Ustaz Sa’ad Abdul Wahid: Mufasir Asli Ngapak Itu Telah Mangkat
Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
(Alumni Pondok Pesantren MWI Kebarongan, Alumni PUTM PP Muhammadiyah, Dosen FAI UAD, Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah)
Ustaz Sa’ad dan Bahasa Ngapak
“Tembe bali apa kowe? (Baru pulang kampung, kamu?),” demikian tanyanya ketika suatu kali saya mengantar mendoan, makanan khas Banyumas yang legendaris itu, ke kediamannya.
“Njih, ustadz. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Kebarongan,” jawab saya.
“Ya matur nuwun ya, ora usah repot-repot. Pada sehat mbok keluarga nang Kebarongan? (Ya, terima kasih, tidak perlu repot-repot. Sehat semua ‘kan keluarga di Kebarongan?),” tanyanya kembali menggunakan bahasa Ngapak sembari tersenyum lebar melihat laku saya yang salah tingkah.
Saya, begitu juga barangkali teman-teman yang asli Ngapak, memang sering dibuat salah tingkah ketika bertemu dengan ustaz Sa’ad Abdul Wahid. Hampir setiap kali bertemu dengan para juniornya sesama Ngapak, ustaz Sa’ad pasti menunjukkan ke-ngapak-kannya. Bahkan, ke-ngapak-kan itu sering kali ditunjukkan di khalayak umum, yang kadang membuat kami sebenarnya merasa malu. Maklum, oleh sebagian orang bahasa Ngapak dianggap sebagai bahasa Jawa Pinggiran dan cenderung kasar.
Dalam kurun waktu 2010 hingga 2014, saya, ustaz Aulia Abdan Idza Shalla, dan ustaz Hudzaifaturrahman sebagai sesama alumni MWI Kebarongan mendapatkan kesempatan berharga karena bisa menimba ilmu langsung kepada ahli tafsir ini. Momen itu terjadi ketika kami menjadi mahasiswa beliau di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Prodi Ilmu Hadis (dulu Tafsir Hadits) Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Saat itu beliau menjadi Mudir PUTM dan menjadi guru besar di UAD, setelah pensiun dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di hari-hari itulah, setiap kali bertemu, beliau pasti menyisipkan bahasa Ngapak dalam komunikasinya dengan kami.
Beliau seolah-olah ingin menunjukkan bahwa menjadi orang Ngapak adalah suatu kebanggaan. Tidak perlu ditutup-tutupi. Beliau seperti ingin mengaminkan seloroh anak muda Ngapak zaman sekarang yang mengatakan, “ora Ngapak, ora kepenak”. Bagi beliau, menjadi Ngapak bukanlah aib. Ia justru adalah anugerah yang menjadi penanda identitas.
Uniknya, semacam apa yang dilakukan oleh ustaz Sa’ad ini pernah dilakukan pula oleh al-Zamakhsyarī. Ya, al-Zamakhsyarī seorang mufasir terkenal, penulis kitab tafsir al-Kassyāf itu. Meskipun seorang mu’tazili (penganut paham mu’tazilah), namun kepakarannya dalam bidang bahasa diakui para ulama lintas mazhab. Ustaz Sa’ad juga sedikit banyak terinspirasi dari sosok al-Zamakhsyarī ini. Bahkan, kalau tidak salah, pidato guru besar ustaz Sa’ad adalah tentang kitab tafsir ulama kelahiran Turkmenistan tersebut. Sementara ustaz Sa’ad sangat bangga dengan ke-ngapak-kannya, al-Zamakhsyarī sangat bangga dengan nama kampung, tempat di mana ia lahir. Al-Zamakhsyarī dilahirkan di suatu kampung terpencil, yang amat tidak terkenal, bernama Zamaksyar. Zamakhsyar adalah salah satu kampung terpencil di Khawarizm, Turkmenistan. ‘Alī Muḥammad al-Bajāwī dan Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrahīm yang mengedit kitab al-Fā’iq fī Gharīb al-Ḥadīts karya al-Zamakhsyarī menyebutkan bahwa ulama yang dijuluki jārullāh ini (tetangga Allah, karena ketika menetap di Mekah beberapa waktu, ia tinggal di dekat Baitullah) sengaja mengabadikan nama kampungnya tersebut sebagai nama julukan. Bahkan tidak hanya itu, disebutkan bahwa al-Zamakhsyarī sampai mewajibkan para penulis sejarah yang di kemudian hari akan menulis biografinya untuk mencantumkan nama kampung tersebut sebagai bagian dari namanya (Lihat al-Zamakhsyarī, al-Fā’iq fī Gharīb al-Ḥadīts, Juz 1, h. 6).
Kebanggaan al-Zamakhsyarī pada kampung kelahirannya tersebut senafas dengan kebanggaan ustaz Sa’ad atas ke-ngapak-annya. Suatu takdir yang harus disyukuri, alih-alih diratapi.
Allah Masih Beri Kesempatan Hidup
Ustaz Sa’ad pernah bercerita bahwa di masa mudanya ia pernah hampir saja mati. Namun, Allah pada waktu itu masih memberikan kesempatan beliau untuk hidup. Suatu hari, dalam perjalanan naik bus dari Kebarongan menuju Jogja, salah satu anak beliau yang ketika itu masih kecil menangis meronta-ronta. Beragam cara telah dilakukan agar anaknya tidak menangis lagi, atau setidaknya relatif lebih bisa dikontrol. Namun upaya itu tak berbuah. Anaknya terus menangis, dan membuat ustaz Sa’ad merasa tidak enak karena telah mengganggu penumpang seisi bus. Akhirnya beliau memutuskan untuk turun sebelum sampai di kota Gudeg. Ia memilih untuk menunggu anaknya berhenti menangis, lalu kemudian melanjutkan perjalanan.
