Berdakwah dengan Akhlak Mulia
Oleh: Feri Anugrah
AKHIR-akhir ini, saya perhatikan di media sosial, banyak orang gemar sekali menyebarkan konten agama yang isinya provokatif. Yang lebih parahnya lagi, konten itu dibumbui dan dilengkapi pula narasi yang sama-sama provokatif dari si penyebar konten. Provokatif ditambah provokatif, lengkaplah sudah!
Ketika muncul suatu isu, ada sebagian orang yang lebih asyik melihat referensi dari konten media sosial. Isu agama juga nasibnya sama, media sosiallah yang jadi tujuan utama mencari pembenaran untuk kemudian bersuara keras dan lantang, meskipun tidak peduli menyinggung orang lain.
Melihat kenyataan di media sosial dalam soal agama, memang mengerikan. Orang lebih senang berdebat mengenai suatu hal, tetapi nir-ilmu alias tidak punya dasar. Asal sebar dan komentar, dirinya menganggap itu sudah gaul karena merasa telah menjadi pihak yang pertama menyebarkan sebuah informasi.
Kata seorang teman sambil bercanda, sebagian umat Islam di Indonesia saat ini—mungkin juga di belahan dunia yang lainnnya—pada galak-galak. Dipancing isu sedikit saja, marahnya enggak ketulungan. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa sebagian kecil “pelakunya” ada warga Muhammadiyah. Lho kok bisa?
Di dunia nyata atau di mayantara, sejatinya kita hidup normal-normal saja dengan siapa pun. Bijaklah dalam berdakwah dan menyampaikan kebenaran. Tidak akan ada orang yang suka dinasihati dengan cara-cara mempermalukan seperti itu. Apalagi sampai menuduh si A atau si B dengan tuduhan yang sangat keji dan tidak mencerminkan akhlak orang yang beriman.
Wabilkhusus warga Muhammadiyah, saya kira pendekatan dakwah yang harus menjadi pegangan utama—di media sosial ataupun di dunia nyata—semuanya sudah dicontohkan oleh para tokoh Muhammadiyah. Tugas kita adalah membaca, mempelajari, dan mengamalkannya. Bahan dan referensinya sudah banyak kok.
Bermain cantik dalam berdakwah
Saya punya guru ketika SMA. Sebut saja namanya Pak KS. Selain mengajar di sekolah saya—tentu sekolah Muhammadiyah—kebetulan beliau menjadi abdi negara dan ditugaskan di sebuah sekolah dasar yang berada di pegunungan yang jauh dari kota. Sebuah kampung yang belum banyak terjamah teknologi dan sentuhan agama yang masif ketika itu.
Pak KS tertantang untuk melakukan pendekatan ala Muhammadiyah di kampung tersebut. Ketika ada muridnya yang sakit, beliau langsung menjenguk ke rumahnya. Ketika ada keluarga muridnya kekurangan, beliau akan bantu semampunya. Kalau ada undangan hajatan (pernikahan, sunatan, dan hajatan yang lainnya), beliau juga selalu datang ketika diundang.
Pokoknya, beliau tidak pernah menolak diundang ke acara apa pun selama positif. Beliau selalu mengutamakan akhlakulkarimah di mana pun, termasuk di kampung tersebut. Ketika memasuki kampung, beliau selalu mengamalkan tigas S, yaitu salam, sapa, dan senyum kepada siapa pun yang ditemuinya di jalan.
Masyarakat semakin bersimpatik, lama-lama menjadi akrab dan terbuka terhadap cara beliau bersikap dan bermasyarakat, termasuk mengapresiasi cara beliau mengajar di sekolah. Bahkan dengan cara itu pula, beliau berhasil memotivasi anak didiknya untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tidak cukup hanya sampai sekolah dasar.
Apa yang terjadi? Banyak anak didik Pak KS yang semangat dalam belajar dan meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Bahkan banyak pula yang sekolah di Muhammadiyah dan tinggal di asrama. Padahal, tadinya sebagian dari mereka agak aneh ketika mendengar “Muhammadiyah”.
Hubungan yang bagus ini terjaga sampai hari ini meskipun kabarnya Pak KS dipindahtugaskan ke sekolah lain yang berbeda kecamatan. Anak didik yang sempat Pak KS asuh dahulu, tetap menjaga tali silaturahmi dengan baik tanpa pernah melupakan beliau dalam kondisi apa pun.
Kalau Pak KS sakit, mereka selalu menengok. Kalau lebaran Idulfitri, mereka juga selalu hadir dan silaturahmi ke rumah Pak KS meskipun jauh. Bahkan mereka dan tentu masyarakat di kampung sana masih sering mengundang Pak KS kalau di kampung mereka ada hajatan atau selametan.
Mengapa itu bisa terjadi? Saya duga kuncinya ada di akhlakulkarimah sosok Pak KS. Beliau selalu menampilkan akhlak yang mulia kepada mereka. Akhirnya masyarakat simpati dan tentu saja lambat laun anak-anak mereka termotivasi untuk terus belajar sampai jenjang yang lebih tinggi.
Terpenting dari semua itu, menurut saya, yakni terpeliharanya dengan baik tali silaturahmi di antara mereka sampai hari ini. Bertahun-tahun lamanya. Itulah kekuatan akhlak yang sangat luar biasa. Tidak memutus tali hubungan dengan siapa pun, terlebih dengan guru yang mengajari anak-anak mereka ilmu dan akhlak.
Satu hal lagi yang harus diingat, saya yakin, ada kekuatan hati yang ikhlas yang menyebabkan semua itu terjadi dan bertahan sampai hari ini. Kekuatan hati yang ikhlas itu sangat luar biasa.
Esensinya, baik di media sosial maupun di dunia nyata, bergaul dengan siapa pun harus diiringi dengan akhlak yang mulia. Apalagi kalau berdakwah, tidak semata-mata mengajak serta memberi tahu. Namun harus lebih dari itu, akhlak mulia kadang-kadang bisa lebih efektif untuk membuat orang berubah sikapnya menjadi lebih baik, minimal perlahan jadi simpatik. Allahlah pemegang kebenaran sejati.
Feri Anugrah, alumnus Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pernah aktif di IPM-IMM, dan kini berkhidmat di Universitas Muhammadiyah Bandung