Islam dan Ancaman Radikalisme
Oleh: Prof Dr KH Dadang Kahmad, MSi
Tantangan yang dihadapi Islam dan umatnya dewasa ini begitu berat dan berliku. Selain persoalan imoralitas para aktivispolitik, dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran moral susial; Islam beserta umatnya kini tengah ditempa berbagai tuduhan negatif. Sebagai agama yang melegitimasi kekerasan disebabkan segelintir orang yang memahami makna jihad sebagai war, fighting dan militancy (perang, peperangan, dan militansi).
Akibat dari pemahaman itu, dimana ada ketidak sesuaian dengan aspek sosiologis dan teologis, pemahaman atas kata jihad telah menutupi riak keagungan rahmatan lil alamin Islam serta mengikis ajaran perdamaian dalam Islam. Karena itu, kita tidak menginginkan Islam dipersepsi sebagai agama kekerasan serta pencetak radikalisme dan teorisme. Tugas kita saat ini ialah membersihkan Islam dari tafsir a-historis dan rendah tentang makna jihad di dalam Islam.
Ashgar Ali Engineer, dalam buku bertajuk On Developing Theology of Peace in Islam (Alenia, 2004: 7-8) mengatakan stereotipe Barat terhadap Islam selalu mengarah pada kecurigaan, bahwa Islam pencetak fanatisme, radikalisme, teror dan kekerasa. Hal ini karena kesalahan sebagian orang dalam memaknai terma jihad yang terkandung dalam Al-Qur’an, dengan pemaknaan jihad sebagai perang fisik yang pada konteks kekinian, kata Egineer, tidaklah sesuai dengan semangat zaman.
Ketika jihad dimaknai sebagai kekerasan, secara sosiologis akan menutupi keagungan Islam sebagai agama yang penuh perdamaian. Di dalam buku tersebut, Engineer, mengungkapkan jihad berasal dari akar kata ja-ha-da, yang bermakna menggunakan kemampuan, usaha dan upaya sungguh-sungguh. Hampir sama dengan makna dari kata juhud, yang berarti kemampuan, kekuasaan,kekuatan, usaha keras, motivasi kuat, dan kerja sungguh-sungguh. Karena itu makna jihad sesungguhnya ialah segala usaha keras guna menterjemahkan secara kreatif dan sungguh-sungguh ajaran Islam untuk mengaplikasikannya di dalam situasi baru.
Jadi, jihad ialah suatu wujud pengabdian dengan berusaha keras melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dengan semangat zaman hanya untuk kepentingan di jalan Allah (Fi sabilillah).Bahkan, di dalam Al-Qur’an, kita akan menemukan penyebutan “perang” dengan kata qatilu, qaatil, qiital, dll. Tidak dengan menggunakan kata jihad untuk merujuk perang.
Kendati ada kata “perang” dalam Al-Qur’an, tetapi peperangan yang diperbolehkan Islam harus menjunjung tinggi aturan sosial yang berlaku dan mesti dilakukan dalam rangka mempertahankan diri (defensif) ketimbang menyerang (ofensif). Bahkan, dalam kondisi sedang berperang seorang muslim wajib melakukan perdamaian ketika musuh meminta damai. Nabi Muhammad SAW, malahan selalu memilih berdamai dengan musuh ketika mereka meminta perdamaian melalui perjanjian untuk menciptakan iklim kondusif. Di Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs Al-Anfal [8]: 61).(im)
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2020