Selang beberapa waktu sejak kejadian itu, ustaz Sa’ad pada akhirnya tahu bahwa bus yang dulu pernah dinaiki beliau bersama anaknya yang terus-menerus menangis ternyata mengalami kecelakaan fatal. Semua penumpangnya tak ada yang tertolong. Tangis anaknya waktu itu ternyata adalah cara Allah menyelamatkan nyawa ustaz Sa’ad dan anaknya. Cobaan hidup yang pada akhirnya disyukuri dengan amat sangat oleh ustaz Sa’ad, dan wujud syukur itu ialah dengan menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat.
Kebermanfaatan itu salah satunya ia implementasikan dalam pengabdiannya pada almamaternya di kampung halaman, yaitu Pondok Pesantren MWI Kebarongan. Hingga wafat, beliau selain sebagai sesepuh juga menjadi pembina yayasan di pondok tersebut.
Mufasir Prolifik
Ustaz Sa’ad dikenal sebagai ahli tafsir yang berkecimpung di persyarikatan Muhammadiyah. Sejak tahun 1985-2015, beliau aktif sebagai pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pemikirannya mewarnai produk ijtihad Muhammadiyah, bersama gagasan para ulama-ulama Muhammadiyah yang lain. Sebagai pribadi, ustaz Sa’ad adalah mufasir yang memiliki banyak karya tulis. Selain buku seperti Tafsir al-Hidayah, Studi Ulang Ilmu al-Quran dan Ilmu Tafsir, dan buku-bukunya yang lain, beliau juga rajin menulis artikel-artikel ilmiah-populer di berbagai majalah dan media. Yang paling kentara adalah tulisan rutinnya selama beberapa tahun di rubrik tafsir majalah Suara Muhammadiyah. Majalah resmi Muhamamdiyah yang terbit dua mingguan.
Aktifitas menulisnya ia jalani sejak muda. Dalam suatu pertemuan di kelas, beliau mengaku hampir setiap hari menulis. Bahkan di usia senja di mana kondisi kesehatannya sudah jauh menurun, hari-harinya tak lepas dari dunia tulis-menulis. Saat takziyah di hari meninggalnya beliau (19 Juli 2021 / 9 Zulhijah 1442), menantunya bercerita bahwa beliau sebenarnya sedang menyelesaikan naskah buku tentang tanya jawab agama kontemporer. Namun sayang, sebelum naskah itu purna, Allah memanggilnya. Semangatnya untuk terus berkarya adalah ciri ulama sejati. Sebagaimana para ulama dulu mengabdikan diri kepada umat dengan ilmu, ustaz Sa’ad pun demikian.
Al-Zamakhsyarī, mufasir yang disinggung di muka, meskipun mengalami kelumpuhan dalam perjalanan karir kelimuannya, tetap istikamah menebar manfaat untuk umat melalui karya dan ilmunya. Dikisahkan oleh al-Samʻānī dalam kitabnya al-Ansāb, di setiap kali beliau singgah di suatu kota, tidak ada masyarakat di daerah tersebut yang tidak mengambil ilmu darinya. Artinya, setiap kali al-Zamakhsyarī singgah di suatu tempat, selalu ada benih kemanfaatan yang ia tebar.
Ibnu al-Atsīr, ulama lain yang juga mengalami kelumpuhan dalam hidupnya, tak kalah dalam memberikan teladan kepada kita. Alih-alih berduka, ia justru bersyukur mengalami kelumpuhan. Baginya, ujian kelumpuhan tersebut adalah kesempatan untuk bisa menjauhkan diri dari kebisingan dan tipu daya dunia. Sekaligus, momen untuk bisa mengkaji ilmu dan menulis lebih banyak karya. Hasilnya tidak tanggung-tanggung, salah satu karyanya yang berjudul al-Nihāyah fī Gharīb al-Ḥadīts diganjar oleh para ulama setelahnya sebagai kitab yang menandai puncak keemasan salah satu cabang ilmu hadis, ilmu gharib al-hadis (Ibnu al-Atsīr, al-Nihāyah fī Gharīb al-Ḥadīts, Juz 1, h. 7).
Ustaz Sa’ad mewarisi spirit itu semua dari para ulama tersebut. Meski segala keterbatasan telah hinggap pada dirinya, semangat untuk terus berkarya dan bermanfaat bagi sesama menjadi prinsip dan pegangan dalam hatinya.
Kini, kyai-ulama yang tawaduk, murah senyum, dan pengayom itu telah pergi ke haribaan ilahi. Namun spirit warisan para ulama ‘untuk terus berkarya dan menebar manfaat’ tak pernah padam. Sebagaimana tak padamnya spirit itu saat ulama sekelas al-Zamakhsyarī dan Ibnu al-Atsīr wafat. Dan, insya Allah sebagaimana tak padamnya spirit itu ketika ustaz Sa’ad mangkat. Mudah-mudahan akan lahir banyak ustaz Sa’ad di kemudian hari, yang dapat menerangi umat dalam meniti jalan menuju kepada-Nya.