mempersatukan Indonesia. Kemudian agama Islam yang menyebar dari Barat ke Timur membantu membangkitkan solidaritas historis dan memberi pengalaman politik yang sama antara berbagai suku bangsa.
Islam dan kaum Muslimin menjadi aktor utama dan mainstream dalam kisaran perjuangan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia ini. Fakta sejarah tersebut hingga sekarang tak terbantahkan, dan menjadi modal sejarah untuk menjaga keutuhan Indonesia. Perjuangan untuk merebut kemerdekaan dan mempetahankan kedaulatan Indonesia sejak awal sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam, yang keberadaanya sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri, seperti Syarikat Dagang Islam (1911), Persyarikatan Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1915), Persatuan Islam (1923), dan NU (1926).
Islam dan umatnya tidak hanya hadir dalam kancah medan laga untuk menegakkan Indonesia tetapi juga eksis dalam prasasti suci yang membuka Konstitusi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, terbentuknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh komponen dan penduduk di Indonesia yang mayoritas Muslim, serta pertolongan dan perkenan Allah Swt. Karena itu sangat tepat ungkapan dalam Pembukaan UUD 1945 tentang kemerdekaan Indonesia ini, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Berdasarkan catatan sejarah itu pula, maka alangkah murahnya jika mengobankan keutuhan Republik Indonesia atau menggadaikan kedaulatannya kepada bangsa-bangsa lain. Di tengah rongrongan ideologi, ancaman konflik (vertikal dan horizontal) dan bahaya disintegrasi dari dalam serta ancaman neo-imperialisme dan neo-liberalisme dari negara-negara maju, maka seluruh komponen bangsa dituntut untuk meningkatkan kapasitas bela Indonesia.
Patut untuk digarisbawahi, bahwa sejak mula Muhammadiyah telah memiliki watak keorganisasian yang selalu melibatkan diri dalam pergulatan sejarah bangsa, termasuk perhatiannya terhadap kedaulatan Indonesia. Kesadaran historis semacam ini merupakan konsekuensi dari sikap dan paham keberagamaan yang dihayatinya, bahwa agama Islam yang dipeluk harus bisa manifest dan fungsional dalam semua aspek kehidupan umat manusia. Beragama Islam tidak berarti hanya untuk kesalehan individual dan kepentingan spiritualitas pribadi, tetapi juga untuk kesalehan sosial dan bagi kemaslahatan bersama. Karena itu tidak aneh jika statuten Muhammadiyah sejak awal telah menegaskan komitmen dakwahnya bagi kemajuan bangsa.
Bela Indonesia secara utuh menyangkut sikap, kesiapan, dan manifestasi kepedulian terhadap kelangsungan dan keutuhan kedaulatan Indonesia. Sikap ini menjadi bagian dari nasionalisme, semangat dan cinta tanah air yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab serta perhatian terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari berbagai jenis dan bentuk ancaman, baik yang laten maupun manifest. Itulah bela Indonesia. [asep p. bahtiar]
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